acab 1312

A.C.A.B 1312 sebagai Simbol dan Bayar…Bayar…Bayar ala Sukatani

0 Comments

A.C.A.B 1312 sebagai Simbol dan Bayar…Bayar…Bayar ala Sukatani

About Author
0 Comments

Pasca demo besar yang merenggut kematian driver ojol Affan Kurniawan, simbol-simbol perlawanan menjadi sebuah gerakan persisten yang konsisten, belum lama dari ACAB 1312, ada Bayar…Bayar ala Sukatani

(Lontar.co): Di dinding-dinding sisa bekas tapak jejak demonstran di sepanjang ruas Jalan Kramat Kwitang, Jakarta Pusat, simbol ACAB 1312 penuh.

Dalam banyak gejala, gerakan memang harus dan lebih efektif dibangun melalui simbolisasi perlawanan yang tak terlalu kentara, meski tak bias, simbol menjadi kode kesamaan pandangan perlawanan.

Melalui simbol, spion kerap kali kesulitan menerjemahkan gerakan, terkadang mereka menganggap sebagai sesuatu yang masif dianggap mengerikan kemudian dilarang karena ketakutan, seperti Jolly Rogers, padahal ketakutan itu tak pernah dibalas dengan kenyataan.

Pada ACAB 1312, simbol diguratkan dengan penuh keyakinan yang kuat, bahwa visi mereka sudah sepakat bahwa keadaan ini melalui kulminasi Affan Kurniawan yang harus menjadi martir oleh mereka yang kemudian dituding sebagai All Cops Are Bastards (ACAB).

Dulu, sebagai permisif dan harapan keadaan bisa berubah oleh mereka sendiri, aparat yang nakal dikelompokkan sebagai oknum, namun kenyataannya kelompok oknum itu makin besar dan membesar sampai kemudian menjadi ACAB.

ACAB 1312

Sedangkan 1312 adalah bahasa sandi demonstran, ketika ACAB representasinya sudah terlalu bocor, 1312 adalah bentuk terselubung dari huruf ACAB itu sendiri, yang merujuk sesuai urutan alfabet, bahwa 1 = A, 2 = B, 3 = C, makna yang sama tentang itu, tapi sedikit memeras kemampuan tafsir intel-intel lapangan lebih dulu, agar gerakan bisa sedikit leluasa.

Strategi ini ampuh di media-media daring yang lebih spesifik untuk menentukan titik-titik pemusatan gerakan, sebagai kode yang terhubung melalui tanda-tanda pagar yang kemudian diartikan secara jenius oleh demonstran lainnya sebagai awal dari gerakan, sekali lagi, polisi kalah cepat dengan demonstran.

BACA JUGA  Mengapa Kematian Bakas Begitu Mengkhawatirkan 

Ketika tragedi Kanjuruhan, ACAB 1312 menggema dimana-mana, sebagai senjata sekaligus kemarahan dan ketidakpercayaan publik terhadap polisi.

ACAB 1312 kemudian meluas sebagai simbol perlawanan, tapi ia lebih dikeramatkan, hanya dipakai pada momen aksi yang jauh lebih besar, lebih masif.

Strategi perlawanan melalui simbol ini ternyata efektif, ketika aksi tragedi Kanjuruhan, ACAB 1312 kerap pula diimbuhi dengan titik-titik pertemuan hingga waktu gerakan akan dimulai, polisi lalai akan hal itu, maka seketika gelombang massa yang amat besar datang dengan cepat. Polisi tak berdaya, meski tidak dengan senjatanya.

ACAB sudah ada bahkan jauh sejak abad 20 di Inggris. Ketika itu, buruh dan pekerja disana menjadikan simbol A.C.A.B sebagai upaya untuk berhadapan langsung dengan sikap represif aparat, mati buat mereka dianggap sebagai sebuah kenyataan ketika itu.

Sehingga, amat relevan ketika mereka menyebut semua aparat adalah ‘bastards’ sebagai umpatan yang paling kasar dalam masyarakat bawah Inggris kala itu.

Setelahnya, ACAB tak pernah selamanya mati. Ia tumbuh, terawat oleh keadaan itu sendiri, bahkan di dalam penjara Inggris, para tahanan menato tubuhnya dengan ACAB dan di baju-baju penjara untuk mengidentifikasi setiap napi berdasar klasifikasi kasusnya.

Tiga dekade kemudian, subkultur punk bersama dengan skinhead membangkitkan kembali ACAB dengan lebih berani, disuarakan melalui karya-karya kritis sebagai suara perlawanan yang terang benderang.

Band-band bawah tanah di London seperti Oi! dan The 4-Skins terus meniupkan hawa perjuangan melalui frasa ACAB yang tebal hingga kemudian menjadi sebuah simbol secara global sebagai sebuah perlawanan serius kepada tindakan represif aparat.

Akan halnya di Indonesia, kelompok subkultur punk yang berkembang subur, utamanya komunitas Taring Babi yang kemudian melahirkan Marjinal yang dengan berani merumuskan sebuah resolusi perlawanan pada lagunya yang keras; Aparat Bangsat di tahun 2000-an, justru di saat kebanyakan band-band punk apalagi rock yang cenderung gemulai dan menuturkan sikap kritisnya dengan lebih ‘santun’.

BACA JUGA  Cara Guyub ala (Orang) Pringsewu

Di komunitas besar punk, Marjinal dihormati sebagai anak kandung sekaligus pewaris resmi punk lewat keresahan-keresahan sosial yang mereka kabarkan lewat panggung.

Mereka tak peduli dengan banyaknya penonton atau embel-embel komersil seperti kebanyakan band, yang memandang karya sebagai sebuah bisnis, sedang mereka memilih berada di posisi sebagai ideal.

Nalar kritis yang selalu berjodoh dengan kreatifitas pula yang kemudian pada gilirannya melahirkan kode yang lain; 1312 sebagai sikap resmi perlawanan baru dalam empati yang amat dalam atas kematian Affan Kurniawan.

Sebagaimana masa penjajahan dulu, momentum 1312 memang disusupi oleh banyak londo ireng, yang menggadai dirinya pada kekuasaan, kemudian menyusup di kelompok demonstran-demonstran tanpa diketahui, untuk menyampaikan tiap detail gerakan yang sedang dibangun.

Terbukti memang, londo-londo ireng itu bekerja efektif, sampai kemudian polisi ‘mengerahkan’ TNI untuk membeking mereka pada hari-hari perlawanan pasca kematian Affan Kurniawan.

TNI yang dianggap humanis diturunkan untuk meredam tensi massa yang marah dengan polisi dan sangat efektif. Kabarnya, jika saja marinir tak disertakan dalam pengamanan di Markas Komando Brimob, massa sudah menyerahkan nyawanya jauh sebelum mereka bergerak.

acab 1312

Bayar Bayar Bayar ala Sukatani

Jika ditarik sedikit ke belakang, band punk Sukatani, sudah secara istimewa menerjemahkan konsep aparat sesungguhnya meski kemudian dibungkam.

Sukatani harus babak belur. Vokalisnya, Twister Angel kemudian dipecat sebagai guru, sebagai sikap yang memilih kontra, Sukatani tak bereaksi apa-apa, dan lebih memilih diam, meski kemudian viral diberbagai platform, Sukatani ketika itu sedang berjaga, menunggu momentum, mereka sedang tidak kalah, tapi memilih bertahan sampai keadaan pula yang kemudian mengusung status mereka jadi lebih spesial sebagai representasi kemarahan dan kekecewaan dalam akumulasi yang bahkan jauh dari prediksi Sukatani sendiri, di forum jalanan dalam aksi Indonesia Gelap pada Februari 2025, ‘Bayar Bayar Bayar’ menjadi mars yang menggerakkan semua orang.

BACA JUGA  Jalan, Komoditas Politik yang Tak Pernah Mulus

Sebenarnya, ideologi perlawanan sudah hadir dalam kemarahan kolektif setiap orang sejak lama, tapi mereka menunggu momentum, maka ketika Affan yang papa itu dilindas setelah sekian lama ditindas, saat itulah massa sudah mulai bersiap dengan kemarahan yang menggemuruh kuat.

Buat Sukatani, ancaman adalah jalan yang harus mereka lalui sebagai konsekuensi atas pilihan, kadang tak nyaman, resikonya nyawa juga terancam, tapi sabar memang kerap kali harus berujung pada kemarahan luar biasa, lewat suara, kemarahan itu di swara-kan, melengking tinggi dalam koor penderitaan yang sama.

Dalam konsep perlawanan, bisa jadi Sukatani adalah titisan Marjinal, mereka tak menuliskannya dalam bentuk satire tapi kalimat langsung yang tegas dan tak terbantahkan.

Pada suatu sore yang cerah, sepulang dari menghadapi pemanggilan aparat, Muhammad Syifa Al Lufti a.k.a Alectroguy gitaris Sukatani, ia tak langsung pulang ke rumahnya untuk mengobati cemas keluarganya, tapi ia menemui salah satu sahabatnya, dan kemudian dengan tenang berbisik kepada sahabatnya,”gue ada ide lagu, kita tetap maju, melawan!”.

Tapi, sampai kapan. Polisi sebagai alat dan rakyat yang harus menjadi martir, mereka tak pernah bertemu dalam keadaan yang baik-baik saja. Rakyat tak pernah menang, rakyat pula harus dipaksa mengalah, sementara polisi lupa selalu merasa di atas angin, maka jalan memang harus diluruskan kembali, apapun cara, apapun konsekuensinya.

Buat rakyat, nyawa kadang sudah melayang kemana-mana, hidup hanya perkara menang atau kalah dan sekali pula, karenanya harus benar-benar berarti.

Maka, polisi, segeralah berubah

Further reading

  • Betapa Mahal Alam Membalas

    Meski air sudah surut. Tetapi, duka cita warga dan keluarga korban banjir di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, belum pulih benar. Pemulihan pascabencana (disaster recovery) itu yang amat berat! (Lontar.co): Trauma oleh bencana, tak mudah menghapusnya. Seorang kenalan yang langsung terlibat dalam bencana tsunami di Aceh 26 Desember 2024, “luka”-nya sampai kini belum pulih. Seluruh […]
  • Ijazah, Hanya Satu Kata, Tunjukkan!

    Di Kantin Nusantara TIM Jakarta, suatu hari di bulan September 2025, obrolan dari seni, sastra, dan akhirnya sampai ke soal ijazah. Masalahnya yang menyita publik Indonesia berbulan-bulan, namun belum ada celah untuk mendapatkan cahaya! (Lontar.co): Kawan, yang juga sastrawan dan akademisi di suatu perguruan tinggi swasta di Jakarta itu, sampai pada statemen bahwa ijazah Joko […]
  • In Memoriam Tjahjono Widarmanto:  Membaca Tanda ‘Senja Cokelat Tua’  

    Tiba-tiba saya teringat puisi Tjahjono Widarmanto — kembaran Tjahjono Widijanto, keduanya sastrawan, dimuat KBANews, tatkala saya baca kabar lelayu yang dibagikan Tengsoe Tjahjono di FB-nya, Kamis 27 November 2025 pagi. Nama yang disebut terakhir juga sastrawan. Ketiganya adalah akademisi.  (Lontar.co): Puisi itu berjudul “Angin, Malam, dan Catatan Beku”. Ini puisi lengkap Tjahjono Widarmanto (selanjutnya saya sebut […]