Shuniyya ruhama
Shuniyya Ruhama, lelaki yang mengaku sebagai perempuan. Foto: olah grafis

Transpuan dalam Dakwah Transenden yang Menjijikan!

0 Comments

Bagaimana mungkin memahami sebuah dakwah yang berusaha mengajak pada jalan yang benar, sementara sebagai transpuan, Shuniyya Ruhama masih belum selesai dengan dirinya sendiri, yang tamak dengan nafsunya. Kita selalu saja permisif pada hal-hal yang mengarah pada identitas plural, meski ada batas yang tegas untuk itu.

(Lontar.co): Adalah Shuniyya Ruhama, transpuan dari Kendal, Jawa Tengah yang memicu kontrovesi dengan dakwah-dakwah yang ia lakukan.

Ia tak spesial, biasa saja, bahkan menjadi ironi ketika ia merusak keyakinannya sendiri, justru dengan membenarkan anggapannya sendiri, entah demi apa.

Sungguh, dunia memang sudah terlalu tua, untuk hal-hal yang terkadang hanya demi sensasi keduniawian yang lebih banyak semu.

Shuniyya dan Hal yang Belum Selesai

Shuniyya Ruhama memang belum selesai dengan dirinya sendiri. Ia membangun dikotomi untuk dirinya sendiri, melalui ungkapan tentang identitas yang berimpit, tentang jenis kelamin dan gender, sebagai pembenaran yang kemudian disodorkan ke kelompok-kelompok sosial untuk dibela, sebagai rasa toleran.

Padahal, garis batas keduanya amat tegas. Ia bukan sedang berbicara di tengah kelompok sosial, tapi ia harus mempertanggungjawabkan kepada sosok yang seharusnya ia khidmati sebagai sosok Yang Maha Baik.

Bayangkan, ada begitu banyak orang yang menginginkan dan terus menengadahkan tangannya untuk mendapatkan ketenangan yang mutlak dalam hidupnya di dunia, tapi Shuniyya Ruhama justru memilih jalan tengah yang memancing marah sekaligus menjijikan.

Lelaki Bukan Perempuan

Adalah Eko Purnomo pria asal Kendal, yang menuntut dirinya dalam gender yang lain dari kodratinya sebagai pria, kemudian menyematkan identitasnya sebagai; Shuniyya Ruhama, karena menuntut identitas lain kepada Dzat yang telah menciptakannya.

Latar belakangnya adalah pengusaha batik, ia adalah lulusan UGM. Aktivitasnya tak menarik, tapi sensasinya terlalu luar biasa buat orang biasa yang membangun eksentrisitas justru lewat hal tak lazim, waria, ia terus saja membangun sikap permisif kepada setiap orang, justru lewat hal yang kelewat fenomenal, sebagai pendakwah, yang membiaskan statusnya sendiri, melalui aib gendernya; ustad atau ustadzah?

BACA JUGA  Betapa (Tak) Efektifnya Reses Anggota DPR Selama ini

Dakwahnya kemudian viral, tapi banyak yang mempertanyakan kelayakannya sebagai seorang pendakwah, di balik status gendernya yang bias. Ia bukan hanya sedang menyebar kebodohannya sendiri tapi juga keyakinan yang ia bawa.

Tapi ia terus saja bermain dalam sensasi yang ia bangun sendiri. Perspektifnya tentang keyakinan yang ia bangun lewat dakwah justru ia telanjangi sendiri dengan statusnya yang ambigu.

Pembenaran Demi Kesalahan

Kemudian, kelompok besar memberinya ruang lewat embel-embel plural, kemudian menjual identitas yang majemuk sebagai pembenarannya, dan menggiring semua orang untuk menempatkan Shuniyya sebagai kelompok marjinal yang harus dilindungi melalui identitas agama yang justru keras-keras melaknat lakunya.

Ia tak pantas sekaligus tak layak untuk posisi itu, kecuali hanya sensasi sesaat yang ia rasakan sendiri, jika ia sedang membangun konsep tujuan ini, maka ini selamanya tak akan pernah kekal sekaligus tak ideal sama sekali, buat dirinya, pun buat orang lain.

Ia hanya sedang memanfaatkan momentum untuk sesuatu yang semu, tapi begitu dihamba oleh dirinya, pada situasi ini Shuniyya benar-benar sangat melecehkan.

Kemudian, masih pula ia membangun ‘teori’ pembenaran terhadap kelainan yang ia paksakan sebagai posisi ‘liyan’ untuk diakui dalam kelompok besar ini, melalui buku yang ia tulis; ‘Jangan Lepas Jilbabku! Catatan Harian Seorang Waria’.

Ia terus saja berlindung tanpa ampun, dalam konsep ruang ‘antara’ dengan menyebut; fisikku laki-laki tapi jiwaku perempuan.

Argumen yang dibangun Rhuniyya seolah bertindak sebagai ad populum untuk mengarahkan semua orang pada sikap-sikap permakluman dan menempatkannya dalam kelompok lain marjinal yang harus dilindungi, alih-alih diperbaiki.

Sementara kita, lewat Shuniyya Ruhama dan hal-hal lain yang begitu telanjang melecehkan, dibuat kerdil, tak kritis pada keadaan-keadaan yang dibuat dalam keadaan sadar. Dibikin bodoh oleh perspektif gender yang menyimpang, sebagai entitas liyan yang terus mencari pembenaran diri untuk bisa hidup dan diterima dalam kelompok besar ini, tapi entah untuk apa, kecuali terus membangun dosa semata.

BACA JUGA  ‘Tetap Jadi Onghokham’, Sejarawan yang Ditulis oleh Sejarahnya Sendiri

Yang menentang kemudian dianggap konservatif, kuno, anti definisi sosial sampai kemudian malah membalik menjadi sosok yang bersalah, karena tak bisa menerima mereka yang menyimpang ini hidup bersama-sama.

Rhuniyya Suhama sedang tidak mengalami ketidakadilan, tapi sebaliknya kita sendiri yang terus diaduk oleh keadaan-keadaan menyimpang sebagai dalil yang benar.

Padahal, keyakinan ini sedang tidak mencari keseimbangan bentuk, melalui konsep-konsep yang dibangun di luar kodrat-Nya, karena sejatinya tanpa entitas manusia pun, Sang Dzat itu tetap ada, bahwa kemudian terjadi simpangan-simpangan akut yang kronis dan serius, kita memang perlu waspada bahwa anasir ini memang sudah mendekati bagian akhir.

Perkara yang Seharusnya Sudah Selesai

Islam mengajarkan konsep baik dalam ruang-ruang spiritual, antara Tuhan dan antara manusia lainnya, dalam hubungan sosial, sesuai dengan makna manusia sesungguhnya, bukan yang bersembunyi dalam identitas apalagi gender.

Ini pula yang seharusnya dipahami Shuniyya Ruhama sebagai ‘muslim’, dalam perkara yang sudah selesai bahkan jauh sejak ia masih awam tentang Islam itu sendiri.

Bahwa keadaan setiap manusia memiliki hak yang sama dan setara untuk dekat dan mendekati Tuhannya, itu perkara lain, dan bukan pula dalam wujud yang bias dan ambigu, karena Tuhan sejatinya membenci keadaan itu.

Pun dengan persepsi bahwa ibadah adalah urusan spiritual tiap individu dengan Tuhan, tapi konsep spiritual dibangun dengan tahapan yang memang diajarkan melalui Rasulullah, sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan aturan dan larangan yang tegas, tak tersirat tapi tersurat, sekaligus kontekstual dan aktual, melampaui zamannya, bahkan pikiran-pikiran orang yang meyakini dan menyangkalnya, sekaligus nubuat yang paling presisi, mengatur segala sendi hidup dan kehidupan.

Islam itu Sederhana

Kita pula bersepakat bahwa agama ini dibangun oleh tiap individunya melalui cara yang sederhana, dimaknai seluruhnya untuk kemudian dijalani dengan ikhlas dengan keridhaan-Nya.

BACA JUGA  Cerita Pekerja dan Nasabah Bank Plecit hingga Koperasi Keliling

Tentang Shuniyya Ruhama, ia sebenarnya entitas yang tak perlu, ia lepas dari konteks sosial yang pada hal-hal tertentu terkadang membelenggu dan dipaksa untuk menerima keadaan itu melalui hembusan-hembusan yang justru membuat keyakinan itu terasa semu, melalui dalil-dalil yang dipaksakan, sehingga membuat Islam itu terasa amat berat melalui definisi-definisi (sendiri) yang juga ikut dipaksakan sebagai pembenarnya.

Padahal, ruang pasti spiritual sudah sejak ia ada, melepaskan diri dari ruang sosial, sesuai sudut spiritualitas tiap individu adalah urusannya dengan Tuhannya, maka Shuniyya Ruhama juga wajib dituntut untuk melepaskan atribusi sosialnya, seperti ia yang terus berusaha menguatkan posisinya dalam status ketiga kelompok gender yang dipaksakan hadir dalam khalayak ini.

Sebagaimana dakwah Nabi Muhammad SAW, Islam itu sederhana saja, tak pernah menuntut selain kewajiban sebagai muslim. Islam tak pernah menuntut kemewahan, eksklusifitas apapun untuk membangun hubungan yang khusyu’ dengan Allah, karena Dia maha segalanya.

Islam tak dibangun dengan instrumen-instrumen yang mengkotak-kotakkan muslim satu dengan yang lainnya, sebagaimana prinsip bahwa muslim satu dan yang lainnya adalah sama di sisi-Nya, yang berbeda hanyalah kadar keimanan dan ketaatan.

Besok dan nanti, masih akan ada sosok-sosok seperti Shuniyya Ruhama, kadang sama, kadang pula hadir dalam bentuk yang berbeda, sementara kita tetap diam saja, bersikap untuk tak bersikap, entah tidak tahu atau tidak mau tahu. Kita hanya masyuk dengan membangun identitas spiritual sendiri, tapi fondasi yang sedang dibangun terus kita runtuhkan sendiri, secara sadar atau tanpa sadar.

Shuniyya Ruhama adalah kenyataan-kenyataan yang pernah disampaikan Rasulullah, bahwa Shuniya adalah bagian dari material-material penting pembangun keadaan tentang tujuan yang akhir, yang selama ini selalu disangkal sebagai sikap denial, bahwa keyakinan itu dirasakan sebagai sesuatu yang memaksa dan menyakitkan.

Further reading

  • eva dwiana

    Eva Tak Punya Legitimasi yang Kuat, Ia Hanya Didukung oleh Kurang dari 30 Persen Warga Bandarlampung

    Sebagai walikota, Eva sebenarnya tak punya akar legitimasi yang kuat untuk memimpin kota. Kondisi ini, berkorelasi dengan kebijakannya yang cenderung ngawur dan egosentris. (Lontar.co): Sejak pagi, backhoe itu terus mengeruk aspal yang digali di pelataran gedung Kejati Lampung. Sementara, sejumlah pekerja konstruksinya terlihat mondar-mandir mengangkut material dengan angkong. Meski masih relatif pagi, aktivitas konstruksi di […]
  • 60 Penulis ‘Menelisik Lampung’ Penuh Warna

    Masih sedikitnya ketersediaan buku yang membicarakan ke-Lampung-an, kini terjawab. Dinas Perpustakaan Lampung meluncurkan buku ini, Menelisik Lampung, berisi karya puisi, cerpen, dan esai (opini). Dikemas apik. (Lontar.co): Bangga jadi ulun Lappung (orang Lampung). Lampung, sebagai etnis, sangat kaya seni budaya. Daerah ini saja memiliki dua jurai bagi etnis Lampung, yakni pepadun dan saibatin — pedalaman […]
  • bahan pangan tersandera mbg

    Bahan Pangan yang Tersandera MBG

    Tingginya permintaan harian Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) Makan Bergizi Gratis, memicu naiknya harga bahan pokok di sejumlah pasar. Masyarakat dan pedagang tradisional mengeluh. (Lontar.co): Meski sudah menunggu sejak pagi, Erni hanya mampu membeli sekilo telur dan 5 kilogram beras di pasar murah yang digelar di Kantor Kecamatan Bumi Waras itu. Banyak bahan pokok yang […]