Raya balita di Sukabumi meninggal karena infeksi cacing yang menggerogoti tubuhnya. Di Lampung, Alesha Erina Putri, bayi dua bulan meninggal setelah orang tuanya dipaksa membeli alat sebelum operasi dilakukan. Kemudian, di Sidoarjo, Hanina, bayi dua tahun pergi untuk selamanya hanya karena kartu pelayanan kesehatannya disebut tak aktif lagi. Sejak dulu, kesehatan sebagai hak dasar itu memang tidak pernah ada.
(Lontar.co): Dari tragedi ke tragedi. Dari, Raya ke Alesha kemudian Hanina bukan kasus tunggal. Ia terus terjadi setiap waktu, kapan saja dan dimana saja, menjadi akumulasi demi akumulasi yang terus terjadi.
Orang-orang yang miskin tak pernah mendapatkan tempat dan pelayanan yang layak, meski untuk sebuah rasa kemanusiaan sekalipun.
Kematian ketiga bayi sebagai pewaris sah Indonesia ini bukanlah kasus tunggal.
Ada kerapuhan sosial yang kompleks dan kemudian hak untuk mendapatkan kesehatan secara penuh telah bergeser sebagai lahan bisnis, yang sepenuhnya telah menihilkan, meski sedikit saja rasa empati.
Kesenjangan Kesehatan sebagai Hal Biasa di Indonesia
Indonesia yang terus berambisi pada sektor fisik sebagai arca-arca warisan keberhasilan, telah secara penuh membangun kesenjangan kesehatan saat ini sebagai hal yang biasa saja.
Institusi negara tak berhasil mensejahterakan rakyatnya dalam banyak hal, apalagi kesehatan. Setiap orang digiring untuk membangun ambisi pribadi dan menyisihkan rasa kepedulian sosial, sampai kemudian hal-hal yang terjadi di luar batas nalar baru menyentak saat semua orang merasa tergugah ketika peristiwa itu (baru) viral, jika tidak (viral) maka biasa saja, nyawa seperti tak ada harganya.
Padahal, setiap hari, kasus-kasus kesenjangan kesehatan seperti yang dialami Raya, Alesha dan Hanina selalu terjadi, tapi tak terjadi apa-apa buat institusi utamanya, yang tersisa hanya kesedihan-kesedihan mendalam, dari mereka yang harus kehilangan anak-anaknya dalam waktu yang begitu cepat, hanya karena ketiadaan materi, yang menanggalkan begitu jauh jaraknya dengan rasa kepedulian, dari tenaga-tenaga kesehatan yang bahkan sudah diikat dengan sumpah, sebagai janji profesionalitas mereka dalam melayani.
Kebijakan kesehatan hari ini, masih subur dengan basis administratif yang bertele-tele daripada lebih dulu menyelamatkan selembar nyawa yang sudah sekarat di depan mata.
Tak ada lagi kohesi sosial, bahkan oleh seorang tenaga kesehatan yang juga manusia, yang seharusnya memiliki sedikit saja rasa empati, untuk melepas sebentar saja, ambisi mencari materi.
Mereka yang Mati, Mereka yang Tak Bersalah
Raya meninggal karena terlalu banyak cacing yang berdiam di tubuhnya. Berkilo-kilo cacing gelang sepanjang 15 centimeter hidup berkoloni di tubuhnya yang ringkih.
Orang tuanya tak berdaya. Ayahnya sedang sakit secara fisik, ibunya menderita gangguan jiwa (ODGJ).
Kemiskinan membuat Raya dan keluarganya hidup serba kekurangan, meski mereka masih ada hubungan kekerabatan dengan kepala desanya, tapi tak lantas kebutuhan kesehatan mereka terjamin, kenyataannya Raya meninggal dengan sakit yang menyakitkan. Tubuh kecilnya tak berdaya melawan koloni cacing yang terus menggerogoti seluruh organnya.
Kemudian Alesha Erina Putri, bayi perempuan berusia dua bulan, anak dari Sandi Saputra dan Nida Usofie, harus pergi meninggalkan orang tuanya, karena petugas medis yang lebih mengedepankan materi daripada rasa kemanusiaan.
Alesha meninggal setelah operasi, orang tuanya pun sudah pula menyerahkan uang Rp8 juta seperti yang diminta dr Billy Rosan, dokter yang merawat putri mereka.
Bukan uang itu yang Sandi dan Nida sesalkan, tapi kepergian Alesha menjadi cermin betapa buruknya tindakan medis yang melihat bayi berusia dua bulan itu bukan sebagai manusia yang nyawanya harus diselamatkan, tapi justru sebagai objek bisnis.
Setelah didiagnosa menderita hispro, Sandi dan Nida terus berkonsultasi dengan dr Billy Rosan, tapi bukannya menenangkan mereka, dr Billy Rosan yang juga pernah tersangkut kasus serupa tahun 2023 lalu di Rumah Sakit Urip Sumoharjo, justru memberi opsi yang lebih menggiring pada materi yang pada akhirnya ‘saran’ itu lebih dari sebuah keharusan yang wajib ditaati buat Sandi dan Nida.
Ia berdalih bahwa semua yang ia lakukan hanyalah opsi, termasuk permintaan untuk membeli alat medis senilai Rp8 juta yang justru di transfer ke rekening pribadinya, Billy terus saja berdalih dengan alasan-alasan yang tak logis dan cenderung membela diri.
Kesehatan sebagai hak dasar yang wajib dipenuhi oleh negara melalui institusi-institusinya, juga tak didapat oleh pasangan Hasan Bisri dan Situ Nuraini di Sidoarjo.
Putri mereka, Hanina Fatin Majida yang berusia 2 tahun meninggal hanya karena Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang menjadi satu-satunya instrumen untuk menyelamatkan nyawa putrinya dianggap tak berlaku.
Untuk membiayai pengobatan putri mereka secara mandiri, jelas terasa berat buat Hasan yang hanya bekerja sebagai sopir, sedang istrinya Siti Nuraini hanya ibu rumah tangga biasa.
Tapi, petugas medis di Klinik Siaga Medika tak peduli. Buat klinik ini, kesehatan adalah produk yang harus dibeli dengan harga yang mahal.
Di tengah tekanan itu, Hasan terpaksa memilih perawatan dengan biaya pribadi demi keselamatan putrinya, namun penanganan medis yang diberikan klinik ini tak optimal. Hanina tak dirawat, ia hanya diberi obat biasa.
Bukannya membaik, kondisi Hanina justru semakin memburuk, namun ketika Hasan meminta agar putri mereka dirujuk ke rumah sakit umum, petugas medis menolak karena Hasan belum membayar biaya perawatan sebelumnya.
Setelah dengan berbagai cara memohon agar putri mereka segera dirujuk termasuk dengan menjaminkan kartu keluarga, Hanina baru berhasil dibawa ke RSUD Sidoarjo, tapi nyawanya tak tertolong.
Dari RSUD Sidoarjo diketahui, ternyata Kartu Indonesia Sehat (KIS) milik Hanina masih aktif dan masih bisa digunakan. Tapi, bukannya malu, pihak klinik masih saja menagih biaya perawatan.
Tabir Ketimpangan Infrastruktur Kesehatan dan Tamaknya Institusi
Raya, Alesha dan Hanina adalah puncak gunung es dari keadaan kesehatan di Indonesia saat ini, yang tak berdosa, yang seharusnya berhak atas pelayanan kesehatan harus mati karena kesehatan kini menjelma sebagai produk bisnis yang membuang jauh rasa kemanusiaan. Padahal, negara diberi amanah oleh konstitusi untuk menjaga kesehatan rakyatnya, tapi negara abai akan hal ini, pembangunan fisik dianggap sebagai prestasi daripada membenahi mental-mental petugas medis yang sebenarnya sedang sakit.
Negeri ini kini, hanya tentang kepentingan sesaat yang mengeksploitasi rakyat dalam waktu yang pendek dengan buaian janji yang amat muluk demi meraih maupun mempertahankan kekuasaan, apa saja dilakukan, meski kepentingan juga sebenarnya punya urat nadi yang menyatu dengan kesehatan rakyat, namun kenyataannya kesehatan adalah sebuah ironi yang tak merata utamanya untuk mereka yang miskin, sementara di satu sisi lainnya, mereka-mereka yang miskin ini dipaksa pula bergantung kepada penguasa melalui bantuan-bantuan semu yang sejatinya terus menggiring agar rakyat tetap bodoh dan bisa di eksploitasi untuk apa saja sesuai kemauan penguasa.
Bayangkan, pada kasus Raya, infeksi askariasis adalah kasus yang sebenarnya punya perbandingan yang tipis untuk bisa ‘menguasai’ tubuh seorang anak hingga mati, tapi kemiskinan dan ketidaktahuan justru berada pada cacing-cacing gelang itu, dan kemudian Raya mati.
Raya, Alesha dan Hanina adalah pembuka tabir sesungguhnya tentang kondisi infrastruktur kesehatan yang begitu buruk dan mental tamak institusi yang serakah mencari materi dengan cara apa saja, sekalipun harus membunuh anak-anak tak berdosa.
Kebijakan Utopis Penguasa Bengis
Kenyataannya, banyak kebijakan-kebijakan tentang kesehatan adalah utopis dan semu belaka, karena hanya kepentingan politis dari penguasa yang sesungguhnya bengis kepada rakyat adalah tujuan tak tersirat yang menjadi misi sesungguhnya.
Ada begitu banyak, Raya, Alesha dan Hanina sebelum-sebelumnya. Tapi, seperti biasa semua berlalu begitu saja, nyawa orang miskin memang selamanya tak pernah berharga di mata penguasa.
Terbukti pula, institusi sebesar Kementerian Kesehatan hanya sekedar simbol yang pada akhirnya tak berdaya mengimplementasikan kebijakannya sendiri hingga ke lapisan yang paling bawah, yang bersentuhan langsung ke rakyat.
Tataran kebijakan presiden dan Kementerian Kesehatan dianggap hanya omong kosong yang tak punya daya tekan sama sekali. Padahal, pada kasus Raya, apa yang dialaminya adalah apa yang selalu didengungkan pemerintah dari pusat hingga desa, tapi kenyataannya hanya omong kosong yang dibalut oleh program.
Realitasnya, rakyat Indonesia masih jauh dari merdeka dan sejahtera, banyak kemalangan-kemalangan yang mereka rasakan justru jauh melebihi masa ketika bangsa ini tengah terjajah.
Kasus Raya, adalah cermin retak kondisi kesehatan Indonesia saat ini, tentang bagaimana rapuhnya profesionalisme seorang profesional yang begitu bengis menggadai profesinya demi uang yang tak seberapa ketimbang menyelamatkan nyawa sesama manusia.
Dari Alesha, kita juga tahu, ternyata seorang dokter bisa juga jadi pemeras.
Dan, dari Hanina kita juga semakin tahu, bahwa nyawa seorang manusia amat tergantung dan harus tertahan pada selembar kertas.
Penguasa gagal melindungi rakyatnya demi sedikit saja hak untuk hidup sehat. Sebuah kegagalan kolektif negara dalam sistem yang seharusnya melindungi tapi justru bertindak sebagai algojo.
Dari Raya, Alesha dan Hanina kita semakin tahu, bahwa bukan lagi ada yang salah dengan negeri ini, tapi tak ada lagi yang benar di negeri ini.