Konon, zaman dahulu, di Jepang ada satu tradisi yang menggemparkan, namanya ubasuteyama. Ubasuteyama berasal dari kata ubasute (membuang orang tua) dan yama (gunung), sehingga diartikan membuang orang tua ke gunung.
Hal ini terjadi setelah meletusnya gunung berapi Asama di Tenmei disusul serbuan serangga pada tahun 1783 yang mengakibatkan terjadinya kelaparan besar dan gagal panen. Kondisi ini membuat rakyat mengambil keputusan terpaksa mengurangi anggota keluarga karena tidak bisa memenuhi kebutuhan. Maka, mereka yang berusia lanjut lah yang menjadi pilihannya.
Orang tua, baik ibu, ayah, kakek, atau nenek, digendong lalu dibawa ke hutan atau ke gunung. Hutan Aokigahara merupakan tempat yang tepat karena selain sulit dijangkau, hutan itu juga sangat jarang didatangi manusia. Mereka menggotong orang tuanya dengan membekali sedikit makanan, bahkan ada yang tidak sama sekali.
Ada satu cerita yang amat menarik. Seorang lelaki berencana meninggalkan ibunya di sebuah hutan yang sangat lebat. Sesampainya di bawah pohon besar, ia meletakkan perempuan yang telah melahirkannya itu lalu berpamitan.
Ibunya berkata, “Anakku, tadi Ibu menyebarkan ranting agar kau tak tersesat pulang nanti. Semoga hidupmu penuh berkah dan bahagia.”
Lelaki itu terdiam, menangis, kemudian bergegas menggotong ibunya kembali pulang. Tak peduli bisakah dirinya memberi makan, ia akan menjaga ibu sampai Tuhan memanggil secara alami. Bukan kematian yang direncanakan, apalagi yang dilakukan oleh anaknya sendiri.
Syukurnya Jepang mengatakan bahwa itu hanya mitos dan legenda, tak tercatat dalam sejarah negaranya. Saat ini, Jepang memiliki Undang-Undang Kesejahteraan Lansia yang telah disahkan pada tahun 1963.
Membuang atau Menitipkan Orang Tua?
Tahun 2023, kita dikejutkan berita seorang ayah yang diduga dibuang ke area sampah oleh empat anaknya yang sudah berkeluarga. Alasannya antara lain tak ada kontrakan yang mau menerima ayah dan anak lelakinya walau anak yang lain sudah memberi uang makan dan sewa. Melalui perdebatan panjang, akhirnya mereka bersepakat menempatkan sang ayah di panti jompo.
Ada lagi kasus anak memperebutkan warisan dan mengusir orang tua, menganiaya ibu, dan ada yang menyiksa ayahnya. Baru-baru ini, dua anak perempuan menyerahkan ibunya ke panti jompo karena alasan ekonomi dan bersedia tak dikabarkan jika sang ibu meninggal dunia –sebuah syarat yang sebenarnya bertujuan agar sang anak membatalkan rencana.
Alih-alih menolak dan meminta keringanan, mereka malah bersedia menandatangani tanpa ragu. Kisah ini berakhir dengan sang ibu dikembalikan dan dirawat bergantian oleh dua anaknya setelah mendapat bantuan dari berbagai pihak.

Saya teringat pada sebuah percakapan dengan sepasang orang tua yang masih terlihat romantis walau usianya sudah sepuh. Saya tanya bagaimana merawat hubungan yang hangat dan manis seperti itu.
“Lima anak kami sudah mempunyai kehidupan dan rumah tangga masing-masing. Ada yang di dalam kota, ada yang di luar. Ada yang berkecukupan, ada yang prihatin. Sesekali kami berkumpul. Kadang lengkap, kadang enggak. Ya kami maklumi saja. Wong urusan manusia kan beda-beda. Yang pasti mereka rutin berkunjung dan mengajak kami tertawa.
Nanti, jika salah satu di antara Ibu dan Bapak pulang duluan … .” Ibu tak melanjutkan ucapannya. Matanya mencoba menahan bulir bening yang hendak jatuh.
“Maka yang tersisa akan pindah ke panti jompo,” lanjut bapak terkekeh sambil menepuk-nepuk punggung tangan istrinya.
“Terkadang, Nak. Memutuskan ke panti jompo itu bukan karena anak-anak tak mau merawat, tapi karena kami, orang tuanya ini tak mau kesepian dan membebani.”
“Memangnya anak-anak memperbolehkan Ibu atau Bapak tinggal di panti jompo?” tanya saya penasaran.
Serentak mereka menggelengkan kepala. “Yang ada mereka ngomel-ngomel. Katanya enakan tinggal sama anak cucu, susah senang bersama. Kami sih berharap mereka tulus dan bersedia, tapi kalau nanti keadaan tak seperti itu, kami minta keridaan anak-anak membiarkan salah satu di antara kami di panti jompo.
Bertemu teman sebaya, saling bercerita, dan sambil mempersiapkan bekal pulang, tentu saja. Semoga anak-anak memaafkan segala kesalahan kami selama merawat mereka,” ujar bapak dengan senyum yang masih mengembang.
Saya merenung. Ya, terlepas seperti apa masa lalu, baik burukkah, susah senangkah, memiliki orang tua adalah rezeki yang tak tergantikan. Jikapun ada perlakuan buruk yang kita terima, maafkan. Toh kesalahan kita, bisa jadi jauh lebih banyak. Kebaikan kita, tak ada apa-apanya dengan pengorbanan dan perjuangan mereka menghadirkan kita ke dunia ini.
Bagi orang tua, kehadiran kita seperti hujan setelah kemarau panjang, seumpama matahari di kala hujan berkepanjangan.
“Waktu kecil, Ayah sering memukul kalau nilai saya jelek”. “Kami tak mau merawat Bapak. Dulu hampir setiap malam Bapak mabuk dan menyakiti Ibu. Sekarang, rasakan hukuman dari Tuhan”.
“Ibu tak pernah mau mengajak saya jalan-jalan saat hari libur, padahal uangnya ada. Ibu juga sering menghina saya di hadapan teman-teman, bahkan keluarga. Sampai sekarang, sakitnya masih terasa”.
Berhamburanlah daftar kesalahan orang tua di mata anak. Memori masa lalu yang menakutkan dan mengerikan, seolah menutupi kebaikan dan kenormalan yang selama ini dirasakan.
Benar bahwa kita tak bisa memilih siapa yang melahirkan kita. Namun, kita bisa menentukan, bahwa semua luka, bisa diobati. Sembuh atau tidak, pada akhirnya kita telah berjuang. Perjuangan yang nanti akan dinilai di yaumil hisab.
Jangan pernah tebersit niat membuang orang tua. Berpulang mereka, tertutup satu pintu surga. (@fr)
