Ekspresi boleh saja, tapi harus tahu tempat dan sejarah…
(Lontar.co): “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel,” Soekarno, 1962.
Pernyataan Bung Karno ini menjadi syarat mutlak untuk mengakui israel sebagai bangsa, meski berdiri sebagai koloni.
Indonesia tak suka dengan segala bentuk penjajahan. Bangsa ini tegak tanpa sikap pragmatisme di balik superioritas israel dan sekutu-sekutunya yang mendominasi.
Indonesia bukan zona bebas nilai, banyak aturan yang menihilkan Indonesia untuk membangun hubungan dengan israel dalam konteks apapun, apalagi ruang-ruang tipis yang bisa jadi bias untuk membangun hubungan yang serta merta terkontraksi demi nilai-nilai estetis atau embel-embel pluralisme.
Tak ada dan tak akan pernah ada hubungan diplomatik apapun dengan zionis, hal-hal yang terkait dengan israel bakal bertentangan dengan aturan yang diamanatkan oleh negara untuk anak bangsa.
Secara umum, aturan untuk tak membangun hubungan diplomatik dengan israel diatur dalam PP Nomor 41 tahun 1958, kemudian yang lebih implementatif ada pula Permenlu No. 3 Tahun 2019, yang melarang seluruh institusi atau siapa pun di wilayah Indonesia untuk tak mengibarkan bendera apalagi menyanyikan lagu kebangsaan israel.
Semua ketentuan itu bukan hiasan atau beleid-beleid usang tapi dipatuhi hingga saat ini.
Jadi, kalau masih ada orang atau pihak yang mati-matian membela israel, silahkan tanyakan kembali ke nurani, siapa yang sedang kamu hadapi? Konstitusi atau akal sehat itu sendiri?.
Meski hubungan Indonesia dan penjajah itu, pasang surut dalam beberapa hal, tapi cenderung tak resmi khususnya di era Suharto dan Gus Dur, secara diplomatik Indonesia tak hendak membangun kerjasama, tapi secara bilateral konteksnya hanya ke fokus tertentu, seperti perdagangan dan militer, tapi sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono semua bentuk hingga upaya membangun kerjasama bilateral dengan israel tak boleh dilakukan, kecuali hal-hal dalam kaitannya pembahasan terhadap kemerdekaan Palestina, selain itu, tidak.
Meski tak sekeras Iran dan semilitan Qatar dalam mendukung Hamas, tapi Indonesia selalu konsisten menjunjung komitmen kemerdekaan Palestina, opsinya hanya two state solution.
Adalah Merince Kogoya yang sebenarnya eksotis sebagai sosok perempuan elegan berciri Papua yang khas.
Perempuan Papua itu otentik, sebagai pewaris ras Melanesia yang melingkupi fisik genetika Indonesia Timur; kulit gelap dan rambut keriting.
Sebagai finalis Miss Indonesia 2025 mewakili Papua Pegunungan, ia tersandung akibat unggahan lamanya yang penuh kontroversi. Ada video Merince ikut mengibarkan bendera israel, sebagai bentuk dukungannya kepada zionis, yang diunggah dua tahun lalu.
Merince juga terang-terangan memberi dukungan untuk israel di bio Instagramnya,
Yayasan Miss Indonesia bereaksi dan mendiskualifikasi Merince yang sedang dalam masa karantina.
Di pembelaannya, Merince bukannya meminta maaf tapi justru menilai Yayasan Miss Indonesia diskriminatif terhadap dirinya.
Merince, selempang Miss Indonesia bukan cuma tentang gaun mewah dan prestise semata, tapi juga harus mengerti betul, dimana kamu ada dan berpijak.
Merince, Anda mungkin masih terlalu muda untuk memahami jejak sejarah Palestina terhadap kemerdekaan Indonesia atau Anda juga tak tahu ketika seorang saudagar asal Palestina menginfakkan seluruh kekayaannya untuk kemerdekaan Indonesia.
Dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina adalah abadi, bersemayam bersama semangat Soekarno yang keras terhadap segala bentuk penjajahan, semangat itu terus mengalir sampai saat ini, dalam nurani bangsa.
Pertama kali gaung kebencian terhadap israel, dicetus Soekarno tepat saat Ben Gurion memproklamirkan israel sebagai negara. Saat itu juga, ia mengeluarkan perintah pada tanggal 14 Mei 1948, isinya tegas, tak akan pernah mengakui israel sebagai negara, sebagai respon sekaligus sikap dan posisi Indonesia terhadap pendudukan israel.
Sikap antikolonialisme dan imperialisme terus disuarakan Soekarno, termasuk di hadapan Pengadilan Hindia Belanda.
“Hak yang diberikan atau tidak hak diberikan, diberi pegangan atau tidak diberi pegangan, diberi penguatan atau tidak diberi penguatan, setiap makhluk, setiap bangsa, setiap bangsa bisa atau tidak bisa, pasti akan bangkut, akhirnya harus bangun, akhirnya harus menggerakkan tenaganya, kalau sudah terlalu merasakan celaka, dia dianiaya suatu kekuatan yang murka,” kata Bung Karno dalam Pledoi Indonesia Lestari (1930).
Aksi lainnya ia tunjukan dengan memboikot israel di Asian Games 1962. Aksi Bung Karno dikritik keras oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang menganggapnya mencampur urusan politik dalam olahraga.
Dalam pidatonya To Build The World a New di hadapan PBB, Soekarno mengkritik keras PBB yang melakukan reorganisasi, reformasi dan merombak hak veto yang diskriminatif.
“Nasib umat manusia tak lagi ditentukan oleh beberapa bangsa besar dan kuat. Kami juga, bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa yang sedang bertunas, bangsa yang lebih kecil, kami berhak bersuara dan suara itu berkumandang sepanjang zaman,” kata Soekarno di forum PBB.
Keteguhan sikap yang diekspresikan Soekarno kala itu bahkan ditetapkan UNESCO sebagai salah satu Memory of The World (MoW).
Dikutip dari Historia, Konferensi Asia Afrika (KAA) 1953, Bung Karno kembali menunjukkan keberpihakannya pada Palestina, bersama dengan Pakista, ia menolak keikutsertaan israel di KAA.
Bung Karno menganggap israel adalah neokolonialisme dan neoimperialisme baru yang merusak tatanan perdamaian dunia.
Sebagai tanda keberpihakannya, Soekarno mengundang secara khusus Palestina sebagai negara berdaulat, dan saat ini Mufti besar Palestina, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini merasa terhomat hadir di forum tersebut.
“Kolonialisme belum mati, hanya berubah bentuknya. Neokolonialisme itu ada di berbagai penjuru bumi, seperti Vietnam, Palestina, Aljazair, dan seterusnya,” kata Soekarno di pidato pembukaan Konferensi Asia Afrika itu.
Tak hanya sikap politik, Soekarno juga menunjukan solidaritasnya ketika Piala Dunia 1957, saat Timnas Indonesia menjadi juara Grup 1 Zona Asia setelah mengalahkan China, otomatis di fase kedua putaran grup, timnas bakal berhadapan dengan zona Asia dan Afrika, yang salah satunya terdapat timnas israel.
Timnas Indonesia melalui pemain-pemain sekelas Ramang memang sedang di puncak kejayaannya kala itu, tapi mereka menolak melanjutkan tampil di Piala Dunia, karena tak sudi berada satu lapangan dengan zionis, demikian juga juara grup lainnya, Mesir, Sudan dan Turki sebagai negara penggantinya.
Maulwi Saelan yang saat itu menjadi kiper inti timnas menyebut mundurnya timnas karena ada perintah langsung dari Soekarno, meski saat itu Timnas Indonesia berhasil mengalahkan China.
Maulwi menuturkan ucapan Soekarno kala itu, jika timnas tetap bertanding, maka,”itu sama saja mengakui israel”.
Aksi ini juga berulang di Piala Dunia 1958, tak ada satupun wakil Asia yang ikut, sebagai bentuk dukungan kepada Palestina.
Ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV tahun 1962, Soekarno yang cerdik dengan sengaja tak memberi visa pada kontingen israel, jawabannya enteng saja, Indonesia tak punya hubungan diplomatik dengan zionis itu.
Keputusan Soekarno ini berujung pada di-skorsnya Indonesia pada keanggotaan Komite Olimpiade Internasional. Tapi, bukan Soekarno namanya jika tak melawan. Ia justru menginisiasi Games of The New Emerging Forces (Ganefo) tahun 1963.
Dalam buku Sukarno: Biografi Politik, John D Legge menyebut sikap berani Soekarno ini menjadi tanda bahwa Indonesia bukanlah bangsa yang tergantung pada kekuatan dunia yang ada pada saat itu.
Soekarno membuat Ganefo untuk menandingi Olimpiade, yang digelar dengan amat meriah di Jakarta tahun 1963.
Saat itu, 51 negara yang ada di Asia, Afrika, Eropa hingga Amerika Latin mengirim atlet-atlet mereka, untuk mengikuti 20 cabang olahraga, seketika Jakarta penuh dengan 2.700 atlet dari berbagai negara.
Di saat pengaruhnya mulai runtuh akibat rongrongan PKI, hati Soekarno tetap ada di Palestina. Saat pidato HUT Kemerdekaan RI ke-21, Soekarno kembali mengobarkan dukungan kemerdekaan Palestina.
“Kita harus bangga, bahwa kita adalah satu bangsa yang konsekuen terus. Bukan saja berjiwa kemerdekaan, bukan saja berjiwa antiimperialisme, tetapi juga konsekuen terus berjuang menentang imperialisme. Itulah pula sebabnya kita tidak mau mengakui Israel!”, pidato Soekarno ini terekam dalam buku Revolusi Belum Selesai.
Kuatnya dukungan Soekarno terhadap Palestina bukan tanpa dasar, ada jasa yang tak terperi dari rakyat Palestina untuk Indonesia saat melepaskan diri dari penjajah Belanda.
Tahun 1944, atau setahun sebelum proklamasi, mufti besar Palestina Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, memberikan dukungan secara terbuka bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Di buku Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri karya M Zein Hassan Lc Lt, sejak dukungan yang disampaikan secara terbuka melalui siaran radio Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, jalanan di Palestina dipenuhi gelombang aksi solidaritas dan dukungan kepada Indonesia oleh masyarakat Timur Tengah.
Bahkan, seorang saudagar kaya Palestina, Muhammad Ali Taher rela melepas seluruh kekayaannya untuk perjuangan Indonesia.
“Terimalah kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia,” kata Muhammad Ali Taher tahun 1944.
Pasca merdeka, Palestina juga bergerak dan mendorong Mesir untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.
Israel sebenarnya bukan tanpa upaya untuk merangkul Indonesia, setelah Indonesia mendapat kedaulatan penuh tahun 1949, negara-negara lain termasuk israel ikut mengakui.
Tanggal 5 Desember 1949, melalui Kepala Divisi Asia, Ya’acov Shimoni mengusulkan dibukanya kantor konsulat Israel di Indonesia.
Untuk tujuan itu, presiden israel chaim weizmann dan perdana menteri Ben Gurion memulai lobi dengan mengucap selamat.
Menyusul kemudian, menlu israel saat itu, Moshe Sharett yang mengirim telegram ke Mohammad Hatta pada Januari 1950 yang mengakui kedaulatan Indonesia.
Tapi, Soekarno tak menanggapi semua itu, ucapan maupun telegram dari zionis, akan halnya Mohammad Hatta hanya menanggapi dengan ucapan terima kasih tapi tak membuka hubungan diplomatik sama sekali.
Demikian pula ketika di awal 1950, israel berusaha membuka celah hubungan dengan Indonesia melalui misi muhibah, atas perintah Soekarno, Hatta membalas surat itu dan meminta agar misi ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Soekarno adalah representasi rakyat Indonesia, dulu, sekarang dan nanti. Ini bukan tentang keyakinan semata, tapi soal kemanusiaan serius yang harus terus disuarakan.
Merince, Indonesia dan Palestina adalah saudara karib yang diikat melalui kesamaan nasib, yang sama-sama merasakan sakit, ketika kolonialisme menjajah. Indonesia lebih beruntung, bisa merdeka lebih dulu, sedangkan saudaranya sampai kini masih terus berjuang.
Merince, ini bukan paradoks, kami bersumpah Palestina adalah saudara kami sampai kapan pun, sebagai narasi paling keras dari kami, yang sakit melihat saudara-saudara kami dijajah dengan bengis oleh zionis yang benderanya dengan bangga kamu kibarkan.
Beginilah cara kami meng-glorifikasi saudara kami di semua ruang kehidupan sebagai sikap yang tak pernah berubah terhadap kemerdekaan Palestina.
Merince, tanyakan ke nuranimu, saat zionis-zionis itu membunuh dengan bengis anak-anak tak berdosa di Palestina…