jilbob

Jilbob jadi Tren Kesalehan Visual tapi Cuma jadi Olok-olok Nonis

0 Comments

Jilbob jadi Tren Kesalehan Visual tapi Cuma jadi Olok-olok Nonis

0 Comments

Jilbob bikin substansi berhijab melenceng jauh. Beragama tapi tidak beragama dan haus akan kurasi visual yang mengarah pada tindakan pornografi.

(Lontar.co): Ketika lekuk tubuh dan aurat perempuan, diumbar sedemikian rupa, jilbob kini dianggap sebagai kelaziman mutlak pada kesalehan virtual di ruang-ruang sosial yang cenderung semu.

Tak ada negosiasi kecuali validasi absurd demi suka dan status, tapi pada akhirnya perempuan-perempuan yang mengaku muslimah itu hanya jadi bahan cemooh mereka yang nonis.

Budaya pop memang punya kecenderungan menihilkan keyakinan dalam semua ruang sosial yang mereka tampilkan dalam bungkus-bungkus platform digital.

Platform-platform ini pula yang kemudian menghembuskan tren ini, kemudian diikuti sebagai fashion, sampai akhirnya mengaburkan batas-batas aurat seorang perempuan sebagai penganan sosial.

Jilbob dan Kebutuhan Visual

Stereotip seorang muslimah pada pandangan kelompok nonis hanyalah sebatas kebutuhan berpakaian, ia bukan lagi kewajiban menutup identitas kelaminnya, setelah jilbob atau jilboobs, menyesaki gulir-gulir gambar dan gerakan-gerakan yang lebih menitik pada aktivitas yang dominan sensual.

Moral policing makin tergerus oleh dominasi-dominasi nafsu yang haus dengan lekuk-lekuk aurat perempuan. Tabu dianggap sebaris dengan keyakinan. Ia makin bias, karena pengaruhnya kalah kuat, mereka yang coba bertahan dibuat tak berkutik, bahkan untuk hanya sekedar tak melihat saja.

Jilbob bukan lagi fenomena, ia sudah menjadi bagian dari tren yang biasa dan biasa saja, perempuan muslim yang ‘memaksa’ untuk tetap menjadi muslimah, dianggap sebagai anomali, konservatif hingga anti modern.

Awalnya jilbob oleh mereka-mereka yang berkiblat kepadanya, dianggap sebagai bentuk perlawanan, mulai dari yang kecil sampai yang besar, mereka menganggap keyakinan sebagai aturan yang membelit, sementara kebutuhan mereka dalam hal individu dalam lingkungan sosial amat kompleks, maka perlawanan yang semula kecil menjadi besar, karena nafsu akan eksistensi lebih kuat pengaruhnya daripada ketakutan akan dosa.

Perempuan-perempuan muslim yang memilih berkiblat kepada jilbob, merasa bagian dari perubahan, menawarkan identitas yang baru dengan embel-embel perempuan muslim masa kini.

Perubahan sosial di lingkup spesifik ini sejatinya tak berjalan linier dengan keadaan mereka sesungguhnya, ada penyangkalan serius dalam diri mereka, meski kecil sekalipun, karena konteks masa dan kebutuhan identitas lebih kuat mempengaruhi mereka-mereka yang jalannya salah ini.

BACA JUGA  Mencoba Membantu Mencarikan Kos 3 Jutaan di Jakarta Buat ‘Wakil Tuhan’

Pergeseran Nilai Serius

Dulu, saat orde baru masih berkuasa, jilbab adalah barang langka, meski tak secara khusus mengatur, namun rezim membatasi lingkungan perempuan-perempuan muslim, mereka menjadi sesuatu yang langka saat itu.

Tapi, perbandingannya justru pada kebutuhannya, perempuan di masa orde baru dibatasi oleh etika sosial yang kuat, yang terbangun dan terbentuk sendiri sebagai bagian dari keteraturan yang mutlak.

Setelah euforia rezim berubah, hijab menjadi bagian dari identitas penting yang membangun garis yang kuat akan batas kehidupan berkeyakinan yang diajarkan oleh Rasulullah dengan amat tegas, sebagai umat, perempuan-perempuan muslim menaatinya dengan takzim.

Waktu bergulir, dan paradigma bergeser, orang-orang kemudian berusaha mempengaruhi kebutuhan perempuan muslim yang labil dalam hal keyakinannya dan celakanya jumlah mereka-mereka ini justru amat banyak, dengan menomorduakan kewajiban menutup aurat melalui lekuk-lekuk tubuh mereka, dengan embel-embel identitas muslimah tapi dengan laku gurat-gurat lekuk tubuh yang ketat.

Kuatnya pengaruh barat ini yang kemudian coba dibantah oleh Shelina Janmohamed yang terus membangun pengaruh keberislaman melalui pakaian seorang muslimah yang sesungguhnya.

Shelina berusaha membantah stereotipe Islam di Eropa yang sudah terbangun dan identik dengan istilah radikal, yang membangun pengaruhnya melalui kaum perempuan muslim dengan busananya yang lebih beradab, tertutup dan menutup pandangan negatif siapapun masyarakat Eropa terhadap kaum perempuan Islam sekaligus identitas Islam itu sendiri.

Tapi, masyarakat barat memang terkenal picik. Justru dari Shelina, ide-ide busana perempuan muslim dijadikan sebagai sebuah komoditas komersil dengan melihat peluang pasar yang besar di seluruh dunia, sekaligus membawa misi mengaburkan keyakinan lewat produk-produk fashion masyarakat barat yang terlalu mengumbar lekuk, walau tertutup sekalipun, dan yang menyedihkan kaum muda memilihnya secara sadar ataupun tidak, karena kuatnya pengaruh itu.

Konstruksi Syar’i antara Jilbab dan Jilbob

Ada perlawanan, tapi sebentar, setelahnya tren lebih mempengaruhi semuanya, sampai merambah kemana-mana dan kemudian menjadi lazim.

BACA JUGA  Jangan Mati Sekarang; Lahan Pemakaman Sudah Habis!

Konstruksi jilbab yang syar’i di rekonstruksi ulang melalui simbol-simbol barat yang lebih kuat identitas sekulernya dengan mengaburkan identitas seorang perempuan muslim, melalui imaji keindahan yang memang harus diumbar sebagaimana dunia barat berpandangan.

Kondisi ini makin dikuatkan oleh perubahan konsep, melalui teknologi yang berkembang sedemikian pesat sehingga menggeser wujud kesalehan, melalui kesalehan virtual.

Ruang subjektif kemudian muncul pada kesalehan seorang perempuan yang tak lagi dinilai pada selembar kain penutup kepala, karena melalui kesalehan virtual, identitas itu menjadi semakin bias.

Kepentingan-kepentingan yang dibawa melalui produk barat ini kemudian ditanggapi oleh kepentingan komunal yang lebih mudah ‘dicuci’ pandangannya melalui kebutuhan fashion dengan terus membangun narasi keislaman tentang menutup aurat yang dianggap kaku, feodal dan tak sesuai zaman, dan kaum perempuan adalah ‘alat’ yang paling efektif untuk menyebarkan paham sesat itu, kemudian menggiring niqab, cadar dan identitas yang melekat kuat pada perempuan muslim sebagai stigma buruk, tak fashionable hingga kuno.

Jilbob Dan Kehausan Kurasi Visual

Dan, sekarang jilbob adalah bagian dari kita, setiap hari, setiap waktu, jilbob ada dimana-mana, mempengaruhi, mengisi ruang-ruang kehidupan sosial, sebagai kebutuhan akan identitas, dan kita dipaksa menikmatinya dengan ikhlas.

Tubuh dan lekuk perempuan muslim kini, telah menjadi sebuah arena untuk rekonstruksi ulang akan citra tubuh sekaligus sebagai bagian dari cara yang rumit untuk me-negosiasi kebutuhan kekinian dengan norma agama, ada pula tekanan terhadap keinginan untuk terlihat cantik sekaligus modern demi hasrat eksistensi.

Dalam proses ini, perempuan muslim layaknya seorang pekerja pada kerja estetik yang dituntut lebih menyesuaikan diri melalui visual ketimbang norma agama yang seharusnya bisa menahan hasratnya, keyakinan dan nilai estetis diposisikan saling bertentangan satu sama lainnya, dan visual melakukan kurasinya.

Pergeseran kesalehan yang lebih menaati visual ketimbang kesalehan individu kepada Sang Pencipta, jauh lebih dominan kini, tuhan-tuhan baru adalah mata-mata yang memandangi tiap lekuk tubuh, dengan menempatkan suka dan tidak suka sebagai olok-oloknya, dan kaum perempuan secara sadar menghamba kepada semua itu.

BACA JUGA  Limbah, Efek Domino MBG

Dari pengharapan itu, ambisi eksistensi dari yang semula alim menjadi upaya mengumbar kemana-mana tiap lekuk aurat dengan amat sadar pula.

Tubuh-tubuh perempuan yang semula etis dan beradab dengan hijab-hijab sebagai tabir, bergerak bias dalam adaptasi nilai-nilai modern yang semu, sehingga kemudian ada upaya untuk menafsir ulang definisi pakaian yang menutup aurat-aurat yang seharusnya, dengan upaya-upaya pengaburan, tetap menutup tapi membuka lekuk, tubuh perempuan muslim yang semula berwujud entitas tetap yang baik berubah menjadi sesuatu yang harus diumbar untuk semua orang.

Nirkodrati Hijab

Hijab dianggap bukan lagi sebagai pelindung aurat perempuan sebagai kodrati, ia dianggap sebagai aksesoris mode, sekedar menutup tapi tak terlalu menutupi. Ia bukan lagi bentuk pertanggungjawaban kepada Sang Pencipta, tapi lebih kepada haus akan identitas keterkenalan dalam logika visual yang kompleks dan tak punya arah.

Kesalehan yang terbangun pada akhirnya tak lebih dari sekedar visual semata dan cenderung performatif, yang masih berhijab dengan terus menjaga ketertutupannya, maka akan dianggap ketinggalan zaman. Hingga nilai-nilai spiritual semakin tersisih oleh estetis, tapi bukan oleh fashion melainkan tubuh perempuan itu sendiri.

Sampai kemudian, mereka-mereka yang nonis mempertanyakan sikap ambigu perempuan-perempuan dari kelompok mayor, yang dianggap terlalu mudah diintrusi oleh budaya dan modernitas.

Pada fase ini, kaum perempuan muslim yang terus menghamba kepada upaya membangun imaji seksi dengan tameng hijabnya adalah mereka yang hari ini sungguh menyedihkan keadaannya, dengan melakukan negosiasi terhadap norma agama yang seharusnya mereka patuhi.

Keimanan dianggap sebagai nilai estetis dengan dalih tak melepas nilai religiusitas, dengan menafsirkan sesuatu sesuai dengan kebutuhan zaman dengan ekspresi sekaligus refleksi sebagai upaya melepas diri dari tekanan budaya visual yang kuat.

Islam sejatinya tak pernah bertindak sebagai keyakinan yang kaku. Ia hidup dan menyesuaikan zaman itu sendiri, hanya saja terkadang pikiran dan pengaruh mengesankan Islam sebagai keyakinan yang saklek.

Jilbab menjadi hak dan haq buat perempuan muslim, tapi tak lantas dicemari oleh mereka-mereka yang merasa modern dengan jilbobnya.

Further reading

  • eva dwiana

    Eva Tak Punya Legitimasi yang Kuat, Ia Hanya Didukung oleh Kurang dari 30 Persen Warga Bandarlampung

    Sebagai walikota, Eva sebenarnya tak punya akar legitimasi yang kuat untuk memimpin kota. Kondisi ini, berkorelasi dengan kebijakannya yang cenderung ngawur dan egosentris. (Lontar.co): Sejak pagi, backhoe itu terus mengeruk aspal yang digali di pelataran gedung Kejati Lampung. Sementara, sejumlah pekerja konstruksinya terlihat mondar-mandir mengangkut material dengan angkong. Meski masih relatif pagi, aktivitas konstruksi di […]
  • 60 Penulis ‘Menelisik Lampung’ Penuh Warna

    Masih sedikitnya ketersediaan buku yang membicarakan ke-Lampung-an, kini terjawab. Dinas Perpustakaan Lampung meluncurkan buku ini, Menelisik Lampung, berisi karya puisi, cerpen, dan esai (opini). Dikemas apik. (Lontar.co): Bangga jadi ulun Lappung (orang Lampung). Lampung, sebagai etnis, sangat kaya seni budaya. Daerah ini saja memiliki dua jurai bagi etnis Lampung, yakni pepadun dan saibatin — pedalaman […]
  • bahan pangan tersandera mbg

    Bahan Pangan yang Tersandera MBG

    Tingginya permintaan harian Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) Makan Bergizi Gratis, memicu naiknya harga bahan pokok di sejumlah pasar. Masyarakat dan pedagang tradisional mengeluh. (Lontar.co): Meski sudah menunggu sejak pagi, Erni hanya mampu membeli sekilo telur dan 5 kilogram beras di pasar murah yang digelar di Kantor Kecamatan Bumi Waras itu. Banyak bahan pokok yang […]