Tag: Rumah Sakit Abdul Moeloek


  • Siang itu, di bawah panas terik matahari pukul dua belas siang, arus lalu lintas di lampu merah depan Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek terlihat berbeda. Biasanya ramai lancar, kali ini tersendat, bahkan macet.

    Di tepi Jalan Teuku Umar ternyata tergeletak sesosok perempuan sekitar usia 50-an. Wajahnya menempel di aspal pinggir jalan. Rupanya terjadi kecelakaan. Saya tak tahu pasti bagaimana awal muasal kejadiannya.

    Para pengendara semakin memperlambat laju kendaraan. Beberapa berhenti hingga menyebabkan kemacetan, suara klakson kendaraan saling bersahutan. Wajah-wajah penasaran hanya menatap tubuh perempuan paruh baya itu dari jarak beberapa meter. Ibu ini mengenakan jilbab. Kepalanya menempel di aspal, dari pelipisnya mengalir cairan merah segar.

    Tak jelas sudah berapa lama ia terbaring di sana. Saya yang kebetulan melintas langsung menepikan motor tak jauh dari lokasi. Ada dorongan yang sulit dijelaskan, campuran panik dan iba.

    Di dalam hati, saya ingin sekali menolong ibu itu. Dalam batin saya, mungkin beliau tadi jatuh di tengah jalan raya, lalu seseorang memindahkannya ke pinggir agar tak tertabrak kendaraan lain.

    Di saat semua orang hanya berani melihat hingga menyebabkan kemacetan, saya berbicara di depan mereka yang hanya bisa menonton.

    “Kenapa pada diem, bantu dudukin ibu ini biar sadar,” ucap saya.

    “Saya takut Mas,” jawab salah satu pengendara yang duduk di motornya.

    Entah takut menyentuh, takut disalahkan, atau takut jadi bagian dari masalah. Tapi justru di situlah masalahnya.

    Karena tak ada yang menggubris, saya berinisiatif mengangkat ibu ini sendirian. Namun karena tak sanggup, perlahan satu per satu mulai ikut membantu.

    Saya tak memperhatikan lagi siapa saja. Ternyata ojek online dan pengendara wanita pun berusaha menolong. Setelah diangkat dan disandarkan ke dinding jembatan lampu merah, rupanya kacamata ibu ini pecah, dan pelipis matanya mengeluarkan darah.

    Ajaibnya, tak berselang lama, ibu ini siuman. Mata yang sejak tadi terpejam kini mulai terbuka, menatap orang-orang yang berkerumun di depannya dengan tatapan heran.

    Setelah sadar, ibu ini tampak linglung. Ia bertanya di mana dirinya, dan mengapa ada banyak orang mengelilinginya.

    “Alhamdulillah ibu ini sadar,” ucap salah satu perempuan yang menolong.

    Percakapan yang tak nyambung pun terjadi. Ibu ini masih bingung, sementara mereka yang menolong berusaha menjelaskan bahwa ia baru saja mengalami kecelakaan.

    Salah satu dari mereka berusaha mencari ponsel milik ibu ini dari dalam tas, agar bisa segera menghubungi keluarganya.

    Ternyata ponsel itu terkunci. Saat ditanya password, ibu ini masih linglung, jawabannya tak jelas.

    “Ibu, password handphonenya berapa?” tanya seorang perempuan berpenampilan seperti mahasiswi, sambil menekan angka-angka. Tapi tetap salah, berulang kali.

    Saya pun mencoba membukanya. Tapi tetap gagal. Entah sudah berpindah tangan ke berapa, ponsel itu belum juga terbuka.

    Kami akhirnya sepakat memindahkan ibu ini ke tempat yang lebih aman. Untungnya, tak jauh dari lokasi, ada rumah warga yang mengetahui kejadian ini. Dengan kekuatan empat orang laki-laki, kami mengangkat tubuh ibu ini yang lunglai, lalu membawanya ke rumah tersebut.

    “Tadi denger suara keras, ternyata kecelakaan,” ujar anak pemilik rumah, yang masih mengenakan seragam sekolah, setelah mempersilakan ibu ini duduk di teras rumahnya.

    Saat situasi mulai tenang, saya kembali mencoba membuka ponselnya. Dalam hati saya, password ibu-ibu biasanya sederhana. Saya coba tekan angka nol enam kali. Dan ternyata terbuka.

    Sontak mereka yang melihat saya berhasil membuka ponsel itu bersorak gembira.

    “Eh, kebuka. Alhamdulillah,” ucap perempuan yang langsung saya serahkan ponsel tersebut untuk menghubungi keluarganya.

    Namun masalah belum selesai. Ponsel itu ternyata tidak memiliki kuota. Anak pemilik rumah pun sigap memberikan password WiFi agar bisa digunakan untuk menelepon.

    Perempuan yang tadi memegang ponsel berhasil menemukan kontak suaminya. Saya perhatikan, perlahan ingatan ibu ini mulai pulih. Dari percakapan yang terdengar, suaminya sedang berada di luar kota dan secepatnya akan menghubungi anaknya.

    Dari saat saya menepikan motor, hingga ibu ini sadar kembali, saya perkirakan semua berlangsung begitu cepat, mungkin 5–10 menit.

    Saya sempat mengecek kondisi motor milik ibu ini. Keadaannya baik-baik saja. Untung ada satpam salon kecantikan di dekat lokasi yang ikut mengamankan motor dan kuncinya.

    Setelah melihat situasi terkendali, saya pamit kepada dua perempuan berseragam hitam yang masih menemani ibu ini.

    “Saya izin dulu ya. Kalau anaknya sudah datang, suruh cepat periksa ke dokter,” pesan saya.

    Saya pun melanjutkan perjalanan. Dalam hati, muncul pertanyaan, kenapa saya berinisiatif menolong ibu ini? Bagaimana jika beliau ternyata meninggal di tempat?

    Saya sadar, bukan wewenang saya, sebagai pengendara biasa menyentuh korban kecelakaan lalulintas. Ada risiko saat mengangkat tubuh yang tak sadarkan diri. Seharusnya menunggu polisi atau ambulans. Tapi kalau menunggu terlalu lama, bagaimana jika ibu ini keburu lewat?

    Alhamdulillah, saat itu ibu ini sadar kembali. Dan keluarganya pun berhasil dihubungi. Saya merasa, ini soal hati yang berbicara. Ada semacam firasat bahwa ibu ini belum meninggal.

    Kejadian ini terjadi pada tahun 2024 silam. Dan hari itu, saya bukan seorang jurnalis, saya hanya warga biasa yang kebetulan melintas. Tak ada liputan, tak ada catatan. Hanya ada satu di kepala saya, yaitu menolong sebisa mungkin.

    Ternyata sudah satu tahun lalu kejadian ini baru saya kisahkan kedalam tulisan. Bahkan saya tidak tahu siapa nama ibu itu. Siapa nama-nama mereka yang ikut membantu. Semua terjadi begitu cepat.

    Jika suatu hari tulisan ini dibaca oleh ibu dan anaknya maupun suaminya, atau para pengendara baik hati yang ikut membantu hari itu, saya percaya Allah SWT telah menakdirkan kita bertemu bukan secara kebetulan, tapi bagian dari rencananya.

    Semoga suatu saat jika kejadian serupa menimpa diri kita, keluarga kita, atau orang-orang terdekat kita, akan selalu ada tangan-tangan yang sigap menolong tanpa pamrih, tulus, ikhlas menolong sesama. Wassalam. (*)

    (Abdul Rosid: Jurnalis)