Komik terus hidup dan bertahan pada alur ceritanya yang selalu konsisten, keresahan sosial, dari hiruk pikuk Indonesia yang penuh oleh penguasa yang selalu saja membuat jenuh.
(Lontar.co): “Apa yang bapak sampaikan seringkali tidak singkron dengan apa yang pembantu bapak kerjakan, mungkin bisa diperbaiki di periode selanjutnya, yang sebaiknya sih tidak ada”.
Faza Meonk, kreator Si Juki masih ingat, ketika salah satu BUMN mengajaknya bekerja sama membuat proyek kolaborasi karyanya. Sebagai intellectual property (IP) lokal, Faza jelas senang, tapi, ketika proyek itu mulai digarap, tiba-tiba di tengah jalan, BUMN itu mendadak mengganti karakter Si Juki dengan karakter lain, tanpa ada penjelasan.
Faza jelas kecewa, Si Juki adalah karakter yang sudah amat melekat. Ia melawan lewat guratan kuat sindirannya yang deras pada tiap kebijakan pemerintah yang bobrok, tapi ia bisa apa.
Si Juki sudah terlanjur dianggap sebagai entitas hidup yang dianggap melawan (kebijakan) pemerintah. Kritik keras melalui keresahannya, hadir dalam banyak momen, keresahan sosial yang luas, dan Si Juki selalu hadir bersama gerakan perlawanan itu, bahwa meski sebuah karakter pun bisa hidup sebagai ikon yang entah secara langsung menggerakkan perlawanan itu sendiri, entah pula tumbuh beriring bersama gerakan itu sendiri, yang jelas Si Juki tak pernah tertinggal dalam barisan itu.
Dari Benny dan Mice Hingga Si Juki
Si Juki dan komik-komik sebagai salah satu simbol ikon pop, memang terus konsisten dalam garis perlawanan sejak lama, mereka produk intelektual yang masih bertahan dan hampir menang melawan teknologi, karena penikmatnya yang terus bertumbuh.
Kita, masih tahu sampai lapisan generasi saat ini bahkan, tentang bagaimana karakter Benny dan Mice tumbuh seperti Si Juki, lewat satire-satire yang bernas dengan bahasa-bahasa prokem yang khas selayaknya tempat tongkrongan di gang-gang sempit Jakarta yang muram dengan masalah yang beragam.
Benny dan Mice sudah tumbuh dalam mode bertahan pada ciri khasnya pada banyak generasi sebelumnya, ketika komik-komik Eropa hingga manga Jepang menggempur Indonesia, Benny dan Mice tetap santai berkritik dan berhasil bertahan, sampai saat ini.
Budaya pop kemudian menyajikan banyak imaji tentang komik lokal yang penuh warna tapi tetap dalam satu barisan, kritis lewat berbagai cara, jalan dan motif, tapi yang jelas masih tetap segar dan berkembang dengan Mice Cartoon-nya.
Ada Tahilalats, Komikdimsum, Fatkomik, Pepekomik, Recelogy, Sitankhi, Komikazer hingga Maghfirare.
Maghfirare dan Perlawanan Kaum Perempuan
Yang disebut terakhir, Maghfirare membangun perlawanan sendiri dari sudut pandang kaum perempuan yang kritis dengan cara ‘lembut’ tapi punya pesan yang kuat.
Adelia Maghfira bisa saja resah, dengan keresahan sosial yang melulu dilihat dari mata lelaki, maka kemudian ia membuat perlawanan dengan caranya sendiri, untuk lebih identik, sekaligus menyuarakan, bahwa perempuan sebenarnya sedang tidak diam, tapi mereka juga bersuara, sehingga harus dimunculkan, dan Adelia berhasil.
Adelia pernah membuat sebuah tamparan dalam salah satu stripnya, tentang seorang ibu yang dianggap lalai mendidik anaknya di rumah,”melahirkannya ke dunia yang keji seperti ini, bukankah sudah menjadi hukuman terberat buatnya…”. Dan, seketika dunia seperti terhenti, kepada sosok ibu.
Meski bicara keresahan dalam perspektif perempuan, Adelia tetap detail mendeskripsikan perempuan Indonesia dengan berbagai kronik kehidupannya sehari-hari, sebagai ibu rumah tangga, sebagai remaja, sebagai janda sebagai asisten rumah tangga sekalipun.
Karenanya, karakter yang ia bangun juga kerap berubah-ubah, kadang glowing, kadang lusuh, tapi lebih banyak muram.
Meski hampir kebanyakan strip-strip yang ia buat, lebih condong ke manga, tapi Adelia Maghfira berhasil menyekat perbedaan yang kuat, lagi-lagi, ia pakai keresahan setiap hari seorang perempuan dari berbagai sudut pandang.
Tapi, walau hadir dalam gambar-gambar yang dominan feminin, ia tak melarang semua lelaki melihatnya, justru lebih baik, untuk belajar, bahwa setiap perempuan, dalam kesehariannya, punya begitu masalah yang kompleks, yang terkadang harus mereka selesaikan sendiri.
Komik Anak Kandung Keresahan Sosial
Komik disebut sudah ada bahkan sejak awal tahun 1800, ia berkembang subur dari Amerika hingga Eropa.
Adalah Thomas Nast yang membawa komik dalam konsep strip yang masih amat sederhana di tahun 1870, komiknya hanya terdiri dari empat panel, tapi isinya amat penuh, utamanya adalah kritik sosial, karenanya komik di awal-awal kerap diidentikkan sebagai anak kandung yang lahir dari keresahan sosial.
Karya Thomas Nast awal berjudul Boss Tweed yang mengkritik pemerintahan di New York ini menjadi salah satu penggerak kejatuhan pemerintahan yang kala itu korup luar biasa.
Pada masa itu, kebebasan berpendapat bukan cuma sekedar euforia tapi di sambut dengan suka cita, sementara Nast butuh sesuatu yang segar, yang baru untuk dihadirkan sebagai penyampai keresahannya sebagai rakyat, maka kemudian Boss Tweed hadir meski disampaikan dengan tutur lucu dan satire.
Tapi, komik kala itu memang dianggap sebagai barang sekunder yang ‘dipaksakan’ ada di sudut-sudut paling bawah koran, sehingga upaya untuk mendokumentasikannya pun, nyaris tak pernah terlintas dalam pikiran, sehingga banyak komik-komik yang tumbuh dalam sejarah perlawanan kemudian hilang begitu saja.
Dalam bahasa yang luwes, komik menjangkau dan beradaptasi dengan budaya itu sendiri, sesuai tempat ia dihadirkan.
Saat itu, keresahan-keresahan kemudian mengalami pergeseran seiring hype dari komik itu sendiri.
Komik kemudian mewujud menjadi karakter-karakter super hero, sementara di Indonesia, komik dikenalkan lewat karya-karya yang lebih lokal menyesuaikan kemampuan adaptasi siapapun penciptanya, misalnya Gundala Putra Petir hingga Si Buta dari Gua Hantu.
Walaupun, sebenarnya di Indonesia sejak tahun 1930, komik sudah dikenalkan oleh penjajah Belanda lewat instrumen media massa yang kemudian dibukukan di De Java Bode dan D’orient.
Adalah Kho Wan Gie yang memunculkan karakter Put On di surat kabar Sin Po, sebagai karakter paling awal komik strip di Indonesia dan kemudian menginspirasi banyak komikus lainnya.
Di Solo hadir pula komik strip Mentjari Poetri Hidjaoe karya Nasroes A.S.
Tapi, R.A Kosasih kemudian menawarkan sesuatu yang lebih baru di komik, sampai kemudian ia ditahbiskan sebagai bapak komik Indonesia, dengan karakter super hero lokal seperti Sri Asih yang lebih mirip dengan Wonder Woman.
Pasang surut komik di Indonesia, tak lantas menghilangkan status keresahan komik sebagai media kritis, mereka berjalan beriringan, ia menjadi model perlawanan paling awet dari rakyat yang resah, terus berkembang dan mengadaptasi perkembangan zaman dengan mengenali jauh lebih cepat dari perlawanan itu sendiri.
Ruang Kritis yang Tersisa
Dari Beni dan Mice yang membuka banyak ruang-ruang berpikir kritis tentang keadaan sesungguhnya Indonesia lewat dialektika yang ringan agar mudah dicerna, seperti yang dilakukan Thomas Nast.
Sebagai alat, komik memang masih tak terlalu ‘diperhatikan’ oleh penguasa saat itu kadang malah luput, padahal dari sudut kecil media massa itu, gerakan sesungguhnya sedang dibangun dengan amat serius.
Komik bergerak dinamis, komikus terhubung langsung dengan rakyat melalui instrumen yang kuat, yang dihadirkan dengan sengaja oleh penguasa, sehingga membangun kekecewaan puncak tapi tak mampu bergerak, maka komik diberi mandat untuk menyuarakannya, boleh dengan lantang, tapi bisa juga dalam wujud yang satire.
Bahwa kemudian komik pada hari ini disajikan dalam strip platform digital, ia juga tetap hadir dengan konsisten melalui nalar kreatif yang memanfaatkan ruang sempit semua platform agar ‘pesan’ tersampaikan dengan baik, kepada mereka-mereka yang masih hidup untuk terus merawat bangsa ini menjadi lebih baik.