D-rain-Asek

0 Comments

Mendung lagi, hujan lagi. Di balkon, halaman, trotoar, di depan toko yang sudah tutup, di ruang tamu, dan di mana-mana, banyak warga memandang langit Tanjungkarang dengan perasaan campur aduk. Tapi, belum lagi mereka menceracaukan kebingungan, air berwarna coklat berebut turun ke jalan. Warga yang terkejut hanya bisa melongo, lalu tanpa sadar memukuli kepala mereka sendiri hingga berdarah.

Mereka, sekelompok air itu, memang bandel. Malas kali lewat sistem drainese yang sudah sangat BAIK disiapkan pemerintah kota atau provinsi. Serombongan air yang kerap bertingkah tengil itu mengundang rombongan lain untuk bergabung, sambil cekikikan memenuhi jalanan, menyelinap ke rapatnya kendaraaan, dan memberi tambahan masalah bagi pegawai honorer bergaji kurang dari UMR agar selalu berada pada situasi bahwa hidupnya adalah nasib buruk.

Seperti pada satu momen, terlihat sekelompok air dilindas ban mobil, mereka kompak melompat dan mengguyur wajah pengendara motor yang kebetulan tanpa jas hujan, sumpah serapah keluar dari mulut pengendara motor, penumpangnya ikut basah dan ikut memproduksi rasa marah, pengendaraan lain mengelus dada, sesuatu yang sudah dianggap lazim sesungguhnya, mereka harus menerima, suka atau tidak suka demikianlah adanya, dan caci maki berenang di jalanan yang telah berubah menjadi sungai.

BACA JUGA  Berlayar di Daratan, Kehidupan Baru Nelayan Kampung Cungkeng

Ada kata-kata bagus dari Ben Okri pada novelnya yang berjudul The Famished Road, bahwa jalanan itu telah berubah menjadi sungai, sungai yang lapar, yang akan menelan apa saja.

Warga di Tanjungkarang yang sudah kenyang pengalaman tak gentar begitu saja. Meski kerap rumah mereka terendam air cokelat dari jalanan, beberapa keluarga harus diungsikan, atau harus kehilangan sanak saudaranya, mereka tetap harus bertahan dan melanjutkan hidup mereka sebagai warga yang gigih, yang saban waktu menghadapi ujian.

Sejalan dengan sikap heroik warganya, walikota ngotot akan membuat kereta gantung. Semacam perlawanan terhadap luapan air cokelat yang kerap menguasai jalanan, semacam ketegasan pemerintah kota pada warganya agar tetap bisa survive di ketinggian.

BACA JUGA  Menerka Alam Pikir Bunda Eva yang Kepincut Kereta Gantung

Walikota juga menyukai motif polkadot di jalan-jalan, yang dipikirnya sebagai jebakan bagi sekawanan air dan sekaligus merawat rasa waspada bagi pejalan. Eling lanwaspodo adalah sebuah prinsip yang berarti “ingat dan waspada”. Ini adalah ajaran untuk selalu sadar dan berhati-hati dalam menjalani hidup, serta selalu mengingat tujuan hidup yang sejati.

Lebih lanjut, di hadapan satuan kerja pemkot pada apel rutin setiap Senin pagi, walikota menjelaskan Eling (Ingat) artinya mengingat asal usul, tujuan hidup, dan hubungan dengan Tuhan. Ini berarti selalu sadar akan kodrat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan tidak terlena dengan kenikmatan duniawi.

Sedangkan Waspodo (Waspada) bisa diartikan berhati-hati dalam setiap tindakan dan keputusan, serta menyadari potensi bahaya dan godaan yang mungkin muncul. Ini mencakup kewaspadaan terhadap diri sendiri, lingkungan, dan pengaruh buruk dari luar.

Prinsip ini mengingatkan untuk tidak terlena dalam kebahagiaan atau kesedihan, serta selalu berpegang pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.

Ratusan satker yang mengikuti apel rutin setiap Senin pagi manggut-manggut. Ini wajib, jika sampai tertangkap kamera tidak manggut-manggut, bisa bahaya, bisa kena mutasi atau bahkan lebih buruk, di-non job-kan.

BACA JUGA  Realita Manusia Gerobak di Bandarlampung, Obral Iba Demi Gaya  

Daulat Tuanku adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi, dan semua mengamini. Prinsip yang memang sudah ada dalam DNA warganya jauh sebelum kemerdekaan, sebelum menjadi NKRI, mungkin sejak zaman Majapahit atau Mataram, atau lebih kuno dari itu. Feodalisme dan fanatisme yang digemakan dan diproduksi terus menerus hingga era globalisasi.

Alamaknya, warga Tanjungkarang gemar memilih penguasa feodal, yang seringkali menggunakan fanatisme untuk mempertahankan kekuasaan mereka, dengan mempromosikan ideologi atau kepercayaan yang menguntungkan mereka.

Situasi yang menciptakan Vassal Mentality, sikap tunduk dan patuh yang berlebihan pada atasan atau tokoh tertentu, yang dapat dilihat dalam budaya kerja atau organisasi tertentu.

Sehingga tak ada yang protes, permasalahan buruknya sistem drainese di Tanjungkarang, dan malah, di mana-mana, sejumlah dinding jalan terpampang sepanduk bertuliskan, D-Rain-Asek. (*)

(Alexander Gebe: Penulis/Seniman Teater)

Further reading