Desa yang Berputar, Rasa yang Menjalar

Angin pagi menyapu wajahnya seperti usapan ibu yang lama tak ditemui. Pria itu, jurnalis muda dengan rambut belum sempat disisir rapi dan ransel berisi buku catatan serta kamera saku, menyalakan motor bebek kesayangannya. Bunyi mesin tuanya seolah mengiringi doa dalam benaknya, semoga cerita ini bukan hanya layak cetak, tapi juga layak tinggal dalam benak.

Bintang menuju sebuah desa yang tak tercetak dalam peta wisata, tapi belakangan ramai diperbincangkan di ruang-ruang jurnalis alternatif. Sebuah desa di kaki hutan lindung Pesawaran yang kini dijuluki “Desa Kincir Angin”. Di sanalah, konon, kincir-kincir kayu berputar bukan hanya menggiling aliran sungai, tapi juga menghidupkan lampu-lampu rumah warga. Energi dari air, tenaga dari kesederhanaan.

Perjalanan dimulai dari jalan raya Pesawaran, lalu menyusuri kebun-kebun PTP yang berjajar seperti puisi-puisi tua yang menua bersama getah. Jalan mulai menanjak, melingkar seperti ular yang tengah memeluk tubuh bukit. Kabut tipis menggantung di sela pepohonan, dan matahari merayap malu-malu dari balik perbukitan.

Bintang belum tahu persis letak desa itu. Yang ia tahu hanyalah, cari Pak Jarwo, begitu pesan warga yang ditemui di mulut jalan. Selebihnya, ia hanya mengikuti naluri dan papan arah yang lebih sering ditulis tangan dengan cat biru yang nyaris luntur.

Hampir dua jam motor tua itu melintasi jalan setapak, menyalip sunyi yang panjang. Rumah-rumah hanya muncul sesekali, terpisah jarak seperti bintang-bintang di langit musim kemarau. Akhirnya, seorang pria tua yang sedang menebas ilalang berkata, “Dua kilo lagi sampai Desa Air Berputar itu.”

Nama aslinya entah apa, tapi desa itu telah berganti nama dalam benak banyak orang. Bintang pun melanjutkan perjalanan.

BACA JUGA  Menemukan Jalan Menuju “Pulang”

Ketika papan kayu bertuliskan “Dusun Lintas Tirta” muncul, jantungnya berdetak lega. Di tikungan pertama desa itu, ia melihat warung kecil berdiri seperti pondok pelarian. Atap rumbia, kursi kayu panjang, dan sebuah meja dengan toples-toples keripik yang dijaga debu.

Ia hendak rehat. Barangkali menyeruput kopi bisa meredakan pegal punggungnya. Ia memanggil, “Permisi…” Tapi tak ada sahutan. Hingga beberapa menit kemudian, seorang gadis muncul dari belakang warung, seolah baru dipanggil oleh langit, bukan manusia.

Kaos lusuh dan rok panjang membungkus tubuhnya, rambut panjang dikuncit seadanya, tapi ada beberapa helai yang membangkang, jatuh ke wajahnya. Justru itulah yang membuatnya tampak… hidup. Matanya besar, menyiratkan watak batu, tapi kulitnya kuning langsat seolah menyerap mentari dengan cara yang lebih bijaksana dari kita semua.

“Mau beli apa?” tanyanya to the point.

Bintang agak tersentak. “Kopi hitam. Sama air mineral, ya…”

Ia duduk, lalu mencoba membuka percakapan. “Ini yang disebut Desa Kincir Air itu, ya?”

Gadis itu hanya mengangguk.

“Asli sini?”

“Iya.”

“Sekolah di mana dulu?”

“SD di sini, SMP ke kota, SMA balik lagi. Sekarang sudah tamat.”

“Enggak kuliah?”

“Enggak.”

Jawaban pendek, seperti pagar bambu. Cukup untuk menandai batas tanpa perlu menyingkirkan pemandangan.

Saat Bintang bertanya nama, gadis itu menaruh gelas kopi dengan tatapan yang menusuk tajam.

“Biasanya setelah nanya-nanya begini, lalu ngajak kenalan, lalu minta nomor, lalu ngajak jalan, kan? Gitu ya stereotip anak desa di mata cowok kota?”

Bintang tercekat. Kata-kata gadis itu seperti anak panah yang dilumuri kebenaran. Ia gelagapan, menelan ludah dan panas kopi bersamaan.

BACA JUGA  Bimo dan Laptop yang Tak Pernah Mati

“Maaf… saya cuma… cuma basa-basi, Mbak. Saya jurnalis, lagi mau liputan soal kincir air.”

Gadis itu menatapnya lama, lalu memalingkan wajah.

Bintang menghabiskan kopi lebih cepat dari yang seharusnya, lalu pamit dengan gugup. “Terima kasih, kopinya enak,” katanya. Hanya dijawab dengan “Hmm.”

Ia melajukan motor menuju desa lebih dalam, dan bertanya ke warga tentang rumah Pak Jarwo. Seorang lelaki paruh baya menunjuk ke rumah kayu sederhana tak jauh dari jalan utama.

Pak Jarwo menyambut hangat. Rambutnya sudah memutih, tapi tatapan matanya masih jernih. Seperti sungai yang mengalir di desa ini.

“Kincir air ini awalnya cuma satu, Mas. Anakku yang bikin. Dari sana kami mulai percaya, bahwa air bukan hanya untuk mandi dan minum, tapi juga menghidupkan malam.”

Saat Bintang meminta diantar ke lokasi, Pak Jarwo menyuruhnya menunggu anaknya. “Dia yang lebih tahu semua. Saya cuma bantu ngangkat-ngangkat bambu waktu itu.”

Tak lama kemudian, terdengar suara perempuan dari luar rumah. “Assalamu’alaikum.”

Jurnalis itu menoleh. Dunia sejenak berhenti berputar.

Gadis dari warung itu berdiri di depan pintu, dengan senyum kecil di ujung bibir.

“Oh, ini anak saya. Namanya Laras.”

Seperti dawai yang ditarik perlahan, nama itu meluncur lembut dari mulut Pak Jarwo. Laras. Nama yang kini berubah makna dalam benak Bintang.

Mereka bertiga berjalan menyusuri jalan tanah menuju sungai. Di kiri-kanan, tanaman liar tumbuh dengan sukacita. Langit mulai temaram, dan cahaya sore memantul di rambut Laras yang diterpa angin. Bintang masih kikuk, sesekali hanya berbicara dengan Pak Jarwo. Tapi hati kecilnya diam-diam mencuri pandang ke arah gadis itu.

BACA JUGA  Ketika Cinta Menjelma di Kanvas

Sampai akhirnya mereka tiba di sungai. Arusnya deras, jernih, dan terdengar seperti nyanyian masa kecil. Di pinggir sungai, beberapa kincir air berputar tenang, seperti doa yang tak pernah putus.

“Ini, Mas. Semua kami buat sendiri. Bahan dari sekitar sini. Generator bekas, tali sepeda, dan sedikit teknik dari YouTube,” kata Laras, kini suaranya lebih ramah.

Bintang memotret, mencatat, mewawancarai. Suasana berubah. Laras kini menjawab lebih panjang, lebih terbuka, bahkan terkadang menyelipkan tawa kecil. Mata mereka saling bertemu, bukan saling menantang, tapi saling mengenali. Seperti dua buku yang sadar mereka berasal dari rak yang sama.

Waktu melesat cepat. Langit mulai menggelap. Bintang pamit, khawatir jalan setapak akan tertutup kabut dan malam. Mereka berjalan kembali ke rumah Pak Jarwo.

Setelah berpamitan, Pak Jarwo masuk lebih dulu ke dalam. Tinggallah Laras berdiri di bawah langit yang mulai menggantung bintang.

Bintang mengeluarkan motor dari pekarangan. Lalu, sebelum menyalakan mesin, ia berkata pelan.

“Tadi… di warung. Maaf kalau saya terkesan menyebalkan.”

Laras menggeleng pelan. “Justru aku yang harus minta maaf. Sudah menuduh tanpa tahu niat orang. Terlalu sering cowok datang dengan modus, aku jadi terlalu cepat menilai.”

Mereka terdiam. Angin malam turun perlahan. Langit menyemburat jingga terakhir.

“Oh ya,” ujar Laras, seolah ingat sesuatu. “Minggu depan kami mau bangun satu kincir lagi, di ujung desa. Kalau kamu mau datang, silakan.”

Bola mata besar itu tak berani menatap langsung. Tapi ada rona merah yang menyusup di pipi.

Bintang tersenyum. “Aku boleh datang lagi?”

Laras tersenyum lebih lebar, matanya berbinar.

“Sangat boleh,” katanya. (*)

Further reading