Langit di Lampung terasa sama seperti biasanya, biru, tenang, dan dihiasi awan yang melayang pelan. Tapi siapa nyana, dari tanah yang dikenal dengan kopi robusta dan ladang singkong ini, sebuah mimpi besar sedang bersiap untuk terbang ke angkasa. Namanya Satelit Lampung-1, sebuah proyek yang bagi sebagian orang mungkin terdengar ambisius, tapi bagi Provinsi Lampung, inilah langkah nyata menuju peradaban baru.
(Lontar.co): Ide besar ini bukan sekadar bualan, ini adalah tekad. Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, Rabu (28/5/2025) lalu menandatangani kerja sama strategis di Shandong, Tiongkok. Negara dengan kekuatan teknologi luar angkasa yang tak bisa dipandang remeh. Lewat kemitraan itu, Satelit Lampung-1 akan diluncurkan dari perairan internasional dan akan beroperasi untuk mendukung berbagai sektor strategis di Lampung. Sebuah kebijakan yang tak cuma berani, tapi juga berpandangan jauh.
Lampung mungkin bukan provinsi pertama yang melirik teknologi satelit, tapi keberanian untuk mewujudkannya patut dihargai. Karena ini bukan hanya soal gengsi punya satelit sendiri. Ini soal membuka jalan bagi petani di pelosok agar tahu cuaca esok hari, soal sekolah-sekolah di pegunungan yang bisa menikmati sinyal internet tanpa harus kesulitan, dan soal bagaimana rumah sakit kecil bisa terhubung dengan pusat layanan di kota besar lewat jaringan yang stabil.
Dampaknya bisa terasa luas. Data satelit akan membantu pemerintah memetakan wilayah rawan bencana, memantau aktivitas pertanian, hingga melihat perubahan tutupan hutan secara real time. Belum lagi soal digitalisasi desa, program pembelajaran jarak jauh, hingga dorongan terhadap pertumbuhan UMKM berbasis online. Satelit ini ibarat jembatan yang menyambungkan mimpi dengan kenyataan.
“Bahkan satelit ini bisa dipakai untuk menghitung jumlah kendaraan, jumlah petani, hingga jumlah bangunan,” kata Gubernur Mirza.
Ada yang bilang mimpi seperti ini terlalu tinggi. Tapi bukankah setiap kemajuan selalu dimulai dari angan yang tak masuk akal bagi zamannya? Dulu mungkin tak ada yang percaya bahwa sinyal dari langit bisa menyapa dusun di pinggir Way Kanan. Tapi kini, harapan itu mengorbit, secara harfiah.
Bagi Gubernur Mirza, ini bukan sekadar soal teknologi. Ini tentang keadilan, bahwa di era sekarang, keterhubungan bukan lagi kemewahan, tetapi hak. Bahwa anak-anak di Tanggamus atau Mesuji punya hak yang sama untuk belajar daring sebagaimana anak-anak di kota. Bahwa informasi dan peluang harus sampai ke mana pun, tanpa mengenal batasan geografi.
Ini baru awal, Satelit Lampung-1 adalah pijakan pertama. Di masa depan, siapa tahu, Lampung bisa jadi pionir dalam pemanfaatan teknologi luar angkasa di tingkat lokal. Bisa jadi pusat inovasi, tempat anak muda membangun startup agritech, edutech, atau teknologi berbasis data dari kampung halaman sendiri, bukan lagi harus merantau ke Jakarta atau luar negeri.
Mimpi yang Lebih Dulu Mengudara di Tempat Lain
Tentu, Lampung bukan satu-satunya daerah yang memimpikan konektivitas langit sebagai solusi dari keterbatasan di bumi. Di belahan lain Indonesia, beberapa wilayah juga pernah bermimpi serupa, walau bentuknya belum sampai pada tahapan ‘memiliki satelit sendiri’, seperti yang kini diperjuangkan Lampung.
Pada 2020 lalu, misalnya, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 2018–2023, Viktor Bungtilu Laiskodat sempat menyatakan niat besar untuk meluncurkan satelit mini milik NTT. Rencana itu digadang-gadang akan menjadikan NTT sebagai provinsi pertama yang punya satelit sendiri, sebagai jawaban atas persoalan sinyal dan komunikasi di wilayah kepulauan mereka. Namun, sejak pernyataan tersebut mengemuka, belum terdengar lagi gaung keberlanjutannya. Mimpi itu seperti tertahan awan tebal, belum sempat mengorbit.
Sementara itu, di Provinsi Kepulauan Riau, upaya memperkuat konektivitas digital diwujudkan dengan dukungan terhadap program nasional Satelit Republik Indonesia (SATRIA-1). Provinsi ini dipilih sebagai lokasi stasiun bumi untuk satelit milik pemerintah pusat, yang bertujuan menjangkau wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Meskipun tidak punya satelit sendiri, peran aktif ini tetap menjadi bagian penting dari ekosistem digitalisasi nasional.
Namun yang menarik, Lampung memilih jalan berbeda. Bukan sekadar menjadi tuan rumah bagi jaringan nasional, melainkan merintis sendiri jalur ke orbit. Jika peluncuran Satelit Lampung-1 ini benar-benar terjadi dan satelit itu beroperasi sesuai rencana, maka Bumi Ruwa Jurai akan tercatat dalam sejarah sebagai provinsi pertama di Indonesia yang secara mandiri memiliki dan mengelola satelit daerah. (*)