Ketika pola media terasa temaram, tak jelas bentuknya, Kenken mesti tentukan arah melangkah. (Ilustrasi: Lontar.co)

Loyalis Garis Keras

Kenken menepikan Vespa matic-nya di bawah pohon waru yang teduh. Di depannya, laut membentang luas, memantulkan cahaya seperti lembaran perak.

Ombak datang beruntun, memukul garis pantai dengan nada yang sama tapi tak pernah benar-benar serupa. Angin asin menerpa wajahnya, mengibaskan rambut, meninggalkan rasa getir di bibir.

Pantai, bagi Kenken, tak pernah sepenuhnya jadi rumah. Terlalu terik. Terlalu terbuka. Terlalu riuh oleh desir dan riak. Ia lebih nyaman di tepi sawah, di pinggir sungai dengan gemericik yang menenangkan, di antara aroma tanah basah selepas hujan.

Tapi entah mengapa hari ini, ia mencari laut. Mungkin karena akhir-akhir ini hidupnya terasa seperti ombak yang datang tak henti, menghantam tanpa memberi jeda untuk bernapas.

Kenken masih seorang jurnalis. Masih menulis cerpen dan novel. Namun kata-kata yang dulu mengalir deras kini seperti sumur yang dasar airnya tertutup batu. Kreativitasnya mandek, seolah ada pintu yang terkunci dari dalam. Semangat mengelola media online yang ia dirikan tujuh tahun lalu pun mulai pudar.

Padahal media itu ibarat anak yang ia lahirkan sendiri. Bersama empat kawan yang dulu mau bekerja, meski digaji di bawah UMR, demi sebuah mimpi. Lalu mereka menyewa paviliun kecil, dindingnya tipis, tapi penuh tawa, kantuk, dan bau kopi yang menempel di udara. Ia memberikan 30 persen saham medianya pada mereka, sebagai tanda bahwa perjuangan ini milik bersama.

Untuk semua itu, ia menunda urusan cinta. “Nanti saja,” pikirnya. Medianya adalah cintanya.

Sejak awal, Kenken tahu membangun media bukan sekadar soal modal. Ini soal napas panjang, soal menjaga suara sendiri di tengah riuh pasar, soal menolak menjual idealisme dengan harga diskon. Idealisme, baginya, adalah satu-satunya mata uang yang nilainya tak pernah anjlok, meski tak semua orang mau membelinya.

Namun idealisme itu mahal. Banyak pihak, terutama pemerintah, menjauh. Enggan bekerja sama dengan medianya yang menolak tunduk. Tawaran iklan yang bisa membungkam, ia tolak mentah-mentah.

Sementara di luar sana, media-media baru tumbuh seperti rumput liar. Banyak yang memilih jalan cepat dengan mengaburkan fakta, menjilat yang berkuasa, menulis untuk memuaskan, bukan untuk menyadarkan. Dan yang lebih ironis, pola itu dianggap wajar.

Kenken dan kawan-kawannya memilih jalan lain. Jalan yang sunyi. Jalan yang menguras keuangan sedikit demi sedikit. Dua rekan akhirnya pamit, demi peroleh gaji yang lebih layak di tempat lain. Ia tak menyalahkan, tapi tetap merasa kehilangan.

Kini hanya tersisa tiga orang di redaksi. Tiga jiwa yang bertahan di geladak kapal yang diguncang badai.

Ia menatap laut. Ombak datang dan pergi, seperti pikiran yang bolak-balik menghantam dinding kepalanya. Besok, ia harus memutuskan sesuatu. Ia belum tahu apa. Yang ia tahu hanyalah rasa bersalah yang makin menebal tiap kali melihat wajah dua rekannya yang tersisa, bekerja keras dengan gaji yang tak layak.

Terkadang ia berpikir kalau semua pergi, ia akan melanjutkan sendiri. Ia tahu banyak portal berita yang dikelola satu orang saja. Tapi ia tidak mau sekadar menyalin siaran pers. Ia mau medianya tetap bercerita, penuh riset, naratif.

Mungkin, tulisan-tulisannya, panjang dan melelahkan untuk dibaca. Tapi ia percaya tulisan yang baik adalah tulisan yang menetap di kepala, bukan yang menguap di layar ponsel. Setidaknya sampai saat ini Google Analytics membuktikan masih ada ratusan pembaca setia yang kembali, lagi dan lagi mengunjungi laman medianya setiap hari. Mereka membaca tuntas, bahkan tulisan terpanjang sekalipun.

Kenken dan kawan-kawannya di redaksi berupaya bertahan dengan warna yang mereka pilih. (Ilustrasi:Lontar.co)

Dua jam pun berlalu. Keputusan belum juga datang.

Sampai sebuah suara memanggilnya dari belakang.

“Permisi… ini Mbak Kenken, kan?”

Kenken menoleh. Spontan dia mengangguk. Lalu melayangkan senyum. Tiga perempuan berdiri beberapa langkah darinya. Satu berpenampilan ibu muda dengan wajah teduh, satu lagi mengenakan blazer tipis, dan yang terakhir berkerudung dengan tas ransel. Mereka memperkenalkan diri, dua mahasiswa S2 dan seorang pengacara muda.

“Kami pembaca setia media Mbak,” kata perempuan berkerudung. Dia bilang sedang berada di pantai karena undangan ulang tahun rekan mereka. Lalu tanpa sengaja melihat Kenken di tepi pantai. “Sedang mencari inspirasi, toh. Maaf lho Mbak, kalau kami mengganggu,” ujarnya.

Kenken menanggapi ramah. Hatinya senang bisa bersua pembaca medianya. Beberapa saat mereka terlibat obrolan santai. Sampai akhirnya si pengacara muda mendorong obrolan ke hal serius.

“Akhir-akhir ini intensitas beritanya menurun. Jujur… kami sedih.”

Kenken terdiam, sedikit tersipu. Ibu muda itu melangkah maju, suaranya lirih tapi mantap.

“Kalau baca media Mbak, rasanya… seperti menemukan sesuatu. Beda dari yang lain. Berita di luar sana banyak, tapi isinya itu-itu saja. Kalau baca tulisan di media Mbak… rasanya ada yang nyangkut di kepala. Kadang bikin marah, kadang bikin mikir berhari-hari. Rasanya… ngangenin.”

Kenken merasakan sesuatu bergetar di dadanya. Kata-kata itu sederhana, tapi menembus lapisan tebal keraguannya.

Pengacara muda itu menambahkan, “Kami paham, bertahan dengan idealisme itu nggak gampang. Tapi justru itu yang bikin kami percaya sama media ini. Jangan berhenti, Mbak. Tolong…”

Sunyi sejenak. Hanya terdengar debur ombak, seperti jeda napas panjang sebelum kalimat terakhir. Ibu muda itu mendekat, mengeluarkan kartu nama dari dompetnya.

“Mbak, kami tahu ini berat. Kami mau urunan. Mungkin nggak seberapa, tapi kalau banyak pembaca ikut, akan berarti. Bukalah donasi. Anggap saja kami pelanggan yang bayar langganan bulanan.”

Kenken memandang wajah mereka satu per satu. Ada sinar tulus di mata ketiganya. Sinar yang ia kenal, karena ia pernah melihatnya di cermin saat pertama kali mendirikan medianya. Wajah kawan-kawannya di kantor mendadak berkelebat. Jemarinya gemetar saat menerima kartu itu.

Sejenak, laut di hadapannya berubah. Ombak yang tadi tampak seperti ancaman kini terlihat seperti tarikan napas besar, seperti detak jantung yang mengingatkannya bahwa hidup selalu bergerak maju. Angin yang dulu ia rasa menusuk kini terasa seperti usapan lembut di pipi.

“Terima kasih,” katanya lirih. “Kepedulian ini sangat berarti buat kami.”

Ibu muda itu tersenyum. “Mungkin kami tahu, Mbak. Karena kalau tulisan bisa bikin orang bertahan di masa-masa sulit… itu berarti penulisnya juga pernah bertahan demi orang lain.”

Kata-kata itu menancap dalam. Kenken menahan napas, takut jika ia menghirup terlalu cepat, air matanya akan tumpah.

Mereka berpamitan, melangkah menjauh di pasir yang mulai mengeras oleh air pasang. Kenken tetap berdiri, memandangi punggung mereka sampai hilang di tikungan jalan kecil di tepi pantai.

Ia tahu, esok ia akan datang ke rapat redaksi dengan wajah berbeda. Bukan wajah orang yang kalah, tapi wajah yang kembali menemukan alasan.

Mungkin inilah yang dimaksud pepatah kalau proses tak mengkhianati hasil. Menjaga api di tengah angin kencang memang melelahkan. Tapi mereka yang peduli akan tetap bertahan setia, bahkan di saat semua tampak sia-sia. Mereka adalah pembaca yang tak tergoyahkan, loyalis garis keras.(*)

Further reading

  • eva dwiana

    Eva Tak Punya Legitimasi yang Kuat, Ia Hanya Didukung oleh Kurang dari 30 Persen Warga Bandarlampung

    Sebagai walikota, Eva sebenarnya tak punya akar legitimasi yang kuat untuk memimpin kota. Kondisi ini, berkorelasi dengan kebijakannya yang cenderung ngawur dan egosentris. (Lontar.co): Sejak pagi, backhoe itu terus mengeruk aspal yang digali di pelataran gedung Kejati Lampung. Sementara, sejumlah pekerja konstruksinya terlihat mondar-mandir mengangkut material dengan angkong. Meski masih relatif pagi, aktivitas konstruksi di […]
  • 60 Penulis ‘Menelisik Lampung’ Penuh Warna

    Masih sedikitnya ketersediaan buku yang membicarakan ke-Lampung-an, kini terjawab. Dinas Perpustakaan Lampung meluncurkan buku ini, Menelisik Lampung, berisi karya puisi, cerpen, dan esai (opini). Dikemas apik. (Lontar.co): Bangga jadi ulun Lappung (orang Lampung). Lampung, sebagai etnis, sangat kaya seni budaya. Daerah ini saja memiliki dua jurai bagi etnis Lampung, yakni pepadun dan saibatin — pedalaman […]
  • bahan pangan tersandera mbg

    Bahan Pangan yang Tersandera MBG

    Tingginya permintaan harian Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) Makan Bergizi Gratis, memicu naiknya harga bahan pokok di sejumlah pasar. Masyarakat dan pedagang tradisional mengeluh. (Lontar.co): Meski sudah menunggu sejak pagi, Erni hanya mampu membeli sekilo telur dan 5 kilogram beras di pasar murah yang digelar di Kantor Kecamatan Bumi Waras itu. Banyak bahan pokok yang […]