Tag: rumah subsidi

  • rumah

    Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) sedang membuat aturan baru soal batas minimal luas rumah subsidi 18 meter persegi. Aturan ini dianggap tak manusiawi, di tengah sulitnya masyarakat mengakses Kredit Pemilikan Rumah (KPR), belum lagi pembangunan perumahan yang kebanyakan menafikan fungsi ekologis.

    (Lontar.co): Sudah setahun terakhir ini Khairul Fajri, keliling dari satu bank ke bank lainnya demi bisa memperoleh persetujuan kredit pemilikan rumah (KPR).

    Padahal, jika menilik syarat yang dimiliki Fajri sebenarnya sudah jauh dari cukup, bahkan lebih. Ia adalah guru swasta, pun dengan istrinya.

    Jika digabung, penghasilan pasangan suami istri ini bisa sampai Rp7 juta sebulan, itu belum termasuk, usaha madu yang dirintisnya sejak masih lajang.

    Tapi, dari tiga bank yang diajukan oleh pihak pengembang atas nama dirinya, dua diantaranya gagal lolos, sedangkan satu lainnya masih dalam proses pengajuan yang masih terkatung-katung kejelasannya.

    Proses itu harus dijalaninya selama setahun terakhir, ia juga harus mondar-mandir tiap seminggu sekali ke pengembang untuk menanyakan kelanjutannya.

    Ia khawatir uang Rp10 juta hasil tabungannya, yang sudah diserahkan ke pengembang bakal menguap begitu saja, karena bank yang tak kunjung memberi kepastian soal realisasi KPR yang ia ajukan.

    “Semua syarat sudah lengkap, tapi tiap ditanya jawabannya masih proses terus,” keluhnya.

    Pasalnya, pihak pengembang menyebut alasan dirinya terganjal karena ada ganjalan di BI Checking dengan status kolektibilitas 2 (kol 2),”padahal, saya hanya telat bayar angsuran motor nggak sampai seminggu tapi langsung masuk BI Checking”.

    Ia nyaris putus asa, bahkan berencana untuk memilih membeli tanah kavling jika proses pengajuan kredit di bank yang terakhir kali ini gagal, resikonya adalah potongan uang muka.

    Fajri tidak sendirian, ada begitu banyak masyarakat yang berharap bisa memiliki rumah subsidi tapi terus terganjal dengan ketatnya aturan pengajuan kredit pemilikan rumah (KPR) dari perbankan.

    Tak jarang mereka harus ‘mengakali’ penghasilan agar bisa mendapat persetujuan KPR dari bank.

    Fajri misalnya, ia sempat diminta oleh pengembang untuk ‘menaikkan’ gajinya dan istri menjadi Rp10 juta per bulan, sebagai antisipasi jika permohonan KPR mereka ditolak oleh bank.

    Data Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) menyebut sepanjang 2024 ada sebanyak 30 ribu pengajuan KPR yang ditolak perbankan karena beragam alasan, utamanya skor kredit yang buruk.

    Dari total kuota penerima bantuan pembiayaan rumah (subsidi) tahun 2024 sebanyak 220 ribu, hampir 30 persen diantaranya gagal dalam proses pengajuan kredit pemilikan rumah subsidi melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang menyasar masyarakat berpenghasilan rendah, dengan subsidi bunga yang ringan.

    Data BP Tapera juga menyebut penyaluran pembiayaan rumah subsidi melalui FLPP pada 2024 menurun, dari 229 ribu unit pada 2023, turun menjadi 200 ribu unit pada 2024.

    Demikian halnya, pembiayaan rumah subsidi skema KPR Tapera yang pada tahun 2023 tercatat sebanyak 7.020 unit, kemudian pada 2024 turun menjadi hanya 6.146 unit.

    Di saat ketidakpastian pengajuran kredit rumah masih terus berlangsung, pemerintah melalui Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) juga berencana menerbitkan aturan baru terkait batas minimal luas rumah subsidi dengan luas minimal 18 meter.

    Aturan ini dianggap tak manusiawi. Jauh dari layak hingga tak lebih baik dari kandang sapi.

    Dalam beleid itu, ada perubahan yang amat mendasar soal luasan rumah subsidi menjadi hanya 18 meter.

    Dirjen Perumahan Perkotaan Kementerian PKP Sri Hayati menyebut aturan itu masih dalam pembahasan dan uji coba, sehingga ia juga tak bisa memastikan kapan peraturan itu berlaku.

    Soal penurunan luas rumah subsidi dari 36 meter menjadi hanya 18 meter persegi, Sri justru beralasan, opsi itu bisa jadi pilihan masyarakat,”ukuran ini masih layak,” dalihnya.

    Rujukan Kementerian PKP mengenai susutnya luas rumah subsidi adalah, ukuran kebutuhan ruang tiap individu yang hanya 9 meter persegi. Jadi, dengan 18 meter persegi, masih amat layak.

    Ia juga beralasan, ketersediaan lahan yang makin terbatas, sehingga dengan luas rumah subsidi yang main kecil, masyarakat berpenghasilan rendah bisa membeli rumah di wilayah perkotaan.

    Tapi, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah punya tanggapan lain, menurutnya, luas rumah subsidi yang hanya 18 meter itu tak layak untuk keluarga dengan 4 orang anggota keluarga.

    “Tidak manusiawi. Masyarakat berpenghasilan rendah akan sulit memperluas bangunan, jangan-jangan malah nanti dimanfaatkan oleh masyarakat mampu yang berpura-pura menjadi MBR,” katanya beralasan.

    Pembangunan rumah subsidi yang amat kecil itu pula, lanjutnya, berpotensi memunculkan permukiman kumuh, karena terlalu sempit sementara anggota keluarga yang tinggal sangat banyak.

    Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) juga menolak keras ukuran rumah subsidi 18 meter apalagi 14 meter persegi.

    Ketua Umum IAI Georgius Budi Yulianto menilai ukuran yang kecil itu hanya akan membatasi ruang gerak manusia sebagai makhluk sosial.”Sudah tegas bahwa luas hunian subsidi minimal itu 36 meter persegi,” tegasnya.

    Diakui atau tidak, model hunian 18 meter memang jauh dari kata layak. Manusia sejatinya membutuhkan ruang untuk bertumbuh, bernafas dan berinteraksi.

    Pembatasan luas hunian ini secara eksplisit memang sepenuhnya membatasi ruang gerak manusia sebagai makhluk sosial.

    Sebagai entitas, manusia bukan hanya sekedar membutuhkan tempat untuk hidup dan bernafas, tapi juga ruang yang membuat tiap manusia bisa bergerak meski sedikit bebas dalam artian sesungguhnya.

    Secara teori ergonomi pula, seorang manusia membutuhkan ruang paling sedikit 0.45 meter persegi saat berdiri, niraktivitas tanpa intrusi secara psikologis yang memicu manusia untuk bergerak ketika berinteraksi dengan manusia lain maupun benda.

    Hunian yang sempit juga memicu masalah ketimpangan spasial yang pada akhirnya menimbulkan kecenderungan kohesi sosial yang agresif akibat keterbatasan ruang hidup.

    Kehilangan ruang spasial juga membuat manusia kehilangan definisinya sebagai manusia yang harus bergerak dan berinteraksi dalam skala sosial, meski hanya terbatas pada keluarga sekalipun.

    Antarruang yang saling bertumpuk juga menihilkan kebutuhan privasi tiap manusia terlepas perkembangan kegenerasian yang tak lantas melunturkan kebutuhan privasi yang mutlak dan melekat pada diri tiap manusia.

    Kementerian PKP dan Maruarar Sirait hanya melulu bicara soal kuantitas dengan keterpenuhan angka 3 juta rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah, tapi secara kualitas, pemerintah tak memanusiakan manusia selayaknya, sebagai hak dasar.

    Kebutuhan perumahan bukan hanya tentang tuntutan backlog perumahan tapi juga wajib melihat kehidupan manusia yang harus tumbuh, harus beristirahat sekaligus bermimpi, tanpa rasa sesak oleh keadaan.

    Luas hunian yang sempit itu secara kasat memenuhi eksistensi pembangunan kota tapi sepi dari rasa kemanusiaan akibat standar ruang hidup yang makin direndahkan oleh regulator.

    Ambisi pemenuhan backlog perumahan demi target 3 juta perumahan juga mengabaikan fungsi-fungsi ekologis lingkungan yang juga menjadi bagian penting dari kebutuhan tiap manusia.

    Keputusan-keputusan yang punya kecenderungan absurd selalu melupakan identitas kewilayahan semula.

    Demikian di Lampung, banyak daerah-daerah yang pada awalnya efektif menjalankan fungsi ekologis secara alami dirusak dengan masif untuk kebutuhan pengembangan perumahan.

    Merujuk Pasal 41 ayat 2, Perda Kota Bandarlampung Nomor 10 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) secara tegas menyebut empat wilayah kecamatan yang masuk dalam area resapan air (catchment area) yang tidak diperkenankan untuk dilakukan pembangunan apapun apalagi komersil.

    Keempat kawasan resapan air itu, meliputi; Kecamatan Sukabumi, Kemiling, Tanjungkarang Barat dan Telukbetung Timur dengan total luas keseluruhan 4 ribu hektar.

    Faktanya, daerah-daerah tangkapan air itu sudah berubah menjadi kawasan perkumiman, yang paling terlihat tentu saja Kecamatan Sukabumi dan Kemiling.

    Di kedua wilayah ini, permukiman baik subsidi maupun mewah, tumbuh subur, menggerus bukit dan menimbun rawa.

    Begitu juga di Sukadanaham, selain menjadi kawasan tangkapan air, kawasan kaki Gunung Betung ini juga pemasok air bersih bagi warga kota, tapi fakta menunjukkan sebaliknya, fungsi ekologis makin tergerus oleh pertumbuhan penduduk yang membutuhkan tempat tinggal.

    Sehingga, menurut Direktur Eksekutif Walhi Lampung Irfan Tri Musri, amat wajar jika kemudian banjir menjadi bagian dari masyarakat.

    Pemerintah sudah gagal memahami konsep sebuah hunian yang layak untuk manusia.

    Tapi, demi program 3 juta rumah, semua dinafikan, bukan hanya manusianya tapi juga lingkungannya (.)