60 Penulis ‘Menelisik Lampung’ Penuh Warna

Masih sedikitnya ketersediaan buku yang membicarakan ke-Lampung-an, kini terjawab. Dinas Perpustakaan Lampung meluncurkan buku ini, Menelisik Lampung, berisi karya puisi, cerpen, dan esai (opini). Dikemas apik.

(Lontar.co): Bangga jadi ulun Lappung (orang Lampung). Lampung, sebagai etnis, sangat kaya seni budaya. Daerah ini saja memiliki dua jurai bagi etnis Lampung, yakni pepadun dan saibatin — pedalaman dan pesisir; tentu punya perbedaan dialek (logat) juga tradisinya.

Kemudian mereka yang disebut “pendatang” — istilah ini sebenarnya sudah tak dipakai lagi alias basi, karena mereka juga lahir dan besar di sini dan telah meneguk air dari tanah Lampung — juga sudah (menjadi) Lampung.

Buku ini berjudul Menelisik Lampung terbitan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Lampung (Juli, 2025), menghimpun 60 penulis Lampung yang menulis puisi, cerita pendek (cerpen), dan esai (opini).

Buku ini dieditori duo Fitri: Fitri Angraini dan Fitri Restiana. Angraini adalah dosen, pegiat literasi, dan penulis. Lalu Restiana adalah penulis cerita anak dan pegiat literasi di daerah ini.

Kehadiran buku ini diawali dengan bimbingan teknis (bimtek) menulis konten berbasis budaya lokal, dalam hal ini Lampung, diampu kedua editor tersebut di aula Disperpusip Nuwa Baca Zainal Abidin Pagaralam Bandar Lampung, kemudian para peserta — yakni penulis — diminta menulis tentang Lampung, baik seni dan budaya, juga pariwisata. Dan, buku menarik dibaca.

Kenapa? Melalui karya-karya (sastra) dari 60 penulis Lampung ini, pembaca dapat menelisik lebih jauh dan dalam ihwal ke-Lampung-an. Di sana ada kesenian, ada kebudayaan, juga dapat membaca tentang kuliner maupun wisata. Semua itu diramu, sedikit, cinta dan kesetiaan. Cinta pada kebudayaan (tradisi/adat), sesama manusia, serta kesetiaan untuk menjaga dan merawat seni budaya beserta tradisinya.

Tidak semua penulis dalam buku ini beretnis Lampung. Karena, seperti saya katakan sebelum ini, tak dikenal lagi “pendatang” maupun “pribumi”. Kita adalah Lampung, meneguk air dari tanah ini. Bersosialisasi dalam naungan kesatuan. Tak kalah penting siapa pun yang telah menetap di Lampung, patut membangun daerah ini lebih maju sambil tetap menjaga tradisi yang hidup di masyarakatnya.

BACA JUGA  Ojol

Enam puluh penulis dalam buku ini, bukan saja mereka yang menggeluti dunia kepenulisan ansich melainkan hadir dari dosen, pegiat literasi, mahasiswa, guru, pelajar SMA, dan profesi lainnya. Para penulis seakan yakin di dalam dirinya ada sesuatu gagasan yang boleh ditulis, demi Lampung.

Antara penulis yang sudah dikenal di kancah kepenulisan (kesastraan) dengan mereka yang baru meniti dunia menulis menyatu dalam buku ini. Hal ini selaras dengan harapan Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Lampung, Riski Sofyan, dalam pengantarnya, “Buku ini menghimpun 60 penulis Lampung — baik yang telah lama malang melintang di dunia kepenulisan maupun pendatang baru.”

Kata Sofyan, kini menjadi Kadis Lingkungan Hidup Provinsi Lampung, bahwa setiap karya merupakan pandangan subyektif penulis tentang loyalitas tempatan. Boleh jadi terdapat tafsir ulang terhadap tradisi maupun adat yang hidup di sekitarnya. “Karena itu, tulisan-tulisan ke 60 penulis Lampung ini diharapkan menjadi pengayaan bagi budaya yang terus berkembang mengikuti zaman,” harap Riski.

Tafsir ulang, seperti diucapkan Riski, bisa kita simak pada puisi “Seruit” (hlm 2) karya Salwa Pramesti Maharani, menjadi pembuka buku ini, katanya:

lezatnya membuat

lidah bergoyang

dan mata melotot

-aku tanpamu serupa

seruit tanpa ikan-

 

bagiku, meninggalkan lampung

laksana meninggalkan bayang

tentangmu di setiap penjuru

 

detik mencumbu menit

aku kan dicumbu rindu

“sappai puhala luot, kabut!”

Seruit adalah khas makanan orang Lampung. Terbuat dari sambal dicampur terasi, kemudian diremas-remas dengan terong, ikan (nila, emas, baung). Biasanya seruit disantap bersama-sama keluarga dekat. Lazimnya pula dalam makan bersama (pesta adat/keluarga); cuak mengan. Cabai yang dipilih dan diulek dari cabai yang pedas. Sehingga saat makan nasi dan seruit, yang menikmatinya hingga keluar keringat alias luwah iting.

BACA JUGA  Guru dan Kepsek SMAN/SMKN di Lampung Wajib Tahu, Rendahnya Kualitas Anak Didik Akibat Ulah Mereka  

Ini salah satu karya dari 60 penulis Lampung yang menelisik Lampung dan keLampungan, melalui perspektif ataupun tafsir ulang secara personal. Mereka adalah orang Lampung yang telah pula menetap sangat lama. Para penulis sudah cukup memiliki pengalaman atau terlibat langsung dalam kebudayaan yang ada di daerah ini. Bahkan menjadi bagian tidak terpisah dari kebersamaan budaya/adat kebiasaan orang Lampung.

Adat-adat yang juga menjadi perhatian para penulis, di antaranya sebambangan (adat kawin lari) yang ditunjukkan Devin Cumbuan Putri melalui puisi “Lapah Sebambangan”, bahwa “adat tak bisa dilipat begitu saja/sebambangan tak hina” (hlm 14). Penulis ini juga mengangkat adat pepadun di Kotabumi, Lampung Utara. Tentang penenun (perajin) ditulis Dira Saputra lewat puisinya bertajuk “Benang Emas Lampung”.

Tentang “Panaragan” nama daerah di Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung, terdapat dalam puisi “Panaragan” karya Hendri Firmansyah (hlm 40). Dalam tangkapan imaji Hendri, dikatakan “langkah-langkah di tanah itu tak sembarang,/tiap jejak adalah titah, adalah ajaran./tiyuh berdiri bukan karena batu dan papan/tapi karena nilai yang berlintas zaman//sesat agung, suara tua masih bergaung,/tentang kejujuran,/tentang marwah yang tak pernah lung”.

Selain soal adat (budaya) juga piil dalam buku ini juga menyorot tempatan yang ada di sini. Misalnya, Bandara Raden Intan II, (kota) Tanjungkarang, Tegal Mas, Krakatau, dan nama-nama tempatan lain di Provinsi Lampung.

Tentang rumah sebagai tempat menetap dan persinggahan (bagi etnis Lampung juga Melayu, rumah adatnya terbuat dari kayu dan biasanya bertangga) dikisahkan sangat menarik oleh Iin Zakaria lewat puisi “Rumah Abu” (hlm 74). Iin tak asing dalam dunia kesenian di Lampung: ia pendongeng, pembaca puisi, dan penyair!

Modernisasi tidak bisa dielakkan oleh manusia di zaman ini. Orang-orang desa (tiyuh) berbondong pergi ke kota dan kembali ke lempung. Rumah adat biasanya dibiarkan kosong. Tak jarang rusak karena tidak dirawat. Seperti juga kebudayaan, jika tak dirawat akan pula punah. Iin menulis demikian:

BACA JUGA  Gubernur Mirza Ajarkan “Kepekaan adalah Koenci”

“bagi rumah panggung yang renta dirayapi kenangan”//sebuah rumah kayu, di jalan berbatu/beranjak renta di makan waktu/lantai dan dinding kering mengabu/tiang-tiang mencoba tegak/berontak di tengah peluh almanak//aku, sang pelancong itu/

menatap rumah sambil menerka/berapa banyak silsilah kisah/tersimpan dalam dingin serat kayu/bisu dibungkam sejarah yang berganti istilah//orang-orang berkata, dulu di rumah abu/ibu kerap duduk di depan mettakh/bertahta menenun benang membentang tekang/cucuk andak dan mata kilau menghias sarung/

sulaman masa, sepanjang lidah bersambung//agui! telah ia tisik tapis penyumbang,/bekal muli busanding di kuto maro,/tak lupa pula tumpal dan peci/bekal mekhanai pergi mengaji/perjalanan panjang menemukan diri//kini tak ibu di rumah abu/getas pagar kayu, tiang-tiang berganti batu/tapis terlipat benang tak lagi rekat/kain tak pernah selesai dibuat/tekang kehilangan pikat, tergantung di dinding pucat”.

Modernisasi oleh karena budaya urban, tak hanya menimpa masyarakat adat Lampung. Hampir semua budaya-budaya nusantara. Termasuk bahasa ibu yang dikhawatirkan punah, walau sampai hari ini tidak terbukti. Bahasa ini masih tetap digunakan, meski dalam hal-hal tertentu.

Demikian pula tradisi/adat acap kita saksikan masih digelar oleh masyarakat adat. Sisi-sisi positif itulah yang hendak disampaikan oleh para penulis Lampung dalam menelisik Lampung dan keLampungan.

Buku Menelisik Lampung (Antologi Karya Sastra 60 Penulis Lampung) ini mencoba penyumbang bagi langkanya tulisan berkonten budaya. Sejumlah penulis yang tak kecil sumbangsihnya bagi konten budaya Lampung ini, di antaranya Luki Pratama, Aan Frimadona Roza, Anton Tri Hastono, Mintarsih Mimin, Yuli Nugrahani, Elly Dharmayanti, Dian Anggraini, Anggi Farhan, Nufaisah Andini Putri, Imanudin, Nurul Hiadayah, Diah Rizki Nur Kalifah, Winda Pratisia, Fadila Hanum, Cykal Qv Ichiya Putri, dan lain-lain.

Melalui buku setebal 385+xviii ini setidak pembaca dapat menelisik Lampung sekaligus mengenal apa-apa yang menjadi tradisi dan geliat penduduknya. Juga tempatan yang bisa dikunjungi sebagai wisatawan; berselancar atas keragaman tradisi dan belajar untuk menghargai budaya. Tabik!

 

Further reading

  • 60 Penulis ‘Menelisik Lampung’ Penuh Warna

    Masih sedikitnya ketersediaan buku yang membicarakan ke-Lampung-an, kini terjawab. Dinas Perpustakaan Lampung meluncurkan buku ini, Menelisik Lampung, berisi karya puisi, cerpen, dan esai (opini). Dikemas apik. (Lontar.co): Bangga jadi ulun Lappung (orang Lampung). Lampung, sebagai etnis, sangat kaya seni budaya. Daerah ini saja memiliki dua jurai bagi etnis Lampung, yakni pepadun dan saibatin — pedalaman […]
  • bahan pangan tersandera mbg

    Bahan Pangan yang Tersandera MBG

    Tingginya permintaan harian Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) Makan Bergizi Gratis, memicu naiknya harga bahan pokok di sejumlah pasar. Masyarakat dan pedagang tradisional mengeluh. (Lontar.co): Meski sudah menunggu sejak pagi, Erni hanya mampu membeli sekilo telur dan 5 kilogram beras di pasar murah yang digelar di Kantor Kecamatan Bumi Waras itu. Banyak bahan pokok yang […]
  • Duet Kembar Eva Dwiana & Eka Afriana, Mengapa Begini?

    Kurang murah hati apa warga yang telah memilih kembali Eva Dwiana sebagai Walikota Bandarlampung. Kurang legowo apa publik yang tidak menyoal praktik nepotisme dengan mendudukkan kembarannya, Eka Afriana, sebagai kepala Dinas Pendidikan. (Lontar.co): Tapi untuk timbal balik sekadar menjaga perasaan publik pun kok rasanya enggan. Malah melulu retorika yang disodorkan. Apa pernah Walikota Bandarlampung, Eva […]