Tag: psn

  • kota baru

    Sempat menggeliat semasa Pj Gubernur Samsudin dan diusulkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), tapi kemudian tenggelam setelah efisiensi.

    (Lontar.co): Sudah tiga hari ini, Ngatiman panen pakan kambingnya di komplek Kantor Gubernur Lampung di Kota Baru. Padahal, jarak rumahnya di Sukabumi terbilang jauh untuk ke Kota Baru, tapi Ngatiman rela menempuh dengan motor tuanya.

    Padahal pula, biasanya ada petugas Pol-PP yang kerap mondar mandir mengawasi dan melarang siapapun mengambil rumput di area Kota Baru. Tapi, beberapa hari ini terbilang ‘aman’, sehingga Ngatiman dan beberapa pencari rumput lainnya bisa leluasa.

    Sehari ia bisa empat kali bolak balik ke kawasan Kota Baru untuk mencari rumput, jok motornya selalu penuh dengan tumpukan karung-karung rumput,“di sini rumputnya bagus-bagus, sayang kalau ndak diambilin,” kata Ngatiman.

    Selain jadi tempat mencari rumput, area Kota Baru juga sering ‘semarak’ dengan kehadiran muda mudi yang selalu ramai di sore hari.

    Sudah 131 hari lebih, Rahmat Mirzani Djauzal dilantik sebagai Gubernur Lampung, arah kebijakan tentang kelanjutan Kota Baru masih dipasrahkan ke pemerintah pusat untuk ditawarkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diusulkan oleh Pj Gubernur Samsudin sebelumnya.

    Perkembangannya masih bias, bahkan amat mungkin mengambang apalagi di tengah efisiensi pemerintah seperti sekarang.

    Sekarang, fokusnya juga makin berganti, bukan kelanjutan Kota Baru tapi wacana membangun Sekolah Rakyat di lokasi Kota Baru.

    Sebelumnya, Gubernur Mirza juga mengakui Kota Baru memang sedang diusulkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), tapi disisi lain ia juga menyebut sejumlah instansi vertikal juga akan mulai dibangun.

    Faktanya saat ini, kebanyakan PSN memang ditunda, pemerintahan Prabowo cenderung mengedepankan program nyata seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga lumbung pangan (food estate).

    Sedangkan program-program yang bersifat proyek bukan prioritas di pemerintahan Prabowo, lihat saja proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang tak jelas hingga saat ini.

    Apalagi, Prabowo juga lebih mengedepankan program yang punya skala prioritas di tengah gencarnya efisiensi yang ia dengungkan, tentu ia tak ingin proyek-proyek yang tak punya nilai manfaat akan menambah beban anggaran negara. Jikapun dilanjutkan, tentu akan sangat mungkin disesuaikan dengan postur anggaran yang sudah ada, dan itu berarti prosesnya bakal tetap saja panjang.

    Jika begitu, alamat Kota Baru bakal jadi proyek mangkrak baru bakal menambah deretan proyek-proyek terbengkalai yang ada di Lampung, salah satunya adalah Kawasan Industri Maritim (KIM) di Tanggamus yang hilang entah kemana.

    Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda juga membenarkan bahwa prioritas Prabowo memang lebih ke program nyata yang menyentuh langsung ke masyarakat.

    Nailul mengungkapkan, program prioritas Prabowo lebih terkait dengan makan siang gratis dan pembangunan pertanian pangan. Dan, program lumbung pangan (food estate) kemungkinan bakal dituntaskan.

    Selain itu, anggaran yang sangat terbatas membuat celah fiskal semakin sempit, yang membuat pemerintahan Prabowo sulit menyelesaikan PSN yang sudah mangkrak, apalagi yang baru diusulkan seperti Kota Baru.

    Sejauh ini, berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) , melaporkan adanya 43 PSN mangkrak, itu belum termasuk dengan usulan Kota Baru.

    Dengan upaya usulan Kota Baru sebagai PSN, jelas Pemprov Lampung akan bersikap pasif dan menunggu keputusan pemerintah pusat yang semakin membuat wajah Kota Baru makin tak terlihat.

    Di saat ketidakjelasan status kelanjutan Kota Baru, Pemerintah Provinsi Lampung juga sibuk membagi-bagikan aset Kota Baru kepada sejumlah ormas keagamaan hingga universitas, sementara komitmen pemerintah daerah untuk melanjutkan Kota Baru masih belum jelas.

    Kondisi makin semrawut ketika silang sengketa soal pencabutan hibah lahan untuk PWNU di Kota Baru.

    Sebelumnya, di era Gubernur Ridho, NU memperoleh hibah lahan seluas 8 hektar di Kota Baru, namun ketika kepemimpinan beralih ke Arinal Djunaidi, hibah tersebut kemudian dicabut. Namun kemudian, di masa Gubernur Mirza, hibah tanah yang semula dicabut itu kemudian diberikan kembali ke PWNU, luasnya juga bertambah, dari yang semula 8 hektar menjadi 9 hektar.

    Belakangan, muncul lagi soal selisih luas areal Kota Baru yang mengarah ke manipulasi data, pasalnya ada selisih hingga 272 hektar lahan di Kota Baru yang hilang.

    Selisih luas areal itu yang kemudian diungkap Ketua Lembaga Pemantau Pembangunan Lampung (LPPL) M. Alzier Dianis Thabranie, yang menyebut Perda Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pembangunan Kota Baru di era Gubernur Sjahroedin ZP adalah seluas 1.580 hektar.

    Lahan hasil tukar dengan Areal penggunaan Lahan (APL) yang ada di Pagardewa, Tulangbawang Barat itu kemudian di era Gubernur Ridho Ficardo menyusut menjadi hanya 1.308 hektar.

    Padahal, dalam data Kartu Inventaris Barang (KIB) Pemprov Lampung Tahun 2022, Kota Baru juga disebutkan memiliki luas 1.580 hektar. Tapi pada review masterplan Kota Baru tahun 2020, luasnya hanya 1.308 hektar.

    “Dari data yang sama-sama dikeluarkan Pemprov ada selisih 272 hektar lahan yang diduga hilang. Ini harus dijelaskan mana yang benar,” kata Alzier kala itu.

    Adalah Pj Gubernur Samsudin di penghujung alih kepemimpinan yang kemudian gencar menghembuskan kelanjutan Kota Baru.

    Saat itu, ia menginginkan adanya pusat pertumbuhan baru bagi Provinsi Lampung, karena Kota Bandarlampung apalagi wilayah Telukbetung yang dianggap sudah terlalu sesak.

    “Kota Baru dirancang sebagai pusat pertumbuhan yang akan memberi dampak untuk perekonomian daerah,” kata Samsudin kala itu.

    Dengan konsep infrastruktur yang modern, fasilitas publik yang memadai hingga desain tata ruang yang terencana, Samsudin berambisi menjadikan Kota Baru sebagai sentra aktivitas ekonomi hijau.

    Jika melihat rancangan kawasan Kota Baru, terdapat pembagian cluster, yang dikelompokkan dalam beberapa kawasan, yaitu kawasan pusat pemerintahan dengan luas 434,73 hektare, pusat kota seluas 155,11 hektare, dan koridor pendidikan seluas 200,5 hektare.

    Kemudian, perumahan seluas 263,17 hektare dengan asumsi luas minimal untuk perumahan seluas 123,17 hektare yang berisi 8.000 kepala keluarga dengan luas rumah per kepala keluarga 120 meter persegi.

    Kemudian area pusat kota baru seluas 125,61 hektare yang merupakan area komersial yang menggabungkan konsep hunian dengan perdagangan.

    Selanjutnya, taman hutan seluas 128,88 hektare yang merupakan area cadangan ruang hijau dan hutan kota yang diperuntukkan untuk kegiatan bumi perkemahan serta area konservasi.

    Tapi sebagai penjabat gubernur, Samsudin memang tak bertahan lama, tapi ia tak serta merta meninggalkan Kota Baru, ia kemudian menggandeng Mirza, gubernur terpilih waktu itu untuk mengusulkan Kota Baru sebagai proyek strategis nasional, dengan harapan pemerintah pusat mau mengguyur Kota Baru dengan anggaran.

    Kenyataannya, setelah Presiden Prabowo dilantik, prioritas utama yang dilakukan Prabowo bukanlah proyek-sentris tapi program-sentris. Apalagi, ada begitu banyak proyek strategis yang mangkrak, dan semuanya membutuhkan biaya yang besar, sementara Prabowo sedang gencar melakukan efisiensi.

    Sebenarnya, jika merujuk pada kepadatan Kota Bandarlampung, idealnya Pemerintah Provinsi Lampung memang sudah harus segera mengambil langkah untuk memindahkan pusat pemerintahannya ke Kota Baru.

    Saat ini, pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Bandarlampung sudah semakin tinggi, pada 2024 lalu, jumlah penduduk Kota Bandarlampung sudah mencapai 1.073.451 jiwa.

    Dengan luas wilayah 197, 22 kilometer, itu berarti tingkat kepadatan penduduk rata-rata per kilometer adalah 5.442,5 jiwa per kilometer. Angka kepadatan penduduk di Bandarlampung ini bahkan paling tinggi di Pulau Sumatera.

    Pengalihan pusat pemerintahan dari Telukbetung ke Kota Baru, pemerintah kota juga bisa mulai melakukan penataan kota dan memanfaatkan ruang-ruang kota yang memadai untuk berbagai macam fokus.

    Salah satunya dengan investasi berbasis ramah lingkungan, sehingga bisa menunjang kinerja perekonomian Lampung secara umum.

    Jika pengalihan pusat pemerintahan dilakukan, penataan kota yang ramah terhadap investasi juga bisa memicu kontribusi terhadap pendapatan daerah baru sekaligus mendorong kesejahteraan masyarakat melalui daya serap angkatan kerja.

    Nilai jualnya, tentu saja keberadaan Jalan Tol Trans Sumatera yang bisa menjadi nilai tambah untuk investor melirik Kota Bandarlampung sebagai tempat menanamkan modal.

    Apalagi, pertumbuhan ekonomi Lampung juga terbilang positif, berkisar 4-5 persen per tahun, sehingga kemampuan untuk bisa lebih tumbuh masih terbuka lebar.

    Sebaliknya, jika Kota Baru dibiarkan timbul tenggelam, dan selalu terombang-ambing tiap kali kepemimpinan berganti, maka bom waktu ledakan penduduk di Kota Bandarlampung yang sudah semakin sesak dan padat hanya tinggal menunggu waktu saja.

    Sementara Kota Baru tetap dibiarkan mangkrak, maka amat wajar dan jangan salahkan warga jika kemudian banyak penggarap yang bercocok tanam di areal itu, karena lahan subur tapi dibiarkan tidur panjang.