Tag: tppo

  • sihanoukville

    Agen perekrut tenaga kerja memanfaatkan jalur-jalur tikus yang dianggap aman untuk menyelundukan para pekerja migran ilegal yang hendak dibawa ke Kamboja. Selain lebih murah, jalur-jalur ini juga lebih mulus dari pemeriksaan petugas imigrasi. Jalur laut salah satunya. 

    (Lontar.co): Pola ‘distribusi’ pekerja migran ilegal yang dikirim ke Kamboja punya kecenderungan yang sama, hal ini merujuk pada berbagai pengungkapan kasus pekerja migran yang hendak dikirim ke Kamboja. 

    Pekerja migran asal Pulau Jawa dikirim melalui udara, sedangkan pekerja asal Pulau Sumatera lebih banyak dikirim melalui jalur laut. 

    Hal ini selaras dengan pengakuan Agus dan J, dua dari puluhan bahkan ratusan pekerja migran asal Lampung yang hendak dan sudah pernah dikirim ke Kamboja, mereka dibawa melalui jalur laut. 

    Umumnya, jalur laut yang digunakan adalah melalui Pulau Batam menuju Singapura atau Pulau Batam menuju Malaysia. 

    Di Pulau Batam, ada begitu banyak pelabuhan selain pelabuhan internasional Batam Center, ada empat pelabuhan lain yakni; Pelabuhan Sekupang, Pelabuhan Harbour Bay, Pelabuhan Teluk Senimba dan Pelabuhan Nongsapura. 

    Itu yang resmi, sementara pelabuhan yang tak resmi pun tak sedikit jumlahnya. 

    Pelabuhan-pelabuhan ini memiliki jalur lintasan utama yakni; Singapura dan Malaysia. 

    Untuk yang ke Singapura, aksesnya melalui Selat Singapura.  

    Sedangkan yang ke Malaysia, selain Selat Singapura juga melintasi Selat Malaka—salah satu jalur sutera pada masa lampau, hingga ke Selat Johor, kemudian dilanjut dengan perjalan darat yang panjang. 

    Agus misalnya, eks pekerja migran ilegal ini, awalnya dibawa menuju Batam dengan pesawat dari Jakarta. 

    Selanjutnya, ia dan rombongannya bersama dua orang agen pendamping, ke luar Indonesia melalui pelabuhan internasional Batam Center. 

    Di pelabuhan ini, rombongan Agus berhasil lolos, karena paspor turis yang mereka buat cukup meyakinkan. 

    Mereka menuju Pelabuhan Puteri di Johor Baru, Malaysia selanjutnya melalui jalur darat selama 31 jam perjalanan lebih. 

    Sedangkan J, yang gagal berangkat setelah dihadang patroli gabungan TNI AL, BP3MI dan Polda Riau di Laut Dumai (8/5/2025), mengaku bertolak melalui pelabuhan kecil di Riau. 

    Ia tak tahu nama pelabuhannya, ketika mereka tiba di pelabuhan yang disebutnya kecil itu, sudah ada satu speedboat yang menunggu.  

    Ia melihat pelabuhan itu bukan seperti pelabuhan penyeberangan pada umumnya karena lebih banyak kapal milik nelayan. 

    Ia juga sempat kaget saat melihat kondisi speedboat yang tak memadai untuk mengangkut 20 orang menuju Malaysia. 

    sihanoukville
    Perahu speedboat yang kerap dipakai untuk membawa para pekerja migran ilegal. Foto: ist

    “Sepanjang perjalanan saya berdoa saja, karena takut perahunya tenggelam. Perahunya kecil tapi ngangkut puluhan orang,” ujarnya kepada petugas. 

    Jalur laut memang diminati oleh sindikat agen perekrut tenaga kerja di Indonesia, karena selain biayanya murah juga minim resiko. 

    Sebagai perbandingan, biaya satu kepala tenaga kerja yang dikirim ke Kamboja melalui jalur laut hanya butuh biaya kurang dari Rp4 juta, biaya itu bahkan sudah termasuk biaya membuat paspor, jika diperlukan. Karena, umumnya paspor-paspor calon pekerja migran ‘terpaksa’ dibuat jika harus  menggunakan pesawat terbang atau ketika terpaksa harus masuk ke Pelabuhan Internasional Batam Center. 

    Selepas masuk Johor Baru, Malaysia, agen-agen ini sudah mendapat uang dari anggota sindikat yang sudah menunggu untuk melanjutkan perjalanan melalui darat. 

    Tugas agen perekrut asal Indonesia memang selesai ketika melewati perbatasan Indonesia saja, karena selebihnya sudah menjadi tanggung jawab sindikat lainnya. Umumnya, untuk mengelabui petugas dari negara-negara tetangga, sindikat ini berganti-ganti kendaraan, selepas dari Malaysia, Myanmar dan Thailand untuk lanjut ke Kamboja. 

    Jalur laut juga dianggap paling minim pengawasan aparat.  

    Mereka bisa dianggap sial ketika bertemu dengan petugas yang sedang patroli, baik dari TNI AL maupun Polairud. 

    Meski banyak yang berhasil digagalkan oleh patroli gabungan, tapi jumlah yang lolos jauh lebih banyak lagi. 

    Untuk mengelabui petugas, biasanya agen mulai bergerak di malam hari yang pengawasannya relatif minim.  

    Mereka memanfaatkan kapal-kapal nelayan di Batam yang secara spesifikasi tak layak digunakan untuk melintasi Selat Malaka apalagi dengan jumlah penumpang yang over kapasitas. 

    Indikasi Pulau Batam yang dijadikan sebagai titik transit oleh agen tenaga kerja yang hendak menyelundukan pekerja migran ini pula diakui oleh Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding. 

    Dalam sidaknya Karding menyebut Batam telah sejak lama menjadi titik transit pekerja migran ilegal, khususnya pelabuhan Batam Center. 

    “Batam ini jadi jalur paling strategis untuk mengirim pekerja migran ilegal,” kata Karding saat melakukan sidak akhir April 2025 lalu. 

    Meski Karding menyebut sistem pengawasan sudah baik, tapi ia juga mengakui jumlah pekerja migran ilegal yang lolos masih jauh lebih banyak dari yang terjaring. 

    Namun, Koordinator Divisi Bantuan Hukum Migrant Care Nur Harsono menilai upaya mencegah pengiriman pekerja migran ilegal tak hanya sekedar memperketat pengawasan tapi juga perlu menindak jaringan yang ada di balik sindikat ini baik yang di luar negeri maupun yang di dalam negeri. 

    Apalagi, agen-agen perekrut di Indonesia sudah bekerjasama dengan sindikat ini sejak lama sehingga sudah membentuk rantai pola yang sistematis yang saling diuntungkan. 

    Karena, sindikat di Kamboja sanggup membayar mahal ke agen perekrut untuk bisa mendatangkan calon pekerja. 

    Oleh sebab itu, lanjutnya, masalah perdagangan manusia ke Kamboja tak akan pernah bisa tuntas bahkan jumlahnya akan terus membengkak tiap tahunnya. 

    Penjelasan Migrant Care ini juga makin diperkuat dengan data dari pemerintah yang menyebut sampai dengan awal tahun 2025 ada sebanyak 80 ribu lebih pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal yang bekerja di Kamboja. 

    Pemerintah juga memastikan bahwa pekerja migran yang ada di Kamboja adalah ilegal karena Indonesia tak memiliki kerjasama penempatan tenaga kerja dengan Kamboja. 

    Dari 80 ribu pekerja migran ilegal yang ada di Kamboja itu, bisa jadi ada ribuan pekerja asal Lampung. Apalagi, Lampung menjadi daerah kelima terbanyak yang mengirimkan pekerja migran ke luar negeri. 

    Berdasarkan data Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, jumlah pekerja migran resmi asal Lampung yang dikirim ke luar negeri ada sebanyak 25.162 orang. 

    Dari jumlah itu, Kabupaten Lampung Timur menjadi daerah yang paling banyak di Lampung yamg mengirimkan pekerja migran dengan jumlah sebanyak 9.652 orang. 

    Berdasarkan pengakuan Fahri, saat bekerja di Kamboja sebagai scammer, ia melihat ada ratusan pekerja asal Indonesia yang berada satu gedung dengannya. 

    Mereka hidup jauh dari kata layak, bahkan kamar yang mereka tempati pun tak memadai, karena satu kamar berukuran 3×3 meter diisi oleh paling sedikit 25 orang pekerja. 

    “Masih mending di penjara daripada di sana (Kamboja). Satu kamar diisi sampai 25 orang, ada yang tidurnya sambil duduk karena nggak kebagian tempat lagi, padahal besok paginya sudah harus bekerja lagi,” cerita Fahri. 


  • sihanoukville

    Meski sudah terlalu banyak cerita keganasan dan kekerasan sindikat judi online dan penipuan online di Kamboja terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI), namun jumlah pekerja migran yang berangkat ke Kamboja, kian hari jumlahnya terus bertambah. Ada indikasi, meningkatnya PMI ke Kamboja karena tekanan sindikat kepada pekerja yang sudah lebih dulu bekerja di sana.  

    (Lontar.co): Postingan anggota grup Info Loker di Facebook itu menggiurkan; “Open Loker, gaji 11 Jt, makan 3x sehari, mess AC, biaya keberangkatan ditanggung”.   

    Ada 183 komentar yang membalas postingan itu, sebagian besar komentar menyatakan tertarik, tapi semua komentar itu hanya dibalas pendek,”cek inbok”.  

    Bujukan kerja di Kamboja bahkan menyasar di salah satu grup Facebook bernama Info Loker Bandar Lampung dengan waktu postingan yang terbilang baru, tanggal 4 Februari 2025, disitu tertulis: “Loker untuk posisi Customer Service penempatan di Kamboja, syaratnya harus bisa mengetik komputer”.  

    Selain itu, tertera pula usia maksimal calon pekerja yakni; 34 tahun. Ada pula, iming-iming pembuatan pasport, serta gaji yang menggiurkan sebesar $800 atau Rp12 jutaan dan bonus komisi 6-10% dan disediakan mess serta makan 3 kali sehari.  

    Aksi tawaran menggiurkan ini tersebar merata di hampir seluruh media sosial, seperti; FB, Instagram, TikTok hingga Telegram.  

    Di Telegram misalnya, agen perekrutnya bahkan terang-terangan mencamtumkan jenis pekerjaannya; yakni scam dan admin judol.   

    Tak hanya itu saja, perekrut bahkan tak membatasi jumlah calon pekerja yang akan direkrut, termasuk melampirkan nomor whatsapp agen perekrut.”minimal 5 orang, kalau bisa masih satu grub/satu daerah biar enak berangkatnya. Maslah keberangkatan, makan di jalan, paspor ditanggung perusahaan,” tulis salah satu akun di postingan Telegram.  

    Sebelumnya, J (24) satu dari lima warga Gunungpelindung, Lamtim,  yang hendak ‘diselundupkan’ ke Kamboja melalui Malaysia berhasil digagalkan oleh patroli gabungan TNI AL, BP3MI Riau dan Polda Riau di perairan Rupat, Kabupaten Bengkalis, Riau, pada 8 Mei 2025 lalu.  

    J dan empat orang lainnya baru mengetahui jika dirinya hanya akan dijadikan calon untuk ‘tukar kepala’ oleh pekerja asal Lampung yang bekerja di Kamboja.  

    Tukar kepala adalah istilah untuk menggantikan posisi pekerja migran yang sudah lebih dulu bekerja di Kamboja. Tukar kepala menjadi aturan wajib yang diberlakukan oleh sindikat judi online maupun penipuan online, jika pekerja migran yang berada di bawah penguasaannya ingin berhenti kerja.  

    J dan lima orang lainnya tergiur dengan janji gaji besar dari warga asal Lamtim yang sudah lebih dulu berada di Kamboja.  

    J mengaku mendapat informasi lowongan kerja dari Facebook salah satu grup komunitas pencari kerja di Lamtim. Dari situ, ia kemudian menghubungi pengunggah lowongan kerja yang juga mengaku dari Lamtim yang sudah berada di Kamboja. J juga diharuskan membayar uang hingga Rp7 juta kepada agen dengan alasan untuk membuat paspor dan biaya perjalanan.  

    Ternyata, selain J sudah ada pula empat orang lainnya yang sudah siap berangkat ke Kamboja melalui jalur ilegal dan difasilitasi oleh agen perekrut di Lamtim yang diduga bagian dari sindikat perdagangan orang.  

    Kelimanya kemudian berangkat melalui jalur laut, bersama 19 orang pekerja migran ilegal lainnya, sampai akhirnya tertangkap.  

    Menurut salah seorang tersangka perekrut tenaga kerja yang juga turut diamankan dalam operasi itu, kelima pekerja ini diarahkan untuk menghubunginya, kemudian J dan empat orang lainnya diminta membayar sejumlah uang untuk membuat paspor dan biaya keberangkatan.  

    Dari keterangan tersangka pula, kelima calon pekerja itu adalah hasil rekrutan pekerja asal Indonesia yang ada di Kamboja dan hendak resign, sehingga diwajibkan untuk menyiapkan pengganti minimal 5 orang atau tukar kepala.  

    Jumlah tukar kepala ini angkanya terus bertambah, jika sebelumnya komplotan sindikat itu hanya mewajibkan pekerja pengganti paling banyak 3 orang, kini bertambah menjadi 5 orang.  

    Meski tukar kepala, namun agen-agen perwakilan yang bertugas mengantarkan calon pekerja pengganti juga tetap mendapat bayaran yang mahal dari sindikat judol dan scam di Kamboja, karena umumnya komplotan ini sudah memiliki jaringan yang luas hingga ke pelosok desa.  

    Selain tukar kepala, ada pula sistem tebusan yang diberlakukan kepada pekerja-pekerja asal Indonesia yang hendak hengkang dari Kamboja.  

    Besarnya beragam, tapi nilainya tidak kecil, minimal Rp50 juta per pekerja. Biasanya, sindikat ini meminta uang tebusan ke keluarga korban dengan ancaman pembunuhan.  

    Yang paling parah adalah, para pekerja yang ingin berhenti bekerja tapi tak mampu mencari korban pengganti (tukar kepala) atau menyediakan uang tebusan, diberi pilihan untuk menjual organ tubuhnya—umumnya ginjal, sebagai pengganti, jika tidak mereka akan dijual ke perusahaan penipuan lainnya yang masih ada di Kamboja.  

    Meski berdasarkan penelusuran Lontar sejauh ini belum ada informasi pekerja asal Lampung yang terpaksa menjual organ tubuhnya agar bisa terbebas dari jeratan sindikat ini, namun tak sedikit cerita pekerja migran asal daerah lain yang terpaksa menjual organnya ke sindikat ini demi bisa pulang ke tanah air.  

    Kasus permintaan tebusan pekerja migran asal Lampung hanya ditemukan pada kasus Ahmad Jayani, warga Desa Tamanagung, Kalianda, Lamsel yang tewas di Kamboja tahun 2024 lalu. Keluarga Ahmad Jayani sempat dimintai tebusan Rp124 juta agar jasad Ahmad Jayani bisa dibawa pulang ke tanah air.  

    Tapi, karena keluarga Ahmad Jayani tak mempunyai uang sebanyak itu, akhirnya nasib jasad Ahmad Jayani tak diketahui kelanjutannya.  

    sihanoukville
    Brosur lowongan kerja ke Kamboja yang banyak dijumpai di media sosial. Foto: Kolase

    Di lain sisi, susahnya lapangan kerja hingga minimnya pengetahuan membuat agen perekrut tenaga kerja yang ada di Lampung begitu leluasa mencari mangsa.  

    Mereka bahkan tak perlu mengeluarkan biaya sepeserpun untuk menjaring calon pekerja yang akan dijual ke Kamboja.  

    Umumnya, mereka memanfaatkan media sosial sebagai cara untuk mencari calon tenaga kerja.  

    Sebagai jualannya, untuk memikat calon pekerja adalah gaji yang besar hingga fasilitas yang bakal didapatkan calon pekerja.  

    Para agen perekrut ini juga mendapatkan banyak keuntungan, selain membebankan biaya yang nilainya jutaan rupiah kepada calon pekerja dengan dalih untuk membuat paspor, kursus dan biaya keberangkatan, mereka juga mendapat imbalan dari sindikat judi online dan scamm yang ada di Kamboja.  

    Sesuai pasaran, tiap pekerja ‘dihargai’ Rp35 juta per kepala oleh agen tenaga kerja kepada sindikat di Kamboja.  

    Modus yang digunakan agen perekrut yang ada di Indonesia setelah berhasil menjaring calon pekerja yang akan dibawa ke Kamboja, para pekerja migran ini akan diberangkatkan melalui jalur ilegal, karena Indonesia tak memiliki kerjasama dengan Kamboja maupun Myanmar dalam hal penempatan tenaga kerja.  

    Untuk mengelabui petugas-petugas imigrasi, agen akan membuatkan paspor tanpa visa kerja dan berdalih kunjungan ke Kamboja hanya untuk berwisata.  

    Dengan paspor sebagai wisatawan inilah menjadi jalan modus yang paling banyak dilakukan oleh agen tenaga kerja ini agar bisa mulus membawa PMI ke Kamboja.  

    Agen tenaga kerja ilegal ini bahkan sudah menyiapkannya dengan matang, termasuk menyiapkan tiket pulang pergi hingga hotel agar petugas imigrasi tidak curiga.  

    Modus seperti ini, terang Dirjen Pelindungan Kementerian P2MI Rinardi, adalah hal yang paling sering dilakukan oleh sindikat perdagangan orang, bahkan ia menyebut bukti tiket pesawat pulang pergi dan hotel yang akan ditunjukkan ke petugas imigrasi terkadang adalah tiket palsu.  

    “Mekanisme pemeriksaan untuk paspor wisatawan itu kan petugas imigrasi memeriksa tiket pesawat pulang pergi dan hotel tempat mereka menginap, nah tiket pesawat dan booking hotel ini yang kadang dipalsukan untuk meyakinkan petugas imigrasi,” terang Rinardi.  

    Selain itu, selepas dari bandara, kebanyakan sindikat ini lebih memilih masuk ke Kamboja melalui jalur darat maupun jalur laut, selain biayanya lebih murah, jalur darat dan laut dianggap lebih minim pemeriksaan.  

    Dalam penangkapan PMI asal Desa Pelindungjaya, Kecamatan Gunungpelindung, Lamtim, Mei 2025 lalu, mereka diangkut dengan speedboat kecil yang harus memuat 19 orang dalam satu kapal.  

    Tekong atau pengemudi speedboat ini bahkan sempat melawan dan berusaha kabur ketika hendak diamankan, sehingga aparat harus memberikan tembakan peringatan.  

    Kepala BP3MI Lampung Ahmad Fauzi juga membenarkan adanya pemulangan 5 calon PMI asal Lampung Timur yang berhasil digagalkan oleh petugas gabungan dari TNI AL dan Polda Riau.  

    Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda melihat adanya kecenderungan para pekerja migran yang menyasar masyarakat di pedesaan.  

    Ia melihat adanya ketimpangan antara kesempatan kerja dan kebutuhan ekonomi antara masyarakat yang ada di kota dan desa sehingga banyak masyarakat desa yang memilih jalan pintas menjadi pekerja migran.  

    Apalagi, lanjutnya, tawaran kerja di Kamboja memang menggiurkan baik gaji maupun jenis pekerjaan yang ditawarkan,”iming-imingnya kan kerja bagus gaji besar, buat masyarakat desa yang awam tentu hal ini menggiurkan,” kata Nailul.  

    Sementara, Staf Divisi Bantuan Hukum Migrant Care Yusuf Ardabili menilai permasalahan banyak pekerja migran ilegal yang berasal dari desa bisa jadi bom waktu buat pemerintah.  

    Apalagi, kata Yusuf, tiap tahun jumlah pekerja migran yang berangkat ke Kamboja terus meningkat.  

    “Sebenarnya ini bisa jadi bom waktu ketika itu tidak serius untuk ditangani oleh pemerintah,” kata Yusuf.