Perempuan paruh baya itu menitikkan air mata di dekat jendela kerjanya di lantai 6 Balai Kota. Cukup lama ia terpaku di sana. Sesunggukan, mungkin menangggung setiap jerit dan duka warganya yang lagi-lagi dihantui banjir bandang.
(Lontar.co): Asisten pribadi, yang juga sudah dua periode menemani perempuan paruh baya itu menjadi Walikota, tak bisa menyembunyikan kecemasan terhadap sosok Agung yang ia temani selama ini.
Juni yang mestinya kemarau bertingkah. Hujan deras kembali datang begitu saja. Perempuan paruh baya yang sudah dua periode menjabat sebagai walikota itu menjauh dari jendela. Suara-suara ketakutan warganya menggema dalam kepalanya, juga suara bandang, rumah-rumah yang roboh, yang terendam air, atau terseret banjir tampak nyata di benaknya.
Beberapa warga dikabarkan terpisah dari keluarganya, ada yang luka, ada yang sampai kehilangan nyawa. Semua itu tampak begitu nyata. Keringat dingin keluar dari pori-pori Walikota, rasa sakit, tangis, dan kehilangan setiap warga juga terasa olehnya.
Ia sudah tidak kuat lagi, ia harus keluar dari Balai Kota, ia ingin turut menghadapi bandang bersama warganya. Namun nubuat mencegah langkahnya. Sang Pencipta sedang membersihkan dan menguji iman warga, begitulah suara yang saban malam membisikinya.
Ya, bahtera Nuh menggenangi sejumlah wilayah Bandarlampung pada musim hujan. Lihatlah air setinggi tiga meter itu, menerjang rumah, menjebol tanggul, jembatan putus, jalanan menjadi sungai kecoklatan, udara disesaki jeritan pilu, ketakutan menyebar kemana-mana, kecemasan, kehilangan, dan segala yang mesti ditanggalkan timbul tenggelam dalam gemuruh bandang, menguji iman, menguji kepatuhan pada Sang Pencipta.
“Sampai kapan Bahtera Nuh membasuh kota ini, sampai kapan aku hanya boleh jadi saksi dan diam di ruang lantai 6 Balai Kota, tanpa bisa melakukan apa pun, keluh Walikota di kursi kerjanya”.
“Oh, betapa berat jalan menuju Bandarlampung yang kelak dipenuhi keberkahan, yang kelak berlimpah kebahagiaan ini,” Imbuhnya.
Ia telah mendapat petunjuk. Bisikan-bisikan gaib yang meramal masa depan kota, juga lika-liku jalan untuk memwujudkannya.
Tapi Walikota tampak goyah. Ia nyaris tak sanggup lagi bertahan di situasi semacam ini.
Siapa yang peduli dengan masa depan, faktanya hari ini ribuan warganya menderita, ribuan jeritan menggema di mana-mana.
Walikota tampak gundah. Kenyataan versus ramalan masa depan telah membuatnya linglung sekarang. Ia kembali melihat niat hati murni, ingin mengangkat derajat kotanya.
Ia telah sungguh-sungguh mengkaji bisikan-bisikan itu, petunjuk itu, ramalan tentang masa depan kota yang memilki visi transendental itu. Ini memang sulit dijelaskan, dan tak banyak yang dapat menerima sumber kebenaran dalam paradigma tertentu yang memang cenderung melalui pendekatan strukturalis transendental.
Penasehat spiritual Walikota panjang lebar menjelaskan bahwa pendekatan strukturalis transendental dapat dimaknai sebagai pengakuan adanya ide yang murni, yang bersumber dari luar diri manusia, suatu konstruk tentang struktur nilai yang berdiri sendiri dan bersifat transendetal.
Tujuannya humanisasi, emansipasi, liberasi atau pembebasan, dan transendensi. Humanisasi artinya “memanusiakan manusia”, “menghilangkan kebendaan” ketergantungan, kekerasan, dan kebencian manusia.
Bahwa memang warga Bandarlampung harus melalui serangkaian cobaan. Dan visi Waikota kelak akan diterima sebagai implementasi amar ma’ruf, sementara liberasi adalah implementasi dari nahy munkar, sedangkan transendensi adalah implementasi dari tu’minuna billah.
Dengan demikian misi Walikota adalah memperbaiki tatanan kehidupan dengan cara memanusiakan manusia, mengalamkan alam, serta menuhankan Tuhan.
Dengan demikian, tugas Walikota adalah meletakkan dasar kehidupan sesuai dengan proporsinya. Menuhankan manusia adalah sebuah kekeliruan, demikian juga memanusiakan Tuhan adalah naif dan dzalim.
Dan kereta gantung, program terbaru dari Walikota, adalah sebentuk simbol, metafor, perlambang mikraj atau laku spiritual, sebuah perjalanan menuju derajat yang lebih tinggi, yang telah melepaskan dari sifat kebendaan (material) atau hukum sosial yang bersifat horizontal.
Perbedaan penglihatan atara warga dengan Walikota ini memang ada titik temu.
Warga akhirnya berjuang masing-masing supaya selamat. Beberapa mengungsi ke rumah kerabat. Namun, ada juga tetap bertahan di rumahnya meski kondisi rumah rusak dan berlumpur.
Cobaan selalu di luar prediksi. Selain hujan deras, pada waktu yang sama, air laut juga sedang pasang. Sehingga, air hujan tertahan di wilayah kota.
Tapi berita media yang juga belum paham dengan “penglihatan” Walikota, yang kerap terlalu dangkal memahami kebijakan pemerintah kota kerap menyuarakan sebaliknya. Bahwa banjir yang terus terulang memperlihatkan ketiadaan mitigasi, penanggulangan, serta buruknya kondisi dan tata kelola lingkungan. Fenomena ini bentuk abainya pemerintah terhadap nyawa warga.
Menanggapi itu Walikota tidak menyalahkan media atau opini masyarakat. Ia tahu, “penglihatan” ini memang hanya datang padanya. (*)
