Teater di Lampung ada, tapi kurang terasa. (Ilustrasi: Lontar.co)

Ironi Sejarah Teater di Lampung

0 Comments

Beberapa waktu ini masyarakat ramai membahas gerakan Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan yang meluncurkan program penulisan ulang sejarah nasional Indonesia. Lantas, sejarah teater di Lampung siapa yang membahas?

(Lontar.co): Di satu sisi, ada yang mendukung gerakan itu karena dianggap akan merekonstruksi sejarah yang lebih objektif dan inklusif, serta menumbuhkan rasa nasionalisme. Di sisi lain, muncul kekhawatiran kalau proyek ini sarat muatan kepentingan politis, berpotensi memanipulasi sejarah, dan menghilangkan perspektif lain yang berbeda. Dialektika terus terjadi dan sepertinya pemerintah juga tetap pada pendirianya.

Salah satu aspek positif dari munculnya program penulisan sejarah nasional adalah banyak orang kini kembali menengok sejarah. Dan pada kesempatan ini, saya tergelitik untuk menengok sejarah teater di Lampung. Ya, saya rasa belum ada buku yang secara komprehensif dan terpercaya mengulas tentang sejarah dan perkembangan teater di Lampung.

Barangkali nanti kita dapat menemukan alasan, kenapa sebagian besar pelaku baik dari pelajar, mahasiswa, atau kalangan umum kurang memperhatikan sejarah dan perkembangan teaternya. Dengan kata lain kurang memperhatikan sejarah berarti kurang mengenali arena, atau bidang yang sedang digeluti. Cukup unik, ya.

Barangkali juga sebagian besar pelaku teater terlalu sibuk berkarya, sibuk berlatih, membuat program atau even teater lainnya, hingga tidak cukup waktu untuk melihat atau menyusun ulang sejarah teater di Lampung.

Nah, problem selanjutnya jika pun hendak menelisik sejarah, hanya sedikit data yang dapat dihimpun atau diperoleh. Informasi yang tersedia di sejumlah platform online masih simpang siur dan terbatas pula.

Tapi pelaku teater tidak perlu terlalu bersedih, sebab bukan hanya sejarah teater saja yang tidak jelas, sejarah Provinsi Lampung atau sejarah Kota Bandarlampung yang ditulis secara komprehensif pun sulit kita dapatkan. Jadi secara umum, di Lampung, sejarah seperti menjadi sosok asing karena tak banyak yang mempedulikan.

Artinya ada problem ketidakjelasan sejarah, sehingga generasi sekarang tidak mendapat informasi yang memadai terkait ihwal ini, sehingga kita memang tidak bisa menyalahkan siapa pun jika generasi sekarang terindikasi ahistori.

Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah atau disingkat Jasmerah adalah semboyan yang terkenal yang diucapkan oleh Presiden Soekarno, dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966. Saya pikir ini menarik ketika mengaitkan dengan kehidupan teater di Lampung.

Mula Teater di Lampung Akhir 1970-an

Sebagai pintu masuk membaca sejarah teater di Lampung, saya akan memulai dari dua artikel berjudul Apa Kabar Dramawan Lampung? Oleh HM. Indrajaya(Alm).

“Tahun-tahun belakangan ini statistik tidak resmi kegiatan teater di kawasan nusantara menunjukkan frekuensinya yang menaik terutama di kalangan remaja, lebih-lebih di Jakarta, pementasan, pergelaran, dan kegiatan drama tak putus-putus. Baik itu dinaikkan oleh grup-grup teater remaja maupun grup-grup yang sudah profesional. Kegiatan semacam itu bukan saja di Jakarta, tetapi mendengung juga di Jogja, Bandung, Surabaya, Tegal, Semarang, Purwokerto, Ujung Pandang, dan lain-lain.

Tapi buat daerah Lampung, yang namanya Seni drama belakangan ini sedang tidur nyenyak, kalau belum boleh dibilang “mati sama sekali”. Sudah cukup lama Daerah Tingkat I ini bersepi-sepi dari soal kegiatan drama, apalagi di tahun 1976 tidak sebuah nomerpun yang muncul, kalau toh ada itu di tahun 1975 yang merupakan letupan-letupan kecil tiada arti, yang berbau sekolahan.

Paling-paling, sekali-sekali terdengar sandiwara radio melalui RRI atau radio-radio amatir saja. Sedang kegiatan yang boleh dikategorikan berbobot tidak terdengar.(Minggu Merdeka, 27 Februari 1977)

Satu artikel lainnya berjudul “Mengintip Kegiatan Teater Remaja di Lampung: Sudah Ada, walau Tertatih-tatih,” Oleh: AM. Zulqarnain Ch (Alm).

“BM Gutomo dan Mz. Simatupang boleh dibilang sebagai kampiun Lampung untuk drama. BM Gutomo: Jawa, pegawai, memimpin, dedengkot El Rinta Teater yang lahir seputar tahun tujuh puluhan. Sedang Gutomo sendiri umurnya 45 tahun. Karya terakhir yang dipanggungkan ialah ANTIGONE-nya Rendra, cukup sukses dan kini sedang menggarap “SOCRATES”.

Mz Simatupang; Batak, 40 tahun, seniman tulen, Big Boss SRB, teater yang lahir di seputar tahun 1973. Bulan Agustus lalu mementaskan karyanya sendiri “MIDRA”, cukup sukses karena memang itu karyanya yang ke delapan. Dan kabarnya sedang bersiap sebuah naskah baru yang masih of the record tentang judulnya.

Surrealisme kontemporer merupakan aliran yang dianut oleh mereka berdua. Gutomo lebih berorientasi kepada naskah yang berlatar belakang sejarah, sedang Simatupang orientasinya ke politik dan kritik sosial.

Merekalah dewa teater Lampung yang tetap aktif, walaupun tanah Lampung memang gersang dari pupuk budaya, karena memang di sini bukan kota budaya, tapi kota tempat cari makan.

Menyusul di belakang mereka tercatatlah sederet nama yang cukup panjang, tapi semuanya kebanyakan hanya bersifat sporadis dan lebih banyak jadi epigon-epigon Rendra, jadi nama Rendra memang melangit di sini.

BACA JUGA  Merenung Menatap Bakung

Satu di antaranya yang boleh dibilang mendingan adalah: IRKA, teater, dikomandani oleh Giyanti yang konon kabarnya anak buah Rendra. Terakhir karya yang dipanggungkan adalah HUMPIMPAH-nya Putu Wijaya. (Harian Pelita, Jakarta, 10 November 1978)

Tentu masih banyak artikel atau kliping koran yang kelak bisa menjadi bahan kita membaca sejarah teater di Lampung secara lebih komprehensif. Berdasar dua artikel ini dapat diketahui jejak teater di Provinsi Lampung sudah ada sejak tahun 1970-an, selain kita juga mendapat sedikit informasi sejumlah nama yang pelaku termasuk model teater yang dikembangkannya.

Artinya jika ada kelompok atau seniman teater yang konsisten dan dukungan pemerintah dapat saling suport atau sejalan visinya, barangkali di Lampung akan ada kelompok sehebat Suzuki Company of Toga (SCOT), kelompok teater yang dipimpin Tadashi Suzuki, sutradara teater modern Jepang yang kini menjadi salah satu kiblat teater modern dunia.  

Dari even kita juga bisa menengok Festival Teater Jakarta (FTJ, sebuah acara tahunan yang diadakan di Jakarta untuk merayakan dan menampilkan karya-karya teater. FTJ awalnya bernama Festival Teater Remaja Jakarta dan mulai dilaksanakan pada tahun 1973 sebagai program Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

FTJ bertujuan untuk membina kelompok teater dan menjadi wadah bagi seniman teater untuk berkarya. Artinya sudah 52 tahun FTJ berjalan.

Sayang sekali hal semacam ini tidak terjadi di Lampung, selain soal konsistensi pelaku teaternya, tentu banyak faktor lain yang kompleks sehingga memang kita tidak membandingkannya dengan kondisi di Jepang atau Jakarta yang masyarakat dan infrastruktur seninya tentu jauh lebih baik.

Seperti yang tertulis pada sejumlah artikel, sejak mula teater di Lampung sudah membawa penciptaan gaya teater barat, saat Ganti Winarno seorang murid Bengkel Teater Rendra bermukim di Tanjung Karang mementaskan lakon Oidipus karya Sophocles, di dalamnya terlibat beberapa orang aktor yang kemudian hari menjadi sutradara dan membentuk kelompok sendiri.

Teatrikal bisa berlangsung dimana pun. (Ilustrasi: Lontar.co)

Setelah periode Ganti Winarno, BM Gutomo, MZ. Simatupang, di Bandarlampung muncul Ucok Hutasuhut yang mendirikan Teater Karang , lswadi Pratama menginisiasi Forum Semesta bersama Panji Utama, dan Ahmad YuIden Erwin. Lalu ada Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, dan AM. Zulqarnain Ch yang menimba Ilmu dari MZ. Simatupang.

Kemudian ada Jalu Mampang yang mendirikan Teater Jaman, Edy Samudera Kertagama mendirikan Bengkel Deklamasi Lampung dan Teater Kuman.

Teater di Lampung Akhir 1990-an

Periode selanjutnya ditandai dengan munculnya teater yang pimpin oleh Iswadi Pratama bersama Imas Sobariah yang mendirikan Teater Satu. Selain memproduksi pertunjukan, Teater Satu yang didirikan 18 Oktober 1996 juga aktif menjalankan program pendidikan, kebudayaan, sosial dan kesenian melalui pertunjukan seni, penelitian, diskusi, pelatihan dan apresiasi seni.

Teater Satu kerap menyelanggarakan workshop, baik penyutradaraan, workshop pemeranan, workshop artistik, serta workshop manajemen panggung dan organisasi, baik untuk kebutuhan internal anggotanya maupun untuk umum (eksternal).

Sejak tahun 1998, Teater Satu bereksperimen dalam membangun hubungan pertunjukan teater dengan penonton. Mereka menelusuri berbagai kemungkinan agar pertunjukan yang dapat dinikmati semua kalangan. Teater Satu telah menggelar puluhan drama baik karya sendiri maupun karya penulis ternama seperti; Samuel Beckett, Anton Chekov, Jean Genet, N. Riantiarno, Arifin C Noer, dan Arthur S. Nalan.

Konsistensi dan kualitas pementasan mereka kemudian menempatkan Teater Satu sebagai salah satu  kelompok teater yang diperhitungkan di jagat teater mutakhir Indonesia. Spektrum  artistik mereka cukup luas, mementaskan  lakon-lakon barat seperti Lysistrata (1997), Jerit Tangis Malam Buta (1998), Waiting for Godot (2000), kemudian mereka juga memainkan teks puitik Nostalgia Sebuah Kata  (2003).

Spektrum  artistik yang lain adalah kepiawaian Teater Satu melakukan kerja adaptasi, seperti diperlihatkan lewat pementasan “Buried Child “(2012 dan 2016), dan pementasan “Kereta  Kencana” yang dipentaskan di Suzuki   Company of Toga (SCOT) Jepang (2017), serta masih banyak lainnya.  

Bekerjasama dengan Hivos, Teater Satu menyelenggarakan program besar yang diberi tajuk Kala Sumatera, program pelatihan dan pementasan teater yang diikuti kelompok teater perwakilan masing-masing provinsi yang ada di Sumatera.

Pada tahun berikutnya mereka menginisiasi Panggung Teater Perempuan Sumatera, dan yang terbaru Festival Teater Bio Fiction (2024) bekerjasama dengan Badan Bahasa Kemendikbud RI, dan penerima hibah Dana Indonesiana kategori Teater Pahlawan berjudul Raden Intan (2024).  

Setelah Teater Satu, kemudian muncul Komunitas Berkat Yakin (Kober), yang berdiri pada 26 Mei 2002. Kober identik  dengan sosok sutradara Ari Pahala Hutabarat. Pementasan debut mereka “Nyanyian Angsa” karya Anton Chekov, lantas disusul dengan Festival Anton Chekov (2002).  

BACA JUGA  Efisiensi itu artinya Bangun Pasar UMKM Senilai Rp9 M Lalu Dibiarkan Terbengkalai

Kober menganggap teater sebagai kerja ilmiah, oleh sebab itu jangkauan estetik mereka cukup luas dari mulai membawakan lakon kanon seperti Hamlet, Inspektur Jenderal, The Bandit atau Rashomon, Pinangan, Lear Asia (2018) hingga pertunjukan yang berdasarkan puisi yang mereka garap sendiri “Wu We: Siapa Nama Aslimu?” lalu “The Song  of Dayang Rindu”, Pilgrim I dan II, Nusantara Amnesia, Anamnesis, dan lain sebagainya.

Selain pementasan, Kober juga aktif menginisiasi sejumlah program pelatihan, baik teater maupun sastra di Lampung, seperti pelatihan sutradara, aktor, atau penulisan.

Dari spektrum estetis yang luas tersebut anggota-anggota Kober wajib membaca literatur dramaturgi secara serius. Selain Iswadi Pratama, Ari Pahala Hutabarat, atau Imas Sobariah, tokoh teater yang penting bagi perkembangan teater di Lampung adalah Ahmad Djusmar.

Selain aktif di Teater Satu, Djusmar pernah menjabat sebagai Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Lampung, ia juga membina Teater Cupido SMAN 1 Sumberjaya, Lampung Barat, lalu membentuk Sanggar Seni Gauri, salah satu sanggar seni independen yang rutin memproduksi pertunjukan teater yang cukup berkualitas di Lampung.  

Lalu di kota Metro ada Abdul Duma Harahap yang mendirikan Teater Malam, di Lampung Selatan ada Teater Gerilya, di Lampung Utara ada Juhardi Basri yang membina Teater Sangkar Mahmud, dan di Kabupaten Tanggamus ada Teater Jabal pimpinan Maman Baysuri.

Teater Lampung Tanpa Akar

Akar pohon yang kuat bisa menunjang “batang” teater yang kuat pula. (Ilustrasi: Lontar.co)

Ketika berbincang dengan Ari Pahala Hutabarat, sutradara dan pimpinan Komunitas Berkat Yakin (Kober) yang sudah berkiprah teater sejak 1990-an, dikatakan bahwa kesenian di Lampung khususnya teater dan sastra sudah hancur. Salah satu penyebabkanya karena teater tidak memiliki akar yang kuat dibanding tari atau musik tradisi.

Lampung tidak memiliki teater tradisional sebagaimana daerah lain seperti Dul Muluk, Ludruk, Mendu, Ketoprak, Lenong, dan lain sebagainya. Sementara kelompok teater modern juga jarang mengangkat kisah atau riwayat Lampung, dengan kata lain minim sekali teater menampilkan lakon dengan bahasa khas daerah. Bisa dikatakan prosesntase kelompok teater modern hanya nol koma satu persen menggunakan bahasa daerah Lampung dalam pertunjukan teaternya.

Komunitas Berkat Yakin pernah melakonkan teater Pinangan karya Anton Chekov Saduran Jim Lim total dengan Bahasa Lampung, pernah juga mengangkat salah satu foklor Lampung Tetimbai Sai Dayang Rindu (2012).

Puncaknya pada tahun 2023 melalui program Menatap Tubuh Bahasa; Festival Seni Bahasa Lampung, Kober mencoba mengangkat problem bahasa Lampung sebagai tajuk utama.

Satu program besar yang tujuannya adalah familiarisasi bahasa Lampung. Kegiatannya antara lain penerjemahan puisi dan naskah drama ke bahasa Lampung, Seminar Cawa Lampung, Pameran puisi berbahasa Lampung, Musik Klasik Lampung, hingga Festival Teater Bahasa Lampung. Ini baru pertama kali dilaksanakan dan kelanjutannya tentu mengalami banyak kendala, terlebih pemerintah belum sejalan visinya.  

Masalah nomor satu jarangnya pertunjukan di Lampung menggunakan bahasa daerah karena populasi suku Lampung kurang lebih hanya 14-15 persen dari total penduduk provinsi ini yang sekarang jumlahnya mencapai 9 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, yang masih berbudaya dan hidup dalam tradisi Lampung tidak lebih 11 persen.

Tentu saja jumlah pelaku teater suku Lampung lebih sedikit lagi. Bukan tentang kurangnya minat, tapi memang tidak ada pelakunya. Kalau pun ada aktor orang Lampung, kadang tidak tergabung dalam satu grup. Sedangkan teater sebagai seni kolektif tidak cukup satu orang, bisa dua sampai empat orang.

Secara potensi, teater sangat memungkinkan bisa menjadi media paling komprehensif dalam konteks mempertahankan bahasa daerah. Semestinya kita bisa menggunakan bentuk-bentuk di Eropa-Amerika untuk memberdayakan lokalitas kita. Itu disebut berpikir global bertindak lokal.

Minimnya Strategi Pengembangan Seni dan Budaya 

Selain masalah SDM, kontribusi pemerintah juga masih minim, belum ada kebijakan yang secara efektif dan berkelanjutan diproyeksikan untuk memberdayakan tradisi dan budaya Lampung. Bahkan, dalam kondisi seperti sekarang, tradisi Lampung khususnya terkait penggunaan bahasa semakin tergerus oleh budaya lain, baik oleh bahasa Indonesia, etnis lain, maupun bahasa asing.

Pemerintah daerah, baik kota maupun provinsi, meski jumlah pejabatnya sudah mulai banyak dari orang Lampung, tapi belum cukup memiliki kekuatan untuk mendorong kebijakan yang berpihak pada pengembangan seni dan budaya Lampung.

Barangkali pemerintah belum melihat kebudayaan Lampung sebagai sebuah aset yang penting dalam pembangunan Lampung. Akibatnya tidak kunjung ada strategi kebudayaan yang benar. Bagaimana caranya memberdayakan dan menumbuh kembangkan kebudayaan Lampung menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Kita bisa melihat strategi kebudayaan dilakukan pemerintah Korea Selatan melalui fenomena K-pop dan K-Drama, China, Jepang, atau negara maju lainnya. Ada desain yang dibuat oleh pemerintah bekerjasama dengan pihak swasta, kementerian pendidikan, pariwisata dan lain sebagainya.

BACA JUGA  Belajar dari Merince Kogowa, Indonesia bukan Negara Bebas Nilai Apalagi untuk Kemerdekaan Palestina!

Bagaimana mereka mengembangkan, memberdayakan, mengekspor habis-habisan budaya lokal ke dunia. Jadi ekosistem seni disuport, benar-benar diberdayakan. Visinya jelas, bagaimana sampai mendapat keuntungan secara ekonomis dari ekspor budaya. Strategi semacam itu di Lampung belum berjalan.

Ekosistem Seni Teater di Lampung Hancur

Peran teater selalu memberi kesaksian bagi proses pembangunan peradaban. Seni, khususnya teater, sejak muasalnya selalu kritis. Sehingga kritis dan evaluatif itu diperlukan untuk menyesuaikan pembangunan berjalan di jalur yang tepat.

Potensi ini tidak diberdayakan habis-habisan, khususnya oleh pemerintah. Jadi ekosistem teater sastra di Lampung itu hancur, rusak parah. Tidak ada sinergi yang cakep antara pemerintah, dalam hal ini Disdikbud, Taman Budaya, Kantor Bahasa, Kampus, bahkan pelaku seninya, semua asik masing-masing.

Bukan tidak memiliki kegiatan, namun tidak pernah memiliki visi besar bersama membawa kebudayaan Lampung lebih keren melalui jalur seni. Malah banyak juga kegiatan yang dibuat terkesan seremonial.

Harus pula diakui kontribusi pemerintah bukan tidak ada, hanya masih tergolong minim bagi perkehidupan teater, dan tentu jauh dari cukup jika kita menimbang derasnya pengaruh budaya di era globalisasi ini. Taman Budaya Lampung sebagai perpanjangan tangan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung adalah UPTD yang paling rutin menyelenggarakan kegiatan teater, dari menggelar liga teater hingga pelatihan (workshop), baik bagi kalangan pelajar, guru, maupun umum.

Selain itu ada Dewan Kesenian Lampung, Dewan Kesenian Metro, Dewan Kesenian Pesisir Barat, Dewan Kesenian Lampung Barat, Dewan Kesenian Lampung Selatan, dan lain sebagainya.

Kolaborasi antara seniman dan pemerintah memang masih terasa canggung bagi pengembangan teater di Lampung. Namun sebenarnya dalam skala kecil kita bisa menengok yang terjadi di Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba), ada Teater Anak Tubaba yang dibina oleh Sekolah Seni Tubaba.

Teater Tubaba memiliki tendensi yang berbeda dengan grup-grup  teater yang telah disebutkan, jika Teater Satu, Komunitas Berkat Yakin dan Teater Jabal  lahir  dari  para pelaku  kesenian, Teater Tubaba justru lahir dari  keinginan pemerintah daerah mengembangkan daerahnya  sebagai kota yang memiliki atmosfir kebudayaan. Pelatihan  teater dibuat, bersama  pelatihan kesenian-kesenian yang lain (sastra, seni rupa, tari dan musik) sebagai  media untuk  pengembangan sumber daya manusia (SDM).

Meski tergolong minim dukungan, beberapa kelompok atau komunitas teater di Lampung terus berupaya membangun kerjasama dengan berbagai pihak baik di Lampung, Nasional, mapun internasional. Seperti kerjasama dengan Yayasan Kelola, Hivos, Komunitas Salihara, Dana Indonesia Kemendikbud, Dewan Kesenian Jakarta, Badan Bahasa, Koalisi Seni, Penastri, dan lain sebagainya.

Selain kerjasama dengan lembaga donor, juga membangun jejaring bersama pelaku atau kelompok teater yang tersebar di seantero Indonesia.

Secara umum kelompok teater di Lampung sudah terbiasa kolaborasi lintas disiplin meski dalam skala terbatas, misalnya teater dengan tari, film, musik, seni rupa, dan dalam skala terbatas mendayagunakan arsip sebagai salah satu pijakan karya kreatifnya.  

Teater Kampus dan Pelajar sebagai Potensi

Pelaku teater pelajar bukan hanya membentuk karakter, lebih dari itu menjadi tumpuan harapan perkembangan teater. (Ilustrasi: Lontar.co)

Kontribusi  secara kuantitas berkaitan dengan kehidupan ekosistem teater di  Lampung diberikan oleh kelompok-kelompok teater kampus, baik yang berdomisili di Bandarlampung, Metro, maupun Lampung Utara, di antaranya (yang  paling produktif) adalah Teater Kurusetra UKMBS Unila yang sejak tahun 1990-an hingga sekarang masih aktif berproses dan memproduksi pementasan.

Kemudian UKMBS UBL, UKMBS Malahayati, UKMBS Polinela, Teater Hayat (Universitas Muhammadiyah), UKMF KSS FKIP Unila, Green Teater Umitra, Seni Lima Rasa UIN Bandar Lampung, Kelompok Teater Kombir Universitas Darmajaya, Teater Kapook IMPAS IAIN Metro, Teater Mentari UM Metro, Teater Sangkar Mahmud STKIP Kotabumi-Lampung Utara, dan lain sebagainya.

Teater-teater kampus tersebut biasanya  pentas di lingkungannya sendiri atau di Taman Budaya, dan aktif mengikuti kegiatan  teater nasional seperti Festamasio, Temu Teman, Dramakala Festival  di Jakarta, dan lain sebagainya.  

Sementara di kalangan remaja, meskipun tidak seramai di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung, kehidupan teater pelajar di Lampung  memperlihatkan potensi yang menjanjikan, kualitas ini ditempa salah satunya lewat Liga Teater Pelajar yang pada  tahun 2018 memasuki usia  ke-10, atau FLS2N yang rutin dilaksanakan.

Terlepas dari berbagai persoalan di atas, hingga sekarang masih ada beberapa grup yang terus berproses, tidak terbebani harus menjadi tradisional, tertutup dari berbagai kemungkinan, bersikap jumud dari kemungkinan-kemungkinan kreativitas. Pun tidak terburu menjadi canggih dengan mengabaikan komunikasi mendasar dengan penonton.  

Tradisi Teater  Lampung telah terbentuk dari kelompok teater independen, teater  kampus, teater pelajar hingga teater anak-anak, dari yang tradisi estetiknya sudah dianggap mapan hingga sesuatu yang bahkan hanya bisa disebut sebagai embrio. (*)

(Alexander Gebe: Penulis/Seniman)

Further reading

  • Ironi Sejarah Teater di Lampung

    Beberapa waktu ini masyarakat ramai membahas gerakan Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan yang meluncurkan program penulisan ulang sejarah nasional Indonesia. Lantas, sejarah teater di Lampung siapa yang membahas? (Lontar.co): Di satu sisi, ada yang mendukung gerakan itu karena dianggap akan merekonstruksi sejarah yang lebih objektif dan inklusif, serta menumbuhkan rasa nasionalisme. Di sisi lain, muncul […]
  • Pendengki, Sang Pemikir Sejati

    BACA JUGA  Bom Waktu Itu Bernama Silent Treatment
  • rampai

    Pada Rampai (Seharusnya) Kita Berjaya

    Sambal Lampung itu otentik, justru karena rampainya. (Lontar.co): Suatu ketika, dalam kontestasi memasak, Chef Renatta pernah mengomentari sambal buatan salah satu peserta yang menurutnya tak punya sensasi apa-apa kecuali pedas,”akan lebih berkarakter jika diberi tomat ceri,” kata Chef Renatta. Tomat ceri yang dimaksud Chef Renatta merujuk pada entitas buah rampai yang amat melimpah di Lampung. […]