Tag: sampah

  • sampah

    Wakil Gubernur Jihan Nurlela sampai harus jauh-jauh ke Temanggung cuma mau belajar pengelolaan sampah, padahal di depan mata ada banyak komunitas lokal mulai dari yang sederhana sampai profesional, sukses mengelola sampah di Lampung. Masalah sampah di Lampung bukan soal hilirnya tapi hulunya dulu yang harus dibenahi.

    (Lontar.co): Sampah memang masalah, bukan cuma di Lampung tapi di seluruh Indonesia dan juga dunia.

    Bukan pula mengembangkan produk hilir limbah manusia, tapi penting pula membangun persepsi yang sama, dari kita yang menciptakan sampah itu sendiri, baru kemudian memformulasikan harus seperti apa sampah dikelola.

    Kesadaran ekologi kita memang masih rendah, konsep-konsep seperti reduce, reuse dan recycle masih jauh dari akal. Hari ini, konsep penghasilan memang beranjak dari kerja dan tenaga, sedang sampah dianggap sesuatu yang tak bernilai, karenanya dibuangnya pun sembarangan dan tak bertanggung jawab.

    Manusia yang lemah dalam hal berpikir dan bertindak memang cenderung tak bisa mengubah dan mentransformasi benda-benda yang semula bernilai menjadi alat, melalui cipta dan karsa mereka-mereka yang teliti.

    Dalam buku ‘An Ontology of Trash: The Disposable and Its Problematic Nature’ karya Greg Kennedy, otentisitas akal manusia seketika hilang ketika tak mampu mengubah benda—yang semula bernilai, kemudian tak bernilai (trash) menjadi bernilai kembali melalui transformasi nilai ke dalam obyek yang tak bernilai.

    Manusia tak pernah bisa mengenali sampah sebagai sepah, yang dianggap tak punya dan kehilangan ‘rasa’ setelah fungsinya hilang dan kemudian tak dipedulikan lagi oleh manusia.

    Kesadaran ekologis yang seharusnya di gambar melalui proses‘reduce, reuse, recyle’ juga tak pernah ada, atau ada cuma semata formal saja.

    Solusi sampah sebenarnya sederhana, terintegrasi. Manusia sebagai produsen bertanggung jawab atas limbah yang mereka hasilkan dan pemerintah menciptakan daya tekan melalui regulasi tegas. Karena bagaimana mungkin membuat sesuatu yang bernilai sementara nilai-nilainya tak dibangun semenjak semula.

    Maka, kunjungan Mbak Wagub ke Temanggung sebenarnya sia-sia belaka. Sebab, dalam skala kewilayahan, model-model pengelolaan sampah menjadi sesuatu yang bernilai sudah eksten sejak lama, tapi kebanyakan mereka memang bekerja di ruang-ruang sunyi, tak butuh eksposure melainkan konsistensi.

    Bengkel Ecobrick Kabarti, Emak.id, Gajahlah Kebersihan adalah mereka-mereka yang selama ini bekerja konsisten mengelola sampah secara mandiri. Mengolah sampah menjadi sebuah nilai, meski memang secara kuantitas kemampuan produksi mereka masih skala rumahan, tapi disinilah peran regulator seharusnya hadir.

    Bengkel Ecobrick Kabarti yang diinisiasi oleh Nurochmad sudah ada sejak tahun 2019, Kabarti yang akronim dari Kampung Baru Tiga ini, sukses mengelola sampah plastik yang mencemari Teluk Lampung menjadi produk ecobrick ramah lingkungan dari plastik-plastik yang tak terurai menjadi alat fungsional.

    Wilayah Kampung Baru Tiga yang semula kumuh dengan gunungan sampah dan menjadi penyebab banjir kini mulai sedikit lebih bersih sejak pengelolaan sampah dilakukan.

    Pengelolaan sampah menjadi ecobrick juga menjadi solusi paling sederhana sekaligus murah dari limbah sampah plastik yang dipadatkan untuk dibuat berbagai produk yang bernilai.

    Ada pula komunitas pemuda yang menamakan dirinya Gajahlah Kebersihan yang fokus pada pengelolaan sampah, khususnya sampah laut dengan sepenuhnya memberdayakan pemuda untuk lebih peduli terhadap konservasi melalui praktik pengelolaan sampah secara bertanggung jawab.

    Sudah berdiri sejak tahun 2017, Gajahlah Kebersihan sukses memberi edukasi kepada lebih dari 13 ribu pemuda di seluruh Indonesia termasuk memberi pemahaman pengelolaan sampah menjadi sesuatu yang bernilai.

    Salah satu produknya adalah eco roster atau ventilasi beton ramah lingkungan. Roster-roster hasil pemberdayaan masyarakat yang difasilitasi oleh Gajahlah Kebersihan ini terbuat dari hasil olahan sampah plastik tertolak yang tak bernilai jual, mulai dari bungkus plastik minuman, kantong plastik hingga sedotan berbahan plastik yang diubah menjadi roster-roster minimalis yang memiliki nilai ekonomis dan estetis tinggi.

    Produk roster ramah lingkungan ini bahkan sudah menjangkau ke banyak wilayah kota besar di Indonesia sebagai partisipasi terhadap keberlanjutan lingkungan sekaligus menjadi bagian dari green lifestyle yang mulai diterapkan oleh banyak warga kota besar dalam pembuatan teras, pagar hingga dinding rumah.

    Konsep ekonomi sirkular yang diterapkan Gajahlah Kebersihan ini juga berhasil meningkatkan perekonomian masyarakat dari hulu hingga hilir yang pengelolaannya langsung oleh masyarakat secara mandiri, tujuannya tentu saja melepas sepenuhnya ketergantungan terhadap model ekonomi linier tradisional yang hanya terpaku pada ‘beli, pakai, kemudian buang’.

    Ada pula Emak.id yang diinisiasi Ahmad Khairudin Syam dan Agus Solihin tahun 2021 lalu, yang saat ini sudah punya ratusan unit bank sampah yang merata di hampir seluruh wilayah Bandarlampung, Pesawaran bahkan hingga Lampung Selatan.

    Mereka juga; Ahmad Khairudin Syam dan Agus Solihin, berangkat dari keresahan yang sama, sampah di Lampung yang menjulang, sementara konsentrasinya hanya terpaku pada satu titik, TPA Bakung.

    “TPA Bakung setiap waktu menampung sampah tapi tidak ada pengelolaan lanjutan,” ujar Ahmad Khairudin Syam dikutip dari IDN Times.

    Bersama Agus, Khairudin menilai pembangunan TPA bukan solusi efektif untuk menanggulangi sampah, menggagas gerakan bersih-bersih sampah juga bukan jalan keluar,”masalah sampah bukan hanya di hilir tapi persoalan utamanya justru berada di hulu”.

    Pola masyarakat yang tak terbiasa mengolah dan memilah sampah, membuat sampah yang sebenarnya masih punya nilai tinggi akhirnya terbuang dan membebani tempat pembuangan sampah.

    “Kita bangun pelan-pelan, mulai dari edukasi ke masyarakat, kita yakinkan mereka, pentingnya memilah sampah sampai memberi nilai untuk tiap sampah yang mereka pilah,” jelas Ketua Forum Bank Sampah Lampung ini.

    Sampah-sampah hasil pilah dan pilih warga kemudian di konversi menjadi beragam kebutuhan, mulai dari sembako hingga emas, bisa pula dirupiahkan.

    Sejak dirintis hingga sekarang sudah ada ribuan nasabah yang antusias.

    Setiap hari petugas pengangkut sampah Emak.id berkeliling ke titik-titik pertemuan dengan nasabah di setiap wilayah untuk mengambil sampah-sampah yang sudah dipilah, kemudian dicatat untuk dikonversi ke dalam tabungan masing-masing nasabah.

    Proses pengangkutan sampah nasabah dilakukan secara bergilir, karena armadanya masih terbatas, dengan intensitas kunjungan dua sampai tiga minggu sekali.

    Nasabah sampah di Emak.id kini makin meluas, bukan cuma emak-emak ibu rumah tangga, tapi juga sekolah sampai rumah makan, yang selama ini diketahui punya konsentrasi sampah yang cukup tinggi.

    Selain di tabung atau di tukar dengan uang, nilai-nilai dari hasil penukaran sampah ini juga bisa diganti dengan kebutuhan lain, seperti; membayar tagihan listrik hingga pulsa.

    Sekarang pula, Emak.id mulai mengembangkan konsep dengan membuat pelatihan-pelatihan ke nasabah-nasabahnya dalam hal pengelolaan sampah secara berkelanjutan, untuk dibuat pupuk maupun pembuatan maggot, yang punya prospek bisnis lebih besar untuk tiap nasabahnya.

    Ada banyak lagi, tapi tak teridentifikasi, memang mereka lebih cenderung bekerja di ruang sunyi, bergerak dalam diam, tapi aksi mereka nyata, punya nilai, punya ruh.

    Mereka memang bekerja, tapi di ruang sunyi, tak butuh pengakuan apalagi eksposure. Mereka itu kuat setengah mati.

    Merujuk data Sistem Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) jumlah timbulan sampah di Lampung sepanjang tahun 2024, ada sebanyak 720.583,30 ton, dengan rata-rata timbulan sampah harian 1.974,20 ton per hari, dari tiap orang yang sehari bisa menghasilkan 0,7 kilogram sampah.

    Data itu menunjukan betapa manusia menjadi sumber polutan utama buat semesta, bahkan dalam keadaan diam sekalipun.

    Sebagai entitas yang dibalut kerangka agama dan budaya, manusia sebenarnya sudah diajarkan untuk hidup bertanggung jawab terhadap apa-apa yang mereka perbuat, sehingga membangun keterhubungan antara manusia, alam dan Tuhan.

    Keterhubungan yang membangun pola segitiga ini kemudian menghadirkan semacam aksiologi yang kemudian oleh akal diterjemahkan ke dalam bentuk pertanggungjawaban mutlak terhadap lingkungan, sebagai kesadaran murni dari ruhani, yang oleh pikiran diterjemahkan melalui tindakan.

    Sementara dalam budaya, tradisi membentuk kehidupan seseorang untuk bersikap bijaksana sekaligus memiliki etik terhadap lingkungan tempat mereka tumbuh dan kemudian nanti menyemayamkan juga jasad mereka.

    Jika di masyarakat Badui ada pandangan bahwa alam berisi roh dan mahluk lain selain manusia, yang kemudian membangun tradisi secara temurun untuk menjaga alam sekuat mungkin dari pengaruh zaman, maka masyarakat Lampung pun sudah sejak lama hidup dalam lingkup tradisi yang kuat untuk menjaga kemurnian alam melalui tradisi-tradisi yang masih hidup meski mulai sedikit.

    Di Desa Bumiagung Marga, Lampung Utara, masyarakatnya masih konsisten menggelar tradisi Bedawak atau semacam bersih desa yang sudah ada sejak lampau.

    Saat Bedawak digelar, semua orang harus ikut, tak terkecuali orang terpandang sekalipun. Tak ada sekat kasta, usia apalagi kesukuan, semuanya harus urun tenaga agar desa tetap bersih, lingkungan terjaga.

    “Dari dulu sampai sekarang, desa kami tidak pernah banjir. Tiap orang diajak dan diajarkan untuk bertanggung jawab terhadap kelangsungan desa ini,” kata salah satu tokoh pemuda Desa Bumiagung Marga, Firdaus gelar Minak Paksi Negara.

    Kita juga pernah punya mitos-mitos kolektif untuk membangun kesadaran ekologis sejak dini, tentang bagaimana para orang tua menjaga dan membangun ‘iman’ kita yang masih awam melalui konsep-konsep yang bisa dipahami dengan nalar yang masih kecil pula.

    Sampah hari ini memang hanya tentang dua saja; semangat dan keresahan sebagai antitesis dari sifat tamak manusia yang kebanyakan tak bertanggung jawab terhadap apa yang mereka perbuat dan hasilkan.

    Sampai hari ini, kita masih saja melihat, orang-orang berseragam, orang-orang berpakaian rapi yang dengan tenangnya melempar plastik-plastik sampah ke trotoar, membuang sampah di jalan, melalui jendela kaca mobil yang mewah tanpa rasa bersalah.

    Padahal, tiap lembar plastik yang dilempar sebagai sampah setiap hari, membuat bumi makin jauh dan telah melewati fase pemanasannya, ia sudah hampir mencapai titik didih yang ideal untuk bersiap, mengintai dan menghimpun kekuatan maha dahsyat untuk berbalik dengan kemampuan destruktifnya yang besar dan masif sebagai bencana ekologis.

    Jadi kalau hari ini, konsep pengelolaan sampah masih bicara soal produk hilir, maka sampah selamanya tak akan pernah terurai. Kodrat manusia memang cenderung nilai, tapi harus ada pakem awal yang tertanam di mental agar mereka dan kita semua mau untuk mulai bertanggung jawab terhadap sampah yang kita hasilkan, itu saja, tak perlu harus membuka mata di tempat lain, sementara terpejam melihat tempat sendiri.