pltsa
Para pekerja sedang memilah sampah di TPA Tanjungsari, Natar, Lamsel. Foto: Meza Swastika

Latah PLTSa di Lampung

0 Comments

Wacana Pemprov Lampung membangun TPA Tanjungsari sebagai lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) menuai penolakan warga dan kepala desa di Natar karena dekat dengan pemukiman dan berpotensi memicu masalah lingkungan. Walhi menilai Pemprov Lampung terlalu latah. Di pusat, pembangunan PLTSa juga masih tersandung soal tipping fee.

(Lontar.co): Meski lalat merubunginya, Yono terus saja mengais tiap tumpukan sampah yang baru saja datang pagi itu, di TPA Desa Tanjungsari, Natar.

Dengan cekatan, tiap tumpukan plastik sampah dengan bau busuk yang menguar itu, ia buka satu per satu dengan pengait besi di tangan kanannya, di sisi kaki kirinya, karung putih sudah terisi hampir penuh dengan plastik dan beragam sampah yang bisa ia jual.
…

Sejak berangkat dari rumahnya, hanya mata saja yang tak ditutup oleh Suryadi, sedangkan hidung, mulut, dan kedua telinganya, ia tutup dengan dua lapis kain tebal, ia lebih mirip ninja, padahal cuma mau berangkat ke kebun.

“Pernah sakit tiga hari saya, karena tiap hari ngisep bau sampah terus,” keluhnya.

Kebun jagungnya yang hanya berjarak sepelemparan batu dari TPA Tanjungsari itu, memang kini jadi dilema buatnya.

Setahun lalu, ia pernah hendak menjual setengah hektar kebun jagung untuk modal hidup keluarganya itu, tapi tak kunjung laku. Ia benar-benar sudah tak tahan.

“Sempet ada yang mau beli, katanya mau buat kavlingan perumahan, tapi waktu tau deket dengan tempat sampah, nggak datang-datang lagi”.

Karena tak ada pilihan, ia akhirnya mengalah, tetap menggarap lahan warisan orang tuanya itu, meski resiko untuk kesehatannya besar,”kalau nggak digarap, keluarga mau makan apa,” tuturnya.
…

Sekarang, setiap hari Susi dan Riva putrinya selalu memakai masker, bau sampah yang terlalu menusuk, membuat anaknya kerap kali sesak napas.

Padahal, setiap hari, anaknya harus sekolah di salah satu taman kanak-kanan yang berjarak kurang dari 200 meter dari TPA itu,”bau banget, bikin pusing,” ujarnya.

Apalagi di musim hujan, anaknya kerap kali mengeluh dan memilih tak masuk sekolah.

“Dari sekolah anak saya aja, bau sampahnya masih kecium padahal lumayan jauh jaraknya”.
…

Ko Ahan, kini hanya bisa menyambangi makam istrinya, tiap tiga bulan sekali, padahal sebelumnya, sebulan ia bisa tiga kali datang berkunjung. Tapi, karena udara di sekitar komplek pemakaman berbau menyengat, ia tak kuat.

“Sudah pake masker aja masih tembus (baunya), nggak kuat gua. Apalagi kalau musim hujan, sudah jalannya rusak, genangan airnya berwarna hitam. Ini dateng karena rumput sudah pada tinggi,” ujarnya.
…

Wati, warga yang tinggal hanya berjarak beberapa ratus meter dari TPA Tanjungsari kini juga sudah mulai terbiasa dengan lalat hijau sebesar setengah jempol anaknya yang selalu menembus masuk melalui celah dinding papan rumahnya.

Saat musim kemarau seperti sekarang, jumlah dan intensitas lalat jenis botol hijau yang ber-habitat di tempat sampah ini, memang sedang banyak-banyaknya, karena musim kemarau adalah puncak produksi larva-larva baru dari lalat botol hijau ini.

Semua warga yang tinggal dan mencari hidup di dekat tempat pembuangan akhir itu, kini harus mengalami penderitaan setiap hari, sepanjang waktu.

Tapi, itu baru dari TPA Natar saja, yang luasnya hanya 2 hektar, apalagi nanti jika TPA Tanjungsari di lahan seluas 20 hektar milik Pemprov Lampung yang letaknya berdampingan dengan TPA Natar itu akan mulai dibangun, maka makin lengkaplah penderitaan warga di sana.

Tak hanya menimbulkan polusi, keberadaan TPA di sana juga memicu efek ikutan lain, mulai dari jalan yang rusak hingga kebun warga yang tercemar limbah sampah, dan anak-anak sungai yang melintas di daerah itu yang juga ikut tercemar limbah.

Dengan rencana Pemprov Lampung yang akan membangun TPA Tanjungsari yang akan dijadikan sebagai lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) maka efek negatif yang dirasakan warga akan bertambah hingga berkali-kali lipat lagi.

“Saya lahir dan besar di sini. Dulu, udara masih segar, tiap pagi embun masih ada, sejuk. Sekarang, udaranya bau menyengat, busuk,” tutur Suryadi.

BACA JUGA  A.C.A.B 1312 sebagai Simbol dan Bayar…Bayar…Bayar ala Sukatani

Suryadi, Wati dan Susi merasakan benar perubahan lingkungan tempat mereka lahir dan besar ini, hanya dalam sekejap, mereka merasa tersiksa tapi tak berdaya.

Mereka tak lagi mendapatkan udara bersih yang mereka rasakan ketika kecil, saat ini yang ada hanya bau, asap, limbah dan lalat.

Di siang hari, udara yang dirasakan jauh lebih pengap, gersang dan lengket. Sorenya asap hitam pekat dari pembakaran sampah lebih sering mampir ke pemukiman warga, malam harinya bau menusuk justru makin menjadi.

Di musim penghujan, air hujan membawa sisa-sisa limbah sampah itu jauh ke jalan, anak-anak sungai, kolam-kolam ikan hingga perkebunan warga yang berada di bawah lokasi TPA Natar termasuk calon lokasi TPA Tanjungsari yang berada di kawasan perbukitan.

Petisi Penolakan

Ketika wacana pembangunan TPA Tanjungsari kembali didengungkan oleh Pemprov Lampung sejak tahun 2023 lalu, kades se-Lampung Selatan ramai-ramai menyampaikan petisi penolakan pembangunan TPA itu.

Ramainya penggalangan penolakan pembangunan TPA itu, merupakan bentuk solidaritas tak hanya kepada sesama kepala desa tapi juga buat warga Desa Tanjungsari yang bakal merasakan dampak lingkungan serius dari rencana pemerintah ini.

Sekretaris Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Lampung Selatan, Pajri Suryadi ketika itu melalui pernyataan tertulis menyampaikan alasan penolakan karena lokasi TPA Tanjungsari yang berada begitu dekat dengan kawasan pemukiman, pendidikan, perkebunan hingga industri.

Di hadapan anggota DPR RI yang sedang reses, Kepala Desa Tanjungsari, Prayitno juga bersuara keras soal wacana pembangunan TPA ini, menurutnya dengan TPA yang ada saja sudah menyusahkan warga, apalagi dengan pembangunan TPA milik Pemprov Lampung yang luasnya sepuluh kali lipat dari luas TPA yang sudah ada.

“Budidaya ikan warga, lahan sawah tercemar, karena saat hujan, airnya mengalir ke sawah dan kolam. Jalan lingkungan rusak karena truk pengangkut sampah setiap hari bolak baliki,” kata Prayitno.

pltsa
Rapat percepatan pembahasan PLTSa. Foto: Dok. Pemprov Lampung

Pemprov Lampung Jalan Terus

Hari itu, Rabu (28/5/2025) di ruangan berpendingin udara yang sejuk, suara lembut Jihan Nurlela yang memimpin rapat percepatan PLTSa terdengar begitu membuai peserta rapat.

“Ini bukan sekadar solusi sampah, tetapi juga warisan energi terbarukan untuk masa depan,” kata Jihan percaya diri.

Dalam rapat itu, Pemprov Lampung memang tengah berusaha mendorong PLTSa masuk ke dalam salah satu daftar Proyek Strategis Nasional (PSN), sehingga tak membebankan anggaran daerah.

PLTSa Tanjungsari diproyeksikan memiliki kemampuan mengolah sampah hingga 1.000 ton sampah per hari yang sampahnya disumbang dari Bandarlampung, Lampung Selatan, Pesawaran, Metro dan Lampung Tengah.

Di rapat itu, Jihan justru secara tak langsung telah menyampaikan kelalaian peran pemerintah provinsi yang tidak melibatkan masyarakat di sekitar lokasi calon PLTSa.

“Kolaborasi antar daerah, legalitas lokasi dan dukungan masyarakat sangat penting. Semua syarat administrasi juga harus diselesaikan,” kata Jihan lagi.

Faktanya, dua bulan setelah rapat itu dilakukan, Sekretaris Desa Tanjungsari, Wahyudi mengungkap bahwa warga sama sekali belum pernah diajak bicara apalagi disosialisasikan.

“Warga belum pernah diajak bicara,” ujar Wahyudi.

Ia juga menyinggung soal penolakan seluruh kepala desa di Kecamatan Natar terkait rencana pembangunan TPA Tanjungsari.

Ada 26 kepala desa se-Kecamatan Natar yang sudah menandatangani penolakan pembangunan TPA Tanjungsari,”semuanya sepakat menolak”.

Apalagi, pembangunan TPA baru itu bukan hanya akan menimbulkan masalah lingkungan buat warga Desa Tanjungsari saja, sebagai satu-satunya desa yang paling terdampak, tapi juga bakal berimbas ke desa-desa terdekat lainnya, seperti; Desa Kalisari dan juga Merakbatin.

Bukan hendak melawan kebijakan pemerintah, tapi Wahyudi dan kebanyakan masyarakat melihat dampak pencemaran lingkungan dari keberadaan TPA baru yang ada di tengah-tengah kawasan padat pemukiman, fasilitas pendidikan, perkebunan hingga kawasan industri.

Apa yang disampaikan Wahyudi memang tak salah, berdasarkan penelusuran Lontar di lokasi, jarak calon TPA baru milik Pemprov Lampung itu memang berada amat dekat dengan pemukiman, yang rata-rata hanya berselisih 200 meter dari kampung-kampung terdekat, di tiap pemukiman itu, ada lebih dari 100 penduduk bermukim, ada pula fasilitas pendidikan di sana, salah satunya adalah taman kanak-kanak.

BACA JUGA  Nasib Petani Anak Tuha yang Tetap Merana

Yang paling mungkin terdampak tentu saja, lahan persawahan dan perkebunan milik warga yang lokasinya berdampingan langsung dengan TPA Natar dan juga calon lokasi TPA Tanjungsari.

Salah satunya milik Suryadi, yang kerap kali dibuat susah tiap kali musim penghujan tiba, karena air hujan membawa limbah-limbah sampah menumpuk ke kebunnya.

Sudah Diajukan ke Pemerintah Pusat

Tapi, pemerintah provinsi seperti tak peduli dengan kesusahan warga itu, buktinya, calon PLTSa Tanjungsari sudah masuk dalam daftar salah satu usulan PLTSa bersama dengan 23 daerah lain di Indonesia yang juga mengajukan usulan pembangunan PLTSa ke pemerintah pusat.

Proyek triliunan rupiah itu kabarnya, pendanaannya bakal dikelola langsung oleh Danantara.

Badan pengelola investasi pemerintah itu dikabarkan akan segera menerbitkan Patriot Bond–surat utang perdana dari Danantara yang terdiri dari dua seri dengan jangka tenor lima dan tujuh tahun, kabarnya Danantara tengah menghimpun dana Rp50 triliun dari konglomerat lokal untuk investasi pengelolaan sampah menjadi energi (waste to energy) di 33 daerah yang tersebar di wilayah Indonesia.

Di sisi lain, Menko Pangan Zulkifli Hasan menyebut hasil revisi Perpres Nomor 35 Tahun 2018 akan segera terbit sebelum September 2025, tinggal menunggu tanda tangan dari Prabowo.

Dalam revisi beleid terbaru itu, Zulhas menyebut alur bisnis pengelolaan sampah akan banyak pemangkasan, karena dianggap terlalu panjang dan tidak menguntungkan dengan pemerintah daerah.

Sementara, Dirjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiyani Dewi memastikan dalam proses lelang pembangunan PLTSa itu pula, nantinya para pemenang akan langsung mendapat perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan PLN sebagai pengelola.

Polemik Tipping Fee, Bakal Dibebankan ke Masyarakat

Sebelumnya, gencarnya Pemprov Lampung menggagas pembangunan PLTSa yang sudah berlangsung sejak tahun 2020 lalu ini, sempat pula terkendala oleh skema pembiayaan tipping fee atau biaya yang dibayarkan oleh pemerintah daerah sebagai pengelola sampah kepada pengembang atau pelaksana PLTSa dalam hal ini PLN sebagai kompensasi untuk penerimaan dan pengolahan sampah.

Tujuan pemberlakuan tipping fee ini untuk menambal biaya operasional dan pemeliharaan fasilitas di PLTSa yang lumayan besar.

Tahun 2020 lalu, sengkarut masalah tipping fee antara Pemprov Lampung dengan investor tak pernah berkesudahan karena biaya tipping fee yang lumayan besar, jelas menjadi beban bagi keuangan daerah di tengah gencarnya efisiensi anggaran.

Namun, dalam revisi Perpres Nomor 35 Tahun 2018, kabarnya beban tipping fee akan dimasukkan dalam APBN agar tak memberatkan APBD. Tapi, belakangan PLN mengajukan diri untuk menanggung beban tipping fee itu.

Dengan demikian, tipping fee yang selama ini dibayar lewat skema anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) di tingkat pemerintah daerah akan langsung menjadi beban yang ditanggung PLN.

Dengan syarat, PLN usul agar harga patokan tertinggi (ceilling tariff) PLTSa dinaikan menjadi US$22 sen per kilowatt hour (kWh) dari yang semula US$13,35 sen per kWh atau naik hingga US$9 sen per kilowatt hour (kWh).

Selain itu, PLN juga meminta pemerintah pusat untuk menanggung selisih biaya pokok penyediaan melalui kompensasi yang nilainya ditaksir mencapai Rp8,35 triliun untuk pembangunan sebanyak 24 PLTSa.

Kenaikan harga patokan tertinggi yang diminta PLN hingga sebesar US$22 sen per kilowatt hour (kWh) ini, konsekuensinya akan dibebankan kepada masyarakat sebagai pelanggan PLN, sehingga otomatis tarif listrik masyarakat akan kembali naik.

Padahal, sekarang saja tarif dasar listrik yang diberlakukan masih lumayan tinggi, termasuk untuk pelanggan yang di subsidi, kategori masyarakat berpenghasilan rendah dengan daya 450 VA dan 900 VA, tarif listriknya saja sudah di angka Rp415 sampai Rp605/kWH, sedangkan tarif listrik non subsidi bervariasi dari Rp 1.352 hingga Rp 1.699,53/kWh.

Ancaman Lain dari PLTSa

Masih di ruangan berpendingin udara yang sejuk di komplek Pemprov Lampung, Rabu (28/5/2025) lalu, Wagub Jihan dengan suaranya yang lembut menegaskan bahwa keberadaan PLTSa menjadi solusi pengelolaan sampah sekaligus penghasil energi bersih.

BACA JUGA  Omon-omon Bonus Demografi

Tapi, Jihan tak tahu, ada ancaman lain dari pembangunan PLTSa, selain beban anggaran yang gambot, kepastian pasokan sampah juga bisa jadi ancaman serius keberlangsungan PLTSa.

Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan kepastian pasokan sampah menjadi hal paling vital buat operasional PLTSa.

Kepastian pasokan sampah ini juga bakal berdampak pada kontrak jual beli listrik antara pihak swasta dengan PLN yang masa berlakunya lumayan panjang, hingga 20 tahun.

“Ini yang memang menjadi masalah, kita tidak tahu perilaku masyarakat 20 tahun ke depan, perubahan teknologi, kalau masyarakat makin banyak yang hidupnya mengurangi sampah kan bisa juga,” kata Fabby dikutip dari Bloomberg.

Sementara, Pemprov Lampung masih belum bisa merumuskan kepastian angka suplai sampah harian yang disebut bakal berasal dari Bandarlampung, Lamsel, Metro, Pesawaran dan Lampung Tengah itu.

Pemprov hanya bicara estimasi angka yang kurang dari 1.000 ton per hari, tapi kalkulasinya masih kurang matang, karena pasokan paling besar justru berasal dari Bandarlampung, sementara dari empat kabupaten lainnya masih amat sukar diprediksi.

Ketidakpastian tonase sampah yang mampu di suplai ke PLTSa ini bakal amat berpengaruh terhadap operasional PLTSa termasuk pula suplai listrik ke konsumen.

Dampak Lingkungan dari PLTSa

Selain masalah pembiayaan dan kepastian suplai sampah, PLTSa yang di framing sebagai solusi masalah lingkungan sekaligus bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi, kenyataannya pembakaran sampah dalam operasional PLTSa juga tak seramah yang digaungkan.

Selain buruk untuk lingkungan, pembakaran sampah juga tak baik untuk kesehatan, karenanya masyarakat di Desa Tanjungsari menolak rencana ini.

Dalam hal pencemaran lingkungan, pembakaran sampah punya efek meningkatkan produksi gas rumah kaca yang tentu saja berdampak pada percepatan perubahan iklim.

Sebagai kalkulasi, merujuk data Zero Waste Europe, tiap satu ton sampah yang dibakar akan menghasilkan 1,7 ton CO2.

Tak hanya itu, sistem pembakaran sampah yang dijalankan di PLTSa juga menghasilkan sejenis senyawa kimia beracun dari sisa pembakaran sampah plastik yang dikenal dengan senyawa dioksin.

Paparan senyawa dioksin sebagai karsinogen meningkatkan resiko berbagai jenis kanker, khususnya kanker paru, hati dan prostat dan juga bisa melemahkan sistem kekebalan tubuh dan membuat manusia yang terpapar lebih rentan terkena penyakit dan infeksi.

Bahayanya lagi, dioksin juga memiliki kemampuan untuk berpenetrasi dalam rantai makanan, misalnya pada telur ayam yang terpapar dioksin kemudian dikonsumsi oleh manusia.

Selain itu, hampir sebagian besar sampah harian masyarakat di Bandarlampung sebagai daerah yang bakal menjadi penyumbang terbesar PLTSa Tanjungsari, didominasi oleh sampah organik atau sampah basah yang bersifat low caloric value, sehingga membuat PLTSa akan secara otomatis membutuhkan lebih banyak sampah untuk dibakar agar bisa mencapai titik panas yang diinginkan untuk bisa menghasilkan energi, jika begitu, lagi-lagi gas rumah kaca dan polutan akan makin banyak.

Karenanya, amat wajar jika kemudian Walhi Lampung menyebut Pemprov Lampung hanya sekedar latah di proyek PLTSa

“Kita harus sadar diri, jangan sampai Lampung latah ikut-ikutan negara maju. Lihat apakah kita memang benar-benar sudah siap menerapkan PLTSa ini,” kata Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri merespon wacana pemprov yang terkesan tergesa-gesa di proyek PLTSa.

Apalagi, Walhi Lampung juga memiliki catatan kritis terkait rencana pembangunan PLTSa itu, khususnya belum jelasnya pemanfaatan teknologi yang akan diterapkan di PLTSa, mengingat emisi dari PLTSa kebanyakan adalah racun yang sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungan.

Selain itu, pemerintah provinsi juga diketahui belum memiliki sistem dan sarana pemilahan sampah memadai.

“Percuma saja kalau sampah yang masuk masih bercampur, sementara sistem pemilahannya masih belum ada, jika begitu resiko lingkungannya juga akan makin besar,” papar Irfan lagi.

Bahkan, menurutnya, sejumlah PLTSa yang sudah dibangun di beberapa daerah di Indonesia juga ternyata tak berjalan maksimal.

“Pertanyaannya, dari PLTSa yang sudah dibangun di daerah lain, berapa banyak yang masih berfungsi dan berjalan hingga hari ini?” tegas Irfan.

Further reading

  • biogas

    Nyala Api Biogas di Desa Rejobasuki, Dari Kotoran untuk Masa Depan

    Puluhan keluarga di Desa Rejobasuki, Kecamatan Seputih Raman, Kabupaten Lampung Tengah, sukses mengembangkan biogas sebagai pengganti gas elpiji, tak hanya untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga tapi juga untuk kelangsungan industri UMKM yang lebih hemat dan ramah lingkungan. (Lontar.co): Pagi-pagi sekali, Suhana sudah menyambangi kandang sapi di belakang rumahnya. Tak lama, ia keluar dari kandang membawa […]
  • sawah hilang akibat penduduk yang tak terbilang

    Sawah Hilang Akibat Penduduk yang Tak Terbilang

    Lahan persawahan di Bandarlampung, Lamsel dan sebagian Pesawaran makin tergerus akibat adanya alih fungsi lahan untuk permukiman. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi hingga arus urbanisasi ke kota yang marak, menjadi penyebabnya. (Lontar.co): Dua backhoe itu bekerja terus dari pagi hingga sore, meratakan sehektar lahan di wilayah Tanjungsenang itu, sejak tiga hari lalu. Rencananya, lahan yang […]
  • Nepal Bukan Kita

    Nepal bukan kita. Kita adalah Indonesia; santun dan beradab. Jauh dari pikiran Nazi (Naziisme). Jijik pada keinginan pembantaian! (Lontar.co): Viral, video-video unjuk rasa besar-besaran di Nepal. Demo yang tak lagi mengetengahkan misi perdamaian, menjelma jadi sungai darah, bantai, dan pengrusakan. Yang dihakimi massa adalah keluarga pejabat. Beginikah cara orang Nepal turun ke jalan? Nepal adalah […]