Pada buku Rendra; Penyair dan Kritik Sosial, dinyatakan bahwa agen reformasi budaya terpenting adalah pendidikan. Kita semua juga bersepakat bahwa peningkatan sumberdaya manusia, terlebih dalam upaya menuju Indonesia emas sebagaimana yang digembar-gemborkan pemerintah pusat dan daerah, ujung tombaknya adalah pendidikan.
Tapi yang terjadi di Lampung baru-baru ini, membuat masyarakat gugup dan mungkin enggan membayangkan masa depan, satu kenyataan pendidikan mengabarkan 89,66% siswa gagal tembus nilai di atas 50 pada TesKemampuan Akademik (TKA) SMA Unggulan Lampung.
Dari 3.863 siswa SMP yang mengikuti seleksi pada 11–12 Juni 2025, sebanyak 89,66 persen peserta memperoleh nilai di bawah 50. Hasil resmi diumumkan serentak pada Sabtu, 14 Juni 2025.
Berikut rincian statistik hasil nilai siswa peserta TKA: Nilai 81–90: 0,08% (3 siswa), Nilai 71–80: 0,65% (25 siswa), Nilai 61–70: 1,89% (73 siswa), Nilai 51–60: 7,74% (299 siswa), Nilai 41–50: 22,50% (859 siswa), Nilai 31–40: 34,54% (1.450 siswa), Nilai 21–30: 26,33% (1.027 siswa), Nilai 11–20: 2,90% (112 siswa), Nilai 1–10: 0,08% (3 siswa), Nilai 0: 0,31% (12 siswa).
Sontak, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Lampung, Thomas Amirico, prihatin. Mungkin Gubernur juga prihatin, anggota dewan prihatin, guru-guru dan pihak sekolah, serta masyarakat prihatin, pada kualitas siswa (generasi penerus) yang kelak akan sedianya bakal melanjutkan mengelola dan memimpin negeri ini.
Prihatin menjadi viral jika sudah begini. Rasa prihatin kerap jadi strategi banyak pihak yang ingin lepas dari tanggung jawab atas kenyataan tersebut.
Guru dan kurikulum pasti jadi kambing hitamnya. Saya percaya bahwa guru dan pihak sekolah sudah berusaha maksimal, transmisi pengetahuan sungguh-sungguh sudah dijalankan sesuai dengan instruksi. Jadi, sewaktu mengikuti Tes Kemampuan Akademik, ada “sabotase massal”, sebentuk kesurupan, dengan kata lain siswa menjawab tes tanpa kesadaran penuh. Hasilnya jadi begitu.
Jangankan siswa, Laman Dinas Pendidikan Kota Bandarlampung saja, typo sana-sini. Saya juga percaya bahwa terjadi “sabotase” kesadaran admin yang mengelola laman tersebut. Meski tentu kita tahu bahwa laman Dinas Pendidikan Kota Bandarlampung memegang peran krusial sebagai jendela informasi utama bagi masyarakat, baik siswa, orang tua, pendidik, maupun pihak lain yang berkepentingan dengan dunia pendidikan di kota ini.
Terlebih di era digital yang mengedepankan kecepatandan aksesibilitas informasi, kehadiran laman resmi yang akurat dan bebas kesalahan menjadi sebuah keharusan. Namun, temuan typo atau kesalahan penulisan pada laman tersebut, meskipun terlihat sepele, sesungguhnya mencerminkan isu yang lebih besar terkait kualitas informasi publik dan kredibilitas institusi.
Kesalahan penulisan pada laman resmi pemerintah bukanlah sekadar kecerobohan linguistik, melainkan memiliki dampak berlapis. Pertama, merosotnya citra profesionalisme. Sebuah lembaga pendidikan, yang notabene adalah garda terdepan dalam mencerdaskan bangsa, seharusnya menjadi teladan dalam penggunaan bahasa yang benar dan akurat.
Keberadaan typo yang menonjol dan berulang-ulang dapat menciptakan kesan bahwa lembaga tersebut kurang teliti, tidak serius, atau bahkan abai terhadap detail. Ini berpotensi mengikis kepercayaan publik, yang pada gilirannya dapat memengaruhi partisipasi masyarakat dalam program-program pendidikan yang dicanangkan.
Kedua, potensi kesalah pahaman informasi. Meskipun seringkali pembaca dapat memahami maksud di balik typo, ada momen krusial di mana kesalahan penulisan dapat mengubah makna atau menciptakan ambiguitas.
Misalnya, kesalahan pada angka, tanggal penting, atau persyaratan pendaftaran beasiswa dapat menyebabkan kebingungan massal, antrean panjang di kantor dinas, hingga hilangnya kesempatan penting bagi individu.
Dampak ini secara langsung merugikan masyarakat yang mengandalkan informasi dari laman tersebut untuk mengambil keputusan penting.
Ketiga, indikasi kelemahan dalam tata kelola kontendigital. Typo yang konsisten muncul mengindikasikan bahwa proses kontrol kualitas (quality control) dalam pengelolaan konten laman belum berjalan optimal.
Ini mungkin disebabkan oleh kurangnya prosedur baku dalam penyuntingan, keterbatasan sumber daya manusia yang terlatih dalam kepenulisan, atau minimnya kesadaran akan pentingnya akurasi linguistik di kalangan pengelola laman. Dalam konteks pemerintahan, hal ini perlu menjadi perhatian serius karena berkaitan dengan akuntabilitas dan transparansi.
Mari sama-sama percaya, bahwa itu tidak disengaja, ada “sabotase”, tiba-tiba jin atau ada roh yang merasuki kita semua, sehingga kita bisa mengubah dokumen tanpa merasa bersalah dan tak perlu berurusan dengan hukum, meski saya tidak menganjurkan bagi rakyat kecil, ini hanya boleh bagi yang punya otoritas, yang memang memiliki kedekatan dan sering ngopi bareng dengan hukum.
Sementara kita, rakyat kecil harus teliti, harus cermat, kalau tidak ya bisa bahayalah bagi kemaslahatan hidup. (*)
