Tag: sihanoukville

  • sihanoukville

    Agen perekrut tenaga kerja memanfaatkan jalur-jalur tikus yang dianggap aman untuk menyelundukan para pekerja migran ilegal yang hendak dibawa ke Kamboja. Selain lebih murah, jalur-jalur ini juga lebih mulus dari pemeriksaan petugas imigrasi. Jalur laut salah satunya. 

    (Lontar.co): Pola ‘distribusi’ pekerja migran ilegal yang dikirim ke Kamboja punya kecenderungan yang sama, hal ini merujuk pada berbagai pengungkapan kasus pekerja migran yang hendak dikirim ke Kamboja. 

    Pekerja migran asal Pulau Jawa dikirim melalui udara, sedangkan pekerja asal Pulau Sumatera lebih banyak dikirim melalui jalur laut. 

    Hal ini selaras dengan pengakuan Agus dan J, dua dari puluhan bahkan ratusan pekerja migran asal Lampung yang hendak dan sudah pernah dikirim ke Kamboja, mereka dibawa melalui jalur laut. 

    Umumnya, jalur laut yang digunakan adalah melalui Pulau Batam menuju Singapura atau Pulau Batam menuju Malaysia. 

    Di Pulau Batam, ada begitu banyak pelabuhan selain pelabuhan internasional Batam Center, ada empat pelabuhan lain yakni; Pelabuhan Sekupang, Pelabuhan Harbour Bay, Pelabuhan Teluk Senimba dan Pelabuhan Nongsapura. 

    Itu yang resmi, sementara pelabuhan yang tak resmi pun tak sedikit jumlahnya. 

    Pelabuhan-pelabuhan ini memiliki jalur lintasan utama yakni; Singapura dan Malaysia. 

    Untuk yang ke Singapura, aksesnya melalui Selat Singapura.  

    Sedangkan yang ke Malaysia, selain Selat Singapura juga melintasi Selat Malaka—salah satu jalur sutera pada masa lampau, hingga ke Selat Johor, kemudian dilanjut dengan perjalan darat yang panjang. 

    Agus misalnya, eks pekerja migran ilegal ini, awalnya dibawa menuju Batam dengan pesawat dari Jakarta. 

    Selanjutnya, ia dan rombongannya bersama dua orang agen pendamping, ke luar Indonesia melalui pelabuhan internasional Batam Center. 

    Di pelabuhan ini, rombongan Agus berhasil lolos, karena paspor turis yang mereka buat cukup meyakinkan. 

    Mereka menuju Pelabuhan Puteri di Johor Baru, Malaysia selanjutnya melalui jalur darat selama 31 jam perjalanan lebih. 

    Sedangkan J, yang gagal berangkat setelah dihadang patroli gabungan TNI AL, BP3MI dan Polda Riau di Laut Dumai (8/5/2025), mengaku bertolak melalui pelabuhan kecil di Riau. 

    Ia tak tahu nama pelabuhannya, ketika mereka tiba di pelabuhan yang disebutnya kecil itu, sudah ada satu speedboat yang menunggu.  

    Ia melihat pelabuhan itu bukan seperti pelabuhan penyeberangan pada umumnya karena lebih banyak kapal milik nelayan. 

    Ia juga sempat kaget saat melihat kondisi speedboat yang tak memadai untuk mengangkut 20 orang menuju Malaysia. 

    sihanoukville
    Perahu speedboat yang kerap dipakai untuk membawa para pekerja migran ilegal. Foto: ist

    “Sepanjang perjalanan saya berdoa saja, karena takut perahunya tenggelam. Perahunya kecil tapi ngangkut puluhan orang,” ujarnya kepada petugas. 

    Jalur laut memang diminati oleh sindikat agen perekrut tenaga kerja di Indonesia, karena selain biayanya murah juga minim resiko. 

    Sebagai perbandingan, biaya satu kepala tenaga kerja yang dikirim ke Kamboja melalui jalur laut hanya butuh biaya kurang dari Rp4 juta, biaya itu bahkan sudah termasuk biaya membuat paspor, jika diperlukan. Karena, umumnya paspor-paspor calon pekerja migran ‘terpaksa’ dibuat jika harus  menggunakan pesawat terbang atau ketika terpaksa harus masuk ke Pelabuhan Internasional Batam Center. 

    Selepas masuk Johor Baru, Malaysia, agen-agen ini sudah mendapat uang dari anggota sindikat yang sudah menunggu untuk melanjutkan perjalanan melalui darat. 

    Tugas agen perekrut asal Indonesia memang selesai ketika melewati perbatasan Indonesia saja, karena selebihnya sudah menjadi tanggung jawab sindikat lainnya. Umumnya, untuk mengelabui petugas dari negara-negara tetangga, sindikat ini berganti-ganti kendaraan, selepas dari Malaysia, Myanmar dan Thailand untuk lanjut ke Kamboja. 

    Jalur laut juga dianggap paling minim pengawasan aparat.  

    Mereka bisa dianggap sial ketika bertemu dengan petugas yang sedang patroli, baik dari TNI AL maupun Polairud. 

    Meski banyak yang berhasil digagalkan oleh patroli gabungan, tapi jumlah yang lolos jauh lebih banyak lagi. 

    Untuk mengelabui petugas, biasanya agen mulai bergerak di malam hari yang pengawasannya relatif minim.  

    Mereka memanfaatkan kapal-kapal nelayan di Batam yang secara spesifikasi tak layak digunakan untuk melintasi Selat Malaka apalagi dengan jumlah penumpang yang over kapasitas. 

    Indikasi Pulau Batam yang dijadikan sebagai titik transit oleh agen tenaga kerja yang hendak menyelundukan pekerja migran ini pula diakui oleh Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding. 

    Dalam sidaknya Karding menyebut Batam telah sejak lama menjadi titik transit pekerja migran ilegal, khususnya pelabuhan Batam Center. 

    “Batam ini jadi jalur paling strategis untuk mengirim pekerja migran ilegal,” kata Karding saat melakukan sidak akhir April 2025 lalu. 

    Meski Karding menyebut sistem pengawasan sudah baik, tapi ia juga mengakui jumlah pekerja migran ilegal yang lolos masih jauh lebih banyak dari yang terjaring. 

    Namun, Koordinator Divisi Bantuan Hukum Migrant Care Nur Harsono menilai upaya mencegah pengiriman pekerja migran ilegal tak hanya sekedar memperketat pengawasan tapi juga perlu menindak jaringan yang ada di balik sindikat ini baik yang di luar negeri maupun yang di dalam negeri. 

    Apalagi, agen-agen perekrut di Indonesia sudah bekerjasama dengan sindikat ini sejak lama sehingga sudah membentuk rantai pola yang sistematis yang saling diuntungkan. 

    Karena, sindikat di Kamboja sanggup membayar mahal ke agen perekrut untuk bisa mendatangkan calon pekerja. 

    Oleh sebab itu, lanjutnya, masalah perdagangan manusia ke Kamboja tak akan pernah bisa tuntas bahkan jumlahnya akan terus membengkak tiap tahunnya. 

    Penjelasan Migrant Care ini juga makin diperkuat dengan data dari pemerintah yang menyebut sampai dengan awal tahun 2025 ada sebanyak 80 ribu lebih pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal yang bekerja di Kamboja. 

    Pemerintah juga memastikan bahwa pekerja migran yang ada di Kamboja adalah ilegal karena Indonesia tak memiliki kerjasama penempatan tenaga kerja dengan Kamboja. 

    Dari 80 ribu pekerja migran ilegal yang ada di Kamboja itu, bisa jadi ada ribuan pekerja asal Lampung. Apalagi, Lampung menjadi daerah kelima terbanyak yang mengirimkan pekerja migran ke luar negeri. 

    Berdasarkan data Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, jumlah pekerja migran resmi asal Lampung yang dikirim ke luar negeri ada sebanyak 25.162 orang. 

    Dari jumlah itu, Kabupaten Lampung Timur menjadi daerah yang paling banyak di Lampung yamg mengirimkan pekerja migran dengan jumlah sebanyak 9.652 orang. 

    Berdasarkan pengakuan Fahri, saat bekerja di Kamboja sebagai scammer, ia melihat ada ratusan pekerja asal Indonesia yang berada satu gedung dengannya. 

    Mereka hidup jauh dari kata layak, bahkan kamar yang mereka tempati pun tak memadai, karena satu kamar berukuran 3×3 meter diisi oleh paling sedikit 25 orang pekerja. 

    “Masih mending di penjara daripada di sana (Kamboja). Satu kamar diisi sampai 25 orang, ada yang tidurnya sambil duduk karena nggak kebagian tempat lagi, padahal besok paginya sudah harus bekerja lagi,” cerita Fahri. 


  • sihanoukville

    Meski sudah terlalu banyak cerita keganasan dan kekerasan sindikat judi online dan penipuan online di Kamboja terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI), namun jumlah pekerja migran yang berangkat ke Kamboja, kian hari jumlahnya terus bertambah. Ada indikasi, meningkatnya PMI ke Kamboja karena tekanan sindikat kepada pekerja yang sudah lebih dulu bekerja di sana.  

    (Lontar.co): Postingan anggota grup Info Loker di Facebook itu menggiurkan; “Open Loker, gaji 11 Jt, makan 3x sehari, mess AC, biaya keberangkatan ditanggung”.   

    Ada 183 komentar yang membalas postingan itu, sebagian besar komentar menyatakan tertarik, tapi semua komentar itu hanya dibalas pendek,”cek inbok”.  

    Bujukan kerja di Kamboja bahkan menyasar di salah satu grup Facebook bernama Info Loker Bandar Lampung dengan waktu postingan yang terbilang baru, tanggal 4 Februari 2025, disitu tertulis: “Loker untuk posisi Customer Service penempatan di Kamboja, syaratnya harus bisa mengetik komputer”.  

    Selain itu, tertera pula usia maksimal calon pekerja yakni; 34 tahun. Ada pula, iming-iming pembuatan pasport, serta gaji yang menggiurkan sebesar $800 atau Rp12 jutaan dan bonus komisi 6-10% dan disediakan mess serta makan 3 kali sehari.  

    Aksi tawaran menggiurkan ini tersebar merata di hampir seluruh media sosial, seperti; FB, Instagram, TikTok hingga Telegram.  

    Di Telegram misalnya, agen perekrutnya bahkan terang-terangan mencamtumkan jenis pekerjaannya; yakni scam dan admin judol.   

    Tak hanya itu saja, perekrut bahkan tak membatasi jumlah calon pekerja yang akan direkrut, termasuk melampirkan nomor whatsapp agen perekrut.”minimal 5 orang, kalau bisa masih satu grub/satu daerah biar enak berangkatnya. Maslah keberangkatan, makan di jalan, paspor ditanggung perusahaan,” tulis salah satu akun di postingan Telegram.  

    Sebelumnya, J (24) satu dari lima warga Gunungpelindung, Lamtim,  yang hendak ‘diselundupkan’ ke Kamboja melalui Malaysia berhasil digagalkan oleh patroli gabungan TNI AL, BP3MI Riau dan Polda Riau di perairan Rupat, Kabupaten Bengkalis, Riau, pada 8 Mei 2025 lalu.  

    J dan empat orang lainnya baru mengetahui jika dirinya hanya akan dijadikan calon untuk ‘tukar kepala’ oleh pekerja asal Lampung yang bekerja di Kamboja.  

    Tukar kepala adalah istilah untuk menggantikan posisi pekerja migran yang sudah lebih dulu bekerja di Kamboja. Tukar kepala menjadi aturan wajib yang diberlakukan oleh sindikat judi online maupun penipuan online, jika pekerja migran yang berada di bawah penguasaannya ingin berhenti kerja.  

    J dan lima orang lainnya tergiur dengan janji gaji besar dari warga asal Lamtim yang sudah lebih dulu berada di Kamboja.  

    J mengaku mendapat informasi lowongan kerja dari Facebook salah satu grup komunitas pencari kerja di Lamtim. Dari situ, ia kemudian menghubungi pengunggah lowongan kerja yang juga mengaku dari Lamtim yang sudah berada di Kamboja. J juga diharuskan membayar uang hingga Rp7 juta kepada agen dengan alasan untuk membuat paspor dan biaya perjalanan.  

    Ternyata, selain J sudah ada pula empat orang lainnya yang sudah siap berangkat ke Kamboja melalui jalur ilegal dan difasilitasi oleh agen perekrut di Lamtim yang diduga bagian dari sindikat perdagangan orang.  

    Kelimanya kemudian berangkat melalui jalur laut, bersama 19 orang pekerja migran ilegal lainnya, sampai akhirnya tertangkap.  

    Menurut salah seorang tersangka perekrut tenaga kerja yang juga turut diamankan dalam operasi itu, kelima pekerja ini diarahkan untuk menghubunginya, kemudian J dan empat orang lainnya diminta membayar sejumlah uang untuk membuat paspor dan biaya keberangkatan.  

    Dari keterangan tersangka pula, kelima calon pekerja itu adalah hasil rekrutan pekerja asal Indonesia yang ada di Kamboja dan hendak resign, sehingga diwajibkan untuk menyiapkan pengganti minimal 5 orang atau tukar kepala.  

    Jumlah tukar kepala ini angkanya terus bertambah, jika sebelumnya komplotan sindikat itu hanya mewajibkan pekerja pengganti paling banyak 3 orang, kini bertambah menjadi 5 orang.  

    Meski tukar kepala, namun agen-agen perwakilan yang bertugas mengantarkan calon pekerja pengganti juga tetap mendapat bayaran yang mahal dari sindikat judol dan scam di Kamboja, karena umumnya komplotan ini sudah memiliki jaringan yang luas hingga ke pelosok desa.  

    Selain tukar kepala, ada pula sistem tebusan yang diberlakukan kepada pekerja-pekerja asal Indonesia yang hendak hengkang dari Kamboja.  

    Besarnya beragam, tapi nilainya tidak kecil, minimal Rp50 juta per pekerja. Biasanya, sindikat ini meminta uang tebusan ke keluarga korban dengan ancaman pembunuhan.  

    Yang paling parah adalah, para pekerja yang ingin berhenti bekerja tapi tak mampu mencari korban pengganti (tukar kepala) atau menyediakan uang tebusan, diberi pilihan untuk menjual organ tubuhnya—umumnya ginjal, sebagai pengganti, jika tidak mereka akan dijual ke perusahaan penipuan lainnya yang masih ada di Kamboja.  

    Meski berdasarkan penelusuran Lontar sejauh ini belum ada informasi pekerja asal Lampung yang terpaksa menjual organ tubuhnya agar bisa terbebas dari jeratan sindikat ini, namun tak sedikit cerita pekerja migran asal daerah lain yang terpaksa menjual organnya ke sindikat ini demi bisa pulang ke tanah air.  

    Kasus permintaan tebusan pekerja migran asal Lampung hanya ditemukan pada kasus Ahmad Jayani, warga Desa Tamanagung, Kalianda, Lamsel yang tewas di Kamboja tahun 2024 lalu. Keluarga Ahmad Jayani sempat dimintai tebusan Rp124 juta agar jasad Ahmad Jayani bisa dibawa pulang ke tanah air.  

    Tapi, karena keluarga Ahmad Jayani tak mempunyai uang sebanyak itu, akhirnya nasib jasad Ahmad Jayani tak diketahui kelanjutannya.  

    sihanoukville
    Brosur lowongan kerja ke Kamboja yang banyak dijumpai di media sosial. Foto: Kolase

    Di lain sisi, susahnya lapangan kerja hingga minimnya pengetahuan membuat agen perekrut tenaga kerja yang ada di Lampung begitu leluasa mencari mangsa.  

    Mereka bahkan tak perlu mengeluarkan biaya sepeserpun untuk menjaring calon pekerja yang akan dijual ke Kamboja.  

    Umumnya, mereka memanfaatkan media sosial sebagai cara untuk mencari calon tenaga kerja.  

    Sebagai jualannya, untuk memikat calon pekerja adalah gaji yang besar hingga fasilitas yang bakal didapatkan calon pekerja.  

    Para agen perekrut ini juga mendapatkan banyak keuntungan, selain membebankan biaya yang nilainya jutaan rupiah kepada calon pekerja dengan dalih untuk membuat paspor, kursus dan biaya keberangkatan, mereka juga mendapat imbalan dari sindikat judi online dan scamm yang ada di Kamboja.  

    Sesuai pasaran, tiap pekerja ‘dihargai’ Rp35 juta per kepala oleh agen tenaga kerja kepada sindikat di Kamboja.  

    Modus yang digunakan agen perekrut yang ada di Indonesia setelah berhasil menjaring calon pekerja yang akan dibawa ke Kamboja, para pekerja migran ini akan diberangkatkan melalui jalur ilegal, karena Indonesia tak memiliki kerjasama dengan Kamboja maupun Myanmar dalam hal penempatan tenaga kerja.  

    Untuk mengelabui petugas-petugas imigrasi, agen akan membuatkan paspor tanpa visa kerja dan berdalih kunjungan ke Kamboja hanya untuk berwisata.  

    Dengan paspor sebagai wisatawan inilah menjadi jalan modus yang paling banyak dilakukan oleh agen tenaga kerja ini agar bisa mulus membawa PMI ke Kamboja.  

    Agen tenaga kerja ilegal ini bahkan sudah menyiapkannya dengan matang, termasuk menyiapkan tiket pulang pergi hingga hotel agar petugas imigrasi tidak curiga.  

    Modus seperti ini, terang Dirjen Pelindungan Kementerian P2MI Rinardi, adalah hal yang paling sering dilakukan oleh sindikat perdagangan orang, bahkan ia menyebut bukti tiket pesawat pulang pergi dan hotel yang akan ditunjukkan ke petugas imigrasi terkadang adalah tiket palsu.  

    “Mekanisme pemeriksaan untuk paspor wisatawan itu kan petugas imigrasi memeriksa tiket pesawat pulang pergi dan hotel tempat mereka menginap, nah tiket pesawat dan booking hotel ini yang kadang dipalsukan untuk meyakinkan petugas imigrasi,” terang Rinardi.  

    Selain itu, selepas dari bandara, kebanyakan sindikat ini lebih memilih masuk ke Kamboja melalui jalur darat maupun jalur laut, selain biayanya lebih murah, jalur darat dan laut dianggap lebih minim pemeriksaan.  

    Dalam penangkapan PMI asal Desa Pelindungjaya, Kecamatan Gunungpelindung, Lamtim, Mei 2025 lalu, mereka diangkut dengan speedboat kecil yang harus memuat 19 orang dalam satu kapal.  

    Tekong atau pengemudi speedboat ini bahkan sempat melawan dan berusaha kabur ketika hendak diamankan, sehingga aparat harus memberikan tembakan peringatan.  

    Kepala BP3MI Lampung Ahmad Fauzi juga membenarkan adanya pemulangan 5 calon PMI asal Lampung Timur yang berhasil digagalkan oleh petugas gabungan dari TNI AL dan Polda Riau.  

    Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda melihat adanya kecenderungan para pekerja migran yang menyasar masyarakat di pedesaan.  

    Ia melihat adanya ketimpangan antara kesempatan kerja dan kebutuhan ekonomi antara masyarakat yang ada di kota dan desa sehingga banyak masyarakat desa yang memilih jalan pintas menjadi pekerja migran.  

    Apalagi, lanjutnya, tawaran kerja di Kamboja memang menggiurkan baik gaji maupun jenis pekerjaan yang ditawarkan,”iming-imingnya kan kerja bagus gaji besar, buat masyarakat desa yang awam tentu hal ini menggiurkan,” kata Nailul.  

    Sementara, Staf Divisi Bantuan Hukum Migrant Care Yusuf Ardabili menilai permasalahan banyak pekerja migran ilegal yang berasal dari desa bisa jadi bom waktu buat pemerintah.  

    Apalagi, kata Yusuf, tiap tahun jumlah pekerja migran yang berangkat ke Kamboja terus meningkat.  

    “Sebenarnya ini bisa jadi bom waktu ketika itu tidak serius untuk ditangani oleh pemerintah,” kata Yusuf. 


  • sihanoukville

    Tak semua korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kamboja seberuntung Agus, banyak dari mereka terpaksa harus pulang dalam keadaan cacat hingga tak bernyawa. Bahkan, meski sudah tak bernyawa pun, keluarga korban TPPO masih diperas dan dimintai uang tebusan hingga ratusan juta oleh agen perekrut , sementara sindikat jaringannya terus mencari mangsa, menyasar orang-orang yang terbuai dengan iming-iming gaji tinggi. 

    (Lontar.co): Air mata Janah (72) selalu mengalir tiap kali diminta menceritakan nasib tragis yang dialami anaknya, Ahmad Jayani yang tewas di Kamboja pada akhir 2024 lalu. 

    “Sakit bener hidup anak saya itu. Kerja banting tulang cuma untuk keluarga, tau-tau sudah mati,” kata Janah terbata-bata. 

    Sesekali mata Janah menerawang. Ia seperti masih merasa berat melepas kepergian anak kesayangannya itu. 

    Jilbab yang ia kenakan juga sebagian sudah basah untuk menyeka air matanya yang selalu mengalir. 

    Ahmad Jayani (36) warga Desa Tamanagung, Kalianda, Lamsel tewas tepat setahun lalu di Kamboja. 

    Berangkat ke Kamboja agar bisa bertahan hidup dan mencari penghidupan yang lebih baik, kenyataan yang dialami oleh Ahmad Jayani justru berakhir pada kematian, ia juga tak mendapat gaji. 

    Sebelumnya, tulang punggung keluarga itu, kerja banting tulang. Apa saja ia kerjakan, mulai dari menjadi sales, kuli hingga kurir paket pernah ia jalani. 

    Terakhir ia bekerja sebagai tukang ojek pangkalan. Dari sini pula ia mengenal Hani, yang disebut Janah berasal dari Lampung Timur. 

    Belakangan Hani mengaku sebagai agen tenaga kerja, dan menawarkan Ahmad Jayani untuk bekerja di Kamboja. 

    Semula Jayani tak tertarik, tapi karena terus dibujuk oleh Hani, dan diiming-iming gaji yang tinggi, Jayani mulai terpengaruh. 

    Saat itu, Jayani meminta ijin kepada Janah, ibunya untuk berangkat ke Kamboja,”bilangnya sama saya waktu itu, cuma mau kerja 6 bulan aja di Kamboja, cari modal buat usaha disini,” cerita Janah. 

    Meski berat, Janah tetap mengijinkan putranya itu berangkat bersama Hani. Firasatnya tak mengatakan apa-apa.”Pikir saya juga, cuma 6 bulan, kan nggak lama”. 

    Janah tak paham jenis kerjaan yang ditawarkan Hani kepada Jayani,”katanya kerjanya disuruh ngawasin situs judi online. Saya nggak ngerti yang gitu-gitu,” kata Janah lagi. 

    Selama di Kamboja pula, Jayani masih aktif berkomunikasi dengan Janah, dari komunikasi itu pula terungkap pekerjaan Jayani disana menjadi pelaku penipuan online (scammer). 

    Hampir lima bulan bekerja disana, Janah juga mengetahui jika putra sulungnya itu tak digaji, Jayani juga kerap meminta uang kepada adiknya untuk biaya makan selama di Kamboja. 

    Sejak itu, Janah mulai khawatir dengan nasib Jayani, apalagi Jayani juga mengaku sedang sakit. 

    “Dia nggak mau cerita sakit apa, tapi sering minta transferin uang untuk beli makan. Dari situ, saya sudah gelisah,” tutur Janah. 

    Tak berselang lama, Ahmad Jayani dikabarkan meninggal, seorang teman Jayani yang juga berada di Kamboja menyebut Jayani meninggal karena jatuh di kamar mandi. 

    Sementara, pihak rumah sakit di Kamboja memiliki alasan lain penyebab Jayani meninggal karena sakit komplikasi jantung dan paru-paru. 

    Padahal, sepengetahuan Janah, Jayani tak merokok, tak pula meminum kopi,”saya ini emaknya, jadi tahu anak saya seperti apa. Kalau dibilang sakit jantung dan paru-paru itu kok ya aneh,” ujar Janah. 

    Jayani juga disebut sempat mengalami koma selama sehari sebelum akhirnya dinyatakan meninggal. 

    Saat tengah dilanda kesedihan, lagi-lagi Janah harus mendapat kabar yang memilukan, jasad anaknya tak bisa dipulangkan ke Kalianda jika pihak keluarga tak menyiapkan uang Rp124 juta. 

    “Lah dari mana kami duit sebanyak itu, untuk makan aja susah. Sudahlah anak meninggal, masih juga dimintain uang sampe ratusan juta begitu,” kenang Janah. 

    Karena tak punya uang, pihak keluarga akhirnya hanya bisa pasrah, meski tetap berharap jasad Jayani tetap bisa dikebumikan di Kalianda. 

    Karena tak ada kejelasan pula, jasad Jayani sempat tertahan di Kamboja selama lebih dari tiga minggu sebelum akhirnya dimakamkan di Kamboja meski tanpa kehadiran Janah dan keluarga lainnya. 

    .. 

    Ada pula Fahri, yang juga korban TPPO di Kamboja. Meski berhasil pulang kembali ke tanah air dalam keadaan selamat tahun 2022 lalu, ia sempat mengalami penyiksaan di Kamboja. 

    Menurutnya, model penyiksaan yang paling ringan saat berada di kamp penampungan adalah tak diberi makan selama tiga hari, sedangkan yang lebih parah adalah disetrum. 

    Fahri warga Lamtim yang berangkat karena diiming-imingi bekerja sebagai marketing bergaji $1.500 per bulan ini pernah dipukuli oleh empat orang sekaligus, karena ia berusaha berontak dan hendak kabur. 

    “Waktu itu saya loncat dari lantai dua, tapi waktu manjat tembok pagar ketahuan penjaganya, dari situ saya dipukuli,” terang Fahri. 

    Setelah babak belur, ia kemudian di sekap di kamar sempit namun tetap disuruh bekerja di depan komputer, sejak pukul 8.00 pagi sampai malam hari. 

    Sama seperti pekerja-pekerja lainnya yang mendapat siksaan, tak ada satupun yang berani membantu Fahri. 

    Awalnya, Fahri yang masih berusia 19 tahun ketika berangkat, tergiur oleh bujukan agen tenaga kerja, ia makin yakin mana kala agen tenaga kerja itu dikenalkan langsung oleh pamannya. 

    Ia dijanjikan bakal bekerja sebagai tenaga marketing di perusahaan investasi dengan gaji hingga $1.500 tiap bulan. 

    Waktu itu, Fahri berangkat bersama 12 orang lainnya, tapi tidak melalui Batam, melainkan Bali menuju ke Vietnam dengan pesawat kemudian dilanjut menuju Sihanoukville dengan mobil. 

    Saat tiba di Bali, semua identitas diambil oleh pihak agen, mereka juga terus didampingi, di bagian pemeriksaan status Fahri sebagai turis, sesuai visa yang ia buat. 

    Hari pertama tiba, ia dan 12 orang lainnya langsung disuruh bekerja mencari mangsa melalui media sosial. 

    Selama tiga bulan bekerja, jangankan dapat bayaran $1.500 per bulan, ia bahkan tak digaji dan hanya diberi makan. 

    Ia bahkan sudah disiksa sejak bulan pertama bekerja karena tak berhasil mencapai target, hukumannya tak diberi makan. 

    Ia juga melihat tiga pekerja yang berangkat bersama dengannya, di sekap karena melawan. 

    Sejak itu, ia mulai mencari cara untuk melarikan diri meski akhirnya gagal dan mendapat siksaan. 

    Ia dan 12 orang lainnya berhasil bebas, setelah petugas dari KBRI menyelamatkan mereka dan ditempatkan di tempat penampungan sementara sebelum dipulangkan ke Indonesia. 

    “Saya masih belum ikhlas sampai sekarang,” ujar Fahri kesal. 

    Menurutnya, amat wajar jika banyak pekerja yang meninggal di Kamboja, karena selain mengalami penyiksaan, kehidupan mereka juga mengkhawatirkan. 

    Ia bahkan pernah melihat seorang pekerja asal Vietnam yang meninggal beberapa hari setelah mengalami penyiksaan, tapi keesokan harinya jasad pekerja itu sudah tidak ada lagi. 

    Biasanya, para pekerja yang meninggal karena di siksa akan dikebumikan sendiri oleh sindikat itu, sedangkan yang meninggal karena sakit, akan dibawa ke rumah sakit. 

    “Nanti, mereka akan menghubungi pihak keluarga untuk minta tebusan biar bisa dipulangkan ke kampungnya. Tapi, kalau nggak dapat tebusan, biasanya ada pihak rumah sakit yang menghubungi kedutaan,” paparnya. 

    Duta Besar RI untuk Kamboja, Santo Darmosusanto bahkan menjelaskan sepanjang 2024, ada sebanyak 92 kasus WNI yang meninggal di Kamboja. 

    Angka ini, lanjutnya, meningkat hingga 24 persen dibanding tahun 2023. Tingginya angka kematian WNI yang bekerja di Kamboja ini juga beragam, tapi di riwayat hanya disebutkan sakit, meski agak janggal. 

    Pengakuan Fahri, juga diamini oleh Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding yang menyebut beragam model penyiksaan yang dilakukan oleh sindikat penipuan online dan judi online kepada pekerja migran asal Indonesia. 

    “Ada beragam (penyiksaannya), ada yang disetrum, tidur di lantai, bekerja hampir 24 jam dan tidak diberi makan,” kata Abdul Kadir Karding kepada wartawan, April 2025 lalu. 


  • sihanoukville

    Ada begitu banyak jejak orang Lampung di Sihanoukville—surga judi dan penipuan online. Ada yang meninggal, ada yang tak digaji, tak sedikit pula yang disiksa, yang beruntung bisa berhasil kabur dengan trauma yang panjang. Akibat, minimnya kesempatan kerja di Lampung 

    (Lontar.co): Tubuh Agus, bukan nama sebenarnya, kini jauh lebih berisi, meski sedikit gempal, tapi keadaannya kini jelas jauh lebih baik dibanding saat tiga tahun lalu.  

    Saat ini, ia benar-benar merasakan ‘hidup’ untuk yang kedua kalinya. 

    Ia kini berpenghasilan sebagai driver ojek online di dua aplikasi berbeda sejak tahun 2023 lalu, setahun setelah mimpi buruk dihidupnya. 

    Sepintas tak ada yang berbeda dari Agus, selayaknya driver ojol kebanyakan, meski terkesan tertutup dan agak pendiam. Tapi, ia punya pengalaman antara hidup dan mati saat bekerja di Sihanoukville, Kamboja. 

    Awalnya, lumayan susah meminta Agus bercerita panjang lebar soal pengalamannya ini. Banyak syarat yang ia wajibkan. Selain meminta namanya tak disebut, ia juga tak mau membuka semua detil yang ia lakukan dan rasakan selama di Kamboja.  

    Trauma yang ia alami masih amat membekas bahkan sampai mengubah perangainya, sampai saat ini. Ia juga masih kerap khawatir agen-agen perekrutnya yang dulu, masih mencarinya. 

     

    Kapal yang tidak terlalu besar itu terombang-ambing selama dua puluh menit di tengah Selat Singapura. Lamat-lamat, dari kejauhan sinar lampu mercusuar di Senang Island nyalanya redup rendah, nyaris kalah dengan gemerlap lampu-lampu dari arah daratan Singapura yang meriah. 

    Di depan kapal dengan tujuan Johor Baru, Malaysia, laut lepas Selat Malaka yang terlihat kehitaman sudah menghampar selepas melewati teluk kecil Selat Singapura yang jadi perlintasan paling sibuk kapal-kapal laut komersil dari Pelabuhan Internasional Batam ke Singapura maupun sebaliknya.. 

    Bersama seorang temannya yang masih satu kampung dan lima orang lainnya yang tak ia kenal tapi punya tujuan yang sama, mereka bertolak dari Pelabuhan Batam menuju Pelabuhan Puteri Harbour, dengan tujuan akhir Sihanoukville, Kamboja. 

    Selama perjalanan, tak ada yang mencurigakan, suasana tetap ceria meski selepas dari Puteri Harbour, perjalanan dilanjut melalui darat selama lebih dari 31 jam. 

    Sepanjang perjalanan, Agus juga melihat pemandangan yang nyaris sama dengan kebanyakan wilayah di Indonesia yang beriklim tropis. Orang-orang bercocok tanam, rumah-rumah yang berjejer di tepian jalan, sama persis. 

    Sebelum berangkat, Agus dan seorang temannya diminta oleh agen untuk bertindak layaknya seorang turis yang sedang liburan, sesuai visa yang dibuat, visa turis. 

    Ia juga dibelikan satu stel pakaian yang menurutnya lumayan mewah oleh agen yang merekrutnya di daerah Pesawaran. 

    Tak ada hambatan selama perjalanan. Ia dan enam orang lainnya hanya mengikuti dua orang dari perwakilan perekrut yang sudah menjemput mereka sejak dari Jakarta. 

    “Awalnya dikenalin sama sepupu. Gajinya besar, kerjanya santai di bagian marketing, tapi bukan di pabrik, di perusahaan investasi. Di tempat saya, banyak yang kerja jadi TKI,” ujarnya. 

    Untuk bisa berangkat, Agus dan orang tuanya terpaksa menjual satu-satunya sepeda motor yang dimiliki keluarganya. 

    Uang Rp5 juta hasil penjualan motor diserahkan ke agen tenaga kerja untuk membuat paspor,”pokoknya terima beres langsung berangkat. Tadinya diminta 10 juta untuk ngurus paspor, administrasi, belajar komputer sama belajar bahasa Inggris dan biaya administrasi, tapi ditawar lagi sama bapak saya”. 

    Setiba di Batam, semua identitas mereka langsung dipegang oleh dua orang pendamping itu,”kami juga diajari kalau ada petugas yang tanya, bilangnya mau jalan-jalan ke Malaysia,” ujarnya lagi. 

    Di Sihanoukville, mereka dibawa menuju ke salah satu bangunan empat lantai, yang menurut Agus lebih mirip seperti asrama, meski tempatnya relatif ramai tapi pagar tembok pembatasnya lumayan tinggi dengan kawat berduri dibagian atasnya, banyak pula gedung bertingkat di sekitarnya yang tertutup pagar tembok menjulang. 

    Ia juga melihat ada belasan orang yang sudah lebih dulu bekerja disana, kebanyakan dari Indonesia, tapi tak ada yang bicara satu sama lainnya.”Sampe disana sudah agak malem, terus dikasih kunci kamar. Tiap kamar isinya empat orang, pake ranjang tingkat”. 

    Malam pertama itu, ia tak bisa tidur, meski habis menempuh perjalanan panjang. Ia pula tak bisa mengabarkan orang tuanya karena ponselnya ‘diamankan’ bersamaan dengan pasportnya. 

    Esok harinya, ia dan 6 orang lainnya langsung diperintah menemui seseorang, selanjutnya mereka diminta menandatangani dua lembar kertas yang disebut kontrak kerja. 

    “Isinya tulisan kayak huruf Cina, saya nggak ngerti. Ada orang disana yang bilang kalau surat itu kontrak kerja, dan kita disuruh tandatanganin biar langsung tercatat sebagai karyawan, ya kita ikut-ikut aja,” jelasnya lagi. 

    Setelah ditandatangani, salah seorang kemudian memastikan bentuk tanda tangan Agus dan enam orang lainnya,”mungkin mau mastiin kalau tanda tangannya sama dengan yang di KTP”. 

    Agus dan enam orang pekerja itu dipecah dalam beberapa kelompok, yang tiap kelompok terdiri 3 sampai 4 orang dan semuanya adalah orang Indonesia. 

    Agus sendiri dimasukkan dalam kelompok pekerja yang berasal dari Banyuwangi dan Bekasi,”nggak ada istilah kenalan dulu apalagi ngobrol basa basi, tapi langsung disuruh kerja,” tuturnya. 

    Hari pertama itu, ia diminta membuat sebanyak mungkin akun-akun medsos Facebook dan Instagram, tiap akun yang ia buat dipasang dengan foto profil perempuan dengan pakaian seksi. 

    Menurut salah seorang pekerja yang ada di kelompoknya, akun-akun itu dipakai untuk mencari ‘mangsa’ dengan menambah daftar pertemanan di akun serta memulai komunikasi, mulai dari berkenalan, sampai menawarkan produk investasi. 

    “Pokoknya, nggak diajarin apa-apa, langsung disuruh praktek, bikin akun, cari teman, kenalan, terus nawarin produk investasi seperti crypto”. 

    Saat itu, lanjutnya, terdapat tiga lembar kertas yang dijadikan panduan untuk Agus dan yang lainnya,”jadi, ada kertas yang dipasang di samping komputer kita, kertas itu isinya cara kita nawarin produk, cara kita jelasin perusahaan kita, biar keliatan seperti beneran”. 

    Modusnya adalah dengan mengatasnamakan perusahaan investasi terkenal dengan nilai investasi mulai dari Rp20 ribu.“Pokoknya gimana caranya target kita itu mau investasi”. 

    Untuk semakin meyakinkan mangsanya, tiap target yang sudah menginvestasikan uangnya meski hanya Rp20 ribu maka hanya dalam sehari nilai investasinya sudah melonjak hingga berkali lipat,”kita punya website khusus, target kita itu nanti akses website itu untuk ngeliat uang yang diinvestasikan, misalnya dia inves Rp20 ribu, besoknya uangnya sudah bertambah jadi Rp50 ribu, tapi uang itu nggak bisa ditarik,” cerita Agus lagi. 

    Ia ditarget maksimal 5 hari sudah harus bisa menghasilkan uang dari teman-teman di media sosial melalui akun-akun palsu yang ia buat. 

    Selain itu, ia juga diajarkan membuat fake GPS atau posisi palsu, dengan menggunakan aplikasi khusus yang secara otomatis bisa memindahkan lokasi sesuai keinginan. 

    “Waktu itu, GPS saya kebanyakan saya seting daerah Jakarta, biar nggak ketahuan kalau saya sebenarnya ada di Kamboja,” jelas Agus. 

    Ia yang terbilang baru dalam membujuk target, agak kesulitan meyakinkan calon mangsanya,”empat hari nyari mangsa lewat FB sama IG, cuma dapet uang Rp300 ribu, itu juga susah bener ngeyakinin targetnya”. 

    Agus sempat dimarahi, tapi ia tak mengerti apa yang diucapkan karena ia tak mengerti bahasa yang diucapkannya,”saya ngerasa dimarahin karena dia nunjuk-nunjuk saya, tapi kalau bahasanya saya nggak tau sama sekali”. 

    Agus juga melihat teman dalam satu kelompoknya yang sudah lebih dulu bekerja disana, yang juga tak tembus target, dan dipaksa push up dan tak diberi makan. 

    Di minggu berikutnya Agus mulai tak fokus. Apalagi, di tempat itu ia hanya diberi makan satu kali,”yang makan nasinya cuma satu kali, ada juga kue empat biji sama air mineral, itu juga dimakan sambil kerja,” akunya. 

    Jam kerjanya juga mulai tak menentu, terlebih target yang diberikan ke Agus tak pernah tercapai, ia mengaku pernah bekerja selama 14 jam sehari demi bisa mencapai target,”kata teman satu kelompok saya, jika targetnya nggak tembus sebulan, maka nggak gajian, disitu saya mulai pusing, mau pulang tapi bingung gimana caranya”. 

    Hari-hari selama berada disana, Agus dan pekerja lainnya merasa hidup seperti di penjara,”tiap malem saya cuma inget emak saya di kampung, yang ada dipikiran cuma bakal mati disini,” kenangnya. 

    Ia juga berusaha untuk menghubungi kerabatnya melalui pesan messenger di Facebook, sempat berhasil saling komunikasi tapi aksinya itu diketahui, karena selain di pantau melalui CCTV, tiap komputer yang digunakan juga dilengkapi semacam perangkat seperti webcam yang dipakai untuk memantau aktivitas para pekerja, ia kemudian dipaksa push up 100 kali, selain itu seorang petugas keamanan sempat menendangnya. Ia tak berkutik, pekerja lain yang ada disitu pun tak ada yang berani membantunya. 

    Sebulan bekerja disana, Agus sama sekali tak mendapat gaji, jatah makannya pun berkurang dengan lauk yang tak menentu, kondisi itu dialami Agus bersama lebih dari 8 orang yang bekerja disana. 

    Sepengetahuan Agus, hanya ada dua orang pekerja yang bisa berhasil mencapai target, tapi sepengetahuannya, gaji yang diperoleh juga tak sesuai dengan yang dijanjikan. 

    “Hampir semua yang kerja disana pengen kabur dari situ, termasuk yang tembus target, karena ini bukan lagi kerja tapi sudah disiksa pikiran dan badan. Mental kita sudah kena semua, Stress. Makanya disana nggak ada yang saling ngobrol karena sudah nggak bisa mikir lagi”. 

    Sampai kemudian, gedung yang berada di seberangnya didatangi serombongan orang yang belakangan diketahui dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang membebaskan puluhan pekerja asal Indonesia. 

    “Waktu penggerebekan gedung seberang kan ramai tuh, kita liat dari jendela. Kami lihat orang-orang yang datang itu pakai jaket ada lambang merah putihnya, dari situ spontan kami kemudian ngejerit-jerit minta tolong, dari situ ada dua orang yang masuk ke gedung kami, walaupun sempat dihalangi security gedung tapi kami terus teriak minta tolong dari lantai tiga, sempat ada yang dipukul karena kami terus teriak,” kenang Agus. 

    Upaya pembebasan berlangsung lama, pasalnya sindikat itu minta uang pengganti,  karena pekerja-pekerja yang ada disana termasuk Agus, mereka beli dari agen-agen asal Indonesia. 

    Agus tak tahu proses negosiasi selanjutnya, karena tak lama datang bus khusus untuk mengangkut para pekerja,”waktu bus datang, yang naik ternyata banyak juga, jumlahnya ada 14 orang, 9 dari gedung kami, yang 5 dari gedung seberang,” jelas Agus lagi. 

    Belakangan ia baru tahu setelah tiba di tempat penampungan sementara yang dikelola KBRI dan Migrant Care, terungkapnya kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) ini bermula dari adanya pengaduan dari salah seorang pekerja yang melapor melalui akun media sosial milik KBRI. 

    “Saya sudah nggak mikirin baju dan celana saya yang ketinggalan, yang penting saya bisa keluar dari situ”. 

    Agus akhirnya berhasil pulang, kembali berkumpul bersama dengan keluarganya,”nggak nyangka aja bisa pulang kesini lagi,” kata Agus dengan suara tertahan. 

    Banyak detil yang tak disampaikan Agus, ia juga tak mau menceritakan sejumlah kekerasan fisik yang ia dan pekerja lainnya alami, tapi dari trauma yang masih membekas di dirinya, apa yang dialami Agus di Sihanoukville bisa jadi jauh lebih kejam dan keras. 

    Cerita Agus ini sejalan dengan penelusuran yang dilakukan Lontar terhadap adanya upaya pemulangan para korban TPPO ini yang dilakukan oleh BP2MI dan Kemenlu. 

    Pada Agustus 2022 lalu, sebanyak 14 Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang diduga menjadi korban TPPO dan disekap di Kamboja dipulangkan ke Indonesia melalui kerjasama lintas sektoral yang melibatkan banyak pihak, mulai dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Kementerian Luar Negeri melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang ada di Kamboja, Kementerian Sosial hingga Migrant Care. 

    Jumlah PMI yang menjadi korban TPPO ini dipulangkan secara bertahap, tahap pertama sebanyak 14 orang, termasuk Agus salah satunya, kemudian tahap kedua jumlahnya jauh lebih banyak lagi. 

    Data dari Kementerian Luar Negeri menyebut sampai tahun 2022 lalu ada sebanyak 232 orang yang diduga menjadi korban TPPO di Kamboja. 

    Ratusan pekerja migran ini dipaksa bekerja di perusahaan berkedok investasi. Kemenlu juga mensinyalir adanya sindikat yang jaringannya bahkan berada hingga pelosok desa. 

    Modus yang dilakukan sindikat ini adalah menawarkan pekerjaan dengan gaji tinggi dan berangkat ke Kamboja dengan memanfaatkan visa turis bukan visa bekerja.