Tag: pilkada


  • Bukan pantai atau kopinya yang legendaris, Lampung adalah tentang jalan yang rusak. Ekonomi biaya tinggi, kecelakaan lalu lintas karena jalan yang rusak, sampai eksploitasi musiman tiap lima tahunan. Setiap hari ada berita tentang jalan rusak, tiap hari pula ada yang mengeluh lubang-lubang jalanan yang mengancam. Tapi, bisa gak sih kita menggugat pemerintah karena banyaknya jalan yang rusak di Lampung ini?

    (Lontar.co): Ruas jalan di Lampung punya panjang hingga 19.463,63 kilometer, yang dibagi dalam dua kategori; jalan provinsi 1.695, 48 kilometer, selebihnya adalah jalan kabupaten/kota sepanjang 17.774,15 kilometer. 

    Berdasarkan laporan Pemprov Lampung tahun 2024, sepanjang 7.580 kilometer jalan kabupaten/kota atau sekitar 42,65 persen mengalami rusak berat. Sedangkan, jalan provinsi yang mengalami rusak berat adalah sebanyak 21,53 persen atau 365 kilometer. 

    Itu angka laporan versi pemerintah. Bisa jadi, angka kerusakan jalan yang sebenarnya bisa lebih panjang dari laporan itu, karena hampir setiap hari kondisi jalan terus menyusut karena beban tonase hingga kualitasnya yang kurang baik. 

    Ekses dari jalan rusak itu, meluas kemana-mana, pariwisata, kriminalitas hingga perekonomian (high cost economy). Bagaimana mungkin jalan yang rusak parah bisa menopang hasil pertanian. Bagaimana pula, jalan rusak bisa mendongkrak angka kunjungan wisatawan, karena jalan adalah infrastuktur vital yang menunjang semua sektor, seperti urat nadi. 

    Jalan Rusak adalah Mesin Pembunuh 

    Jalan yang rusak juga menjadi mesin pembunuh nomor satu. Berdasarkan data global Polda Lampung, sepanjang 2024 lalu, angka kecelakaan lalu lintas menyebabkan 653 orang meninggal di Lampung, 985 luka berat dan 1.568 luka ringan. 

    Meski tak rinci, berapa angka kecelakaan lalu lintas akibat jalan rusak sepanjang tahun 2024, namun jalan rusak menjadi salah satu faktor dominan penyebab terjadinya kecelakaan bersama dengan faktor lain seperti; human eror, muatan berlebih, kurang penerangan dan minimnya rambu lalu lintas. 

    Jalan Rusak = Pungli 

    Selain jadi mesin pembunuh, jalan rusak juga menjadi pemicu tingginya biaya ekonomi yang tinggi terhadap distribusi berbagai kebutuhan. 

    Komplotan pemalak leluasa memeras sopir dengan memanfaatkan tiap ruas jalan yang rusak yang ada di seluruh wilayah Lampung. 

    Kapolda Lampung, Irjen Helmy Santika pernah menyebut biaya pungutan liar yang harus dikeluarkan satu orang sopir truk saat melintas di Lampung, mulai dari Rp500 ribu-Rp1 juta per truk. 

    Pungutan berkedok keamanan dengan embel-embel akamsi, ormas hingga preman ini, jelas berdampak pada distribusi, harga, termasuk citra Lampung yang makin buruk. 

    Seksinya Isu Jalan Rusak  

    Tapi, bukannya diperbaiki, jalan rusak selalu saja jadi isu seksi lima tahunan para politisi. Janji-janji perbaikan ruas jalan, adalah janji surga yang membuai mimpi-mimpi warga, tapi setelah mendulang suara, semuanya menguap. 

    Pun dengan para wakil rakyat yang selalu ‘rajin’ menyambangi jalan rusak di dapilnya, tapi tak pernah sekalipun mampu menekan pemerintah untuk segera memperbaikinya. 

    Ombudsman RI Perwakilan Lampung setidaknya selalu menerima laporan jalan rusak. Tahun 2023 lalu saja, dari total 64 laporan yang masuk ke Ombudsman Lampung, 40 diantaranya adalah tentang pengaduan soal jalan rusak.  

    Jalan rusak, menurut Ketua Ombudsman Lampung, Nur Rakhman Yusuf, perlu komitmen dari pemimpin,”butuh keseriusan,” ujar Nur Rakhman Yusuf. 

    Apalagi, lanjutnya, PAD Lampung memang terbatas,”pemerintah harus kreatif untuk melakukan perbaikan jalan ini, termasuk tak bisa hanya mengandalkan anggaran pemerintah semata. Bisa juga melibatkan pihak swasta”. 

    Jalan Rusak dan Ruang Fiskal yang Terbatas 

    Terbatasnya ruang fiskal ini juga selalu jadi alasan pemerintah untuk menjolok tambahan anggaran dari pemerintah pusat, tapi setelah terealisasi, perbaikan jalan tak pernah benar-benar baik kualitasnya, jalan mulus hanya bertahan tak lebih dari tiga bulan. 

    Bulan lalu, dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi II DPR RI dan Mendagri, Gubernur Mirza menyebut perbaikan infrastruktur di Lampung terganjal oleh anggaran yang terbatas. 

    Ia menyebut, total APBD Kabupaten/Kota di Lampung hanya Rp32 triliun, tapi PAD yang didapat hanya 6 persen, sedangkan PAD Pemprov Lampung tahun 2024 hanya terealisasi Rp8,3 triliun atau hanya 59 persen. 

    Soal PAD ini pula, Mirza juga menyorot, beberapa kabupaten/kota yang hanya meraup PAD kurang dari 10 persen, bahkan ada yang hanya 3 persen. 

    Tak hanya itu saja, postur APBD di kabupaten/kota juga tak memungkinkan untuk mengalokasikan anggaran yang banyak untuk perbaikan jalan. 

    Banyak anggaran tersedot untuk belanja pegawai. Pascaadanya kewajiban mandatori pula, beban belanja pegawai bahkan melonjak hingga lebih dari 80 persen,”bahkan ada daerah di Lampung yang belanja pegawainya hingga 105 persen. Jangankan untuk belanja lain, seperti perbaikan infrastruktur, untuk belanja pegawainya saja masih minus,” tutur Mirza di RDP itu. 

    Sebagai contoh, ada salah satu kabupaten di Lampung yang tahun 2025 ini, hanya menganggarkan Rp30 miliar untuk perbaikan sekaligus pembangunan jalan, karena hanya itu saja anggaran yang tersisa, dari anggaran yang kecil itu, maka jangan terlalu berharap soal kualitas jalan yang diperbaiki. 

    Padahal, biaya perbaikan jalan perkilometer rata-rata membutuhkan paling sedikit anggaran Rp70 juta. Angka yang muncul akan lebih besar lagi, jika mengkalkulasikan kebutuhan anggaran untuk membangun jalan baru yang bisa tembus Rp10 miliar per kilometer. 

    Perbaikan Jalan Rusak dan Anjloknya Suara di Pilkada 

    Yang lebih miris, di hampir sejumlah wilayah di Lampung, ada fenomena yang nyaris menjadi kelaziman, ketika bupati atau walikota terpilih hasil pilkada cenderung mengutamakan perbaikan jalan berdasarkan hasil suara yang ia peroleh di tiap daerah. 

    Di Lampung Selatan misalnya, beberapa waktu lalu sejumlah daerah tak pernah merasakan perbaikan jalan, hanya karena beda pilihan di pilkada pada periode sebelumnya. 

    Ini juga terjadi dibeberapa kabupaten/kota lain, seperti Bandar Lampung, Pesawaran hingga Lampung Timur. Hanya karena perolehan suara bupati terpilih tak signifikan di salah satu daerah, maka sudah bisa dipastikan daerah itu tak bakal menikmati akses jalan yang mulus, selamanya, sampai periode kepemimpinan selesai. 

    Lain halnya jika daerah yang jalannya rusak itu, mayoritas suaranya mengalir ke calon terpilih, maka sudah hampir dipastikan, infrastruktur jalan di daerah itu akan jadi prioritas. 

    Bisakah Warga Menggugat Jalan Rusak ke Pemerintah? 

    Pada prinsipnya upaya warga untuk menggugat pemerintah soal jalan rusak sudah seringkali dilakukan bahkan sejak puluhan tahun lalu. 

    Tahun 2013 misalnya, 14 warga Kota Bandung menggugat Walikota hingga Ketua DPRD Kota Bandung melalui citizen law suit. 

    Mereka menggugat karena jalan rusak di Kota Bandung tak kunjung diperbaiki. Mereka menilai, pemerintah lalai menjalankan fungsi pelayanan publiknya. 

    Hal yang sama juga dilakukan warga di Kota Bekasi tahun 2015, kemudian warga Kabupaten Bogor juga melakukan gugatan yang sama di tahun 2016. 

    Bahkan, pada tahun 2022 lalu, seorang warga dengan berani menggugat UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Mahkamah Konstitusi karena biasnya tanggung jawab bila terjadi kecelakaan akibat jalan rusak. 

    Banyak korban luka ringan hingga tewas akibat jalan rusak, tapi tak ada satupun pihak yang bertanggung jawab. 

    Padahal dalam Pasal 273 UU LLAJ Nomor 22 Tahun 2009 secara tegas menyebut penyelenggara jalan yang tidak segera memperbaiki jalan yang rusak sehingga mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban maka dipidana penjara paling lama 6 bulan atau denda maksimal Rp12 juta. 

    Dalam UU LLAJ Nomor 22 Tahun 2009, kewenangan penyelenggaraan jalan meliputi pengaturan, pembinaan hingga pembangunan sesuai kebijakan nasional meliputi jalan nasional, provinsi, kabupaten, kota dan jalan desa. 

    Jika pemerintah lalai dalam menjalankan kewenangannya ini, maka mengacu pada kewajiban  pada Pasal 24 UU LLAJ, konsekuensinya adalah; penyelenggara wajib segera memperbaiki jalan yang rusak yang bisa mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. 

    Sedangkan pada Pasal 273 ayat (1) UU LLAJ, jika pemerintah sebagai penyelenggara jalan tak segera memperbaiki jalan yang rusak sehingga menimbulkan korban jiwa, baik luka ringan, maka dapat dipidana 6 bulan penjara atau denda Rp12 juta. 

    Dan, jika kerusakan jalan mengakibatkan luka berat, maka dapat dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda Rp24 juta. Sedangkan jika, mengakibatkan korban meninggal dunia maka dapat dipidana paling lama 5 tahun penjara atau denda Rp120 juta. 

    Oleh karena itu, pemerintah sebagai pemilik kewenangan wajib melindungi keselamatan masyarakat dengan memperbaiki jalan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dan jika, pemerintah lalai melakukan perbaikan jalan yang berpotensi menimbulkan kecelakaan lalu lintas maka tindakan ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. 

    Acuannya adalah, Pasal 1365 KUH Perdata, yakni; Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. 

    Dengan kuatnya perlindungan terhadap pengguna jalan yang memiliki hak untuk menikmati jalan yang mulus dari pemerintah sebagai pelayan masyarakat, maka menggugat pemerintah untuk memperbaiki jalan rusak di Lampung bukanlah hal yang mustahil. 

    Jalan adalah ruang hidup, yang menghidupi dan harus dihidupkan.