Menurut data BPS tahun 2024, terdapat 399.921 kasus perceraian di Indonesia. Penyebabnya antara lain pertengkaran terus menerus, masalah ekonomi, salah satu pihak meninggalkan pasangan, kekerasan dalam rumah tangga, judi, zina, dan poligami.
Perselisihan dan pertengkaran terus-menerus merupakan alasan terbanyak, dengan jumlah 251.152 atau sekitar 63 persen dari keseluruhan kasus.Pertengkaran bukan hanya mengarah pada kekerasan fisik semata, melainkan juga bisa berarti terganggunya emosi dan psikologis dalam rumah tangga.
Dalam hubungan sosial, apalagi pasangan suami istri, perselisihan dan perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar. Isi kepala dan pengalaman manusia tak ada yang seratus persen sama, sehingga dalam memecahkan suatu masalah pun memiliki cara pandang dan penyelesaian berbeda-beda.
Suami terbiasa tidur dengan lampu dimatikan, istri lebih suka dengan cahaya terang. Jalan keluarnya adalah mengondisikan kamar dalam suasana remang. Selain karena win-win solution, tidur dengan cahaya terang dapat terdeteksi oleh mata sehingga bisa mengganggu jam biologis tubuh dan menekan sekresimelatonin.
Istri terbiasa rapi, suami sering seenaknya saja. Meletakkan handuk basah di atas kasur, alas kopi dijadikan asbak, sampai pulang terlambat tak pernah berkabar. Tampaknya, itu kejadian sederhana dan bukan masalah penting. Namun, hal demikian bisa menjadi bom waktu yang tiba-tiba meledak tanpa pemberitahuan.
Beberapa alasan mengapa itu bisa terjadi. Pertama, perbedaan cara pandang. Yang satu menganggap penting, yang satu tidak. Bagi suami, membuang abu rokok di tatakan kopi toh biasa saja. Tinggal buang ke keranjang sampah jika penuh. Atau merokok tak mengapa asal di luar rumah dan asapnya tak masuk ke dalam. Sementara istri kekeh itu tak boleh karena selain merusak kesehatan, ada kekhawatiran akan menjadi pemandangan yang biasa dan dicontoh oleh anak lalu diwariskan ke generasi berikutnya.
Kedua, bicara, tapi tak didengar. Suami ingin istri di rumah saja, istri hobi bepergian ke sana sini. Suami berharap mendapat sapa hangat setiap pulang kerja, istri masih sibuk nonton drama dua ratus episode. Suami protes, tapi istri tak mendengar. Istri merajuk, tapi suami cuek saja.
Hasil dari dua penyebab ini adalah pertengkaran dan perselisihan yang berkelanjutan sehingga mengakibatkan ketidakharmonisan hubungan dan bisa berakhir pada perceraian. Perceraian yang didahului sikap saling diam, tak peduli, dan ya sudah-sudahlah. Fenomena ini sering disebut silent treatment.
Mulanya, silent treatment merupakan sebentuk alternatif hukuman fisik bagi narapidana di Inggris pada tahun 1835. Dalam masa kekinian, sekira 1987-an, istilah ini juga dikaji oleh Buss dan Gomes sebagai salah satu bentuk taktik manipulasi dalam hubungan interpersonal untuk menghentikan perilaku tidak menyenangkan pada orang lain.
Silent treatment terjadi akibat ketidakmampuan mengelola emosi, trauma masa lalu, dan adanya kebiasaan menghindari konflik. Dengan alasan tidak ingin ribut dan memicu perselisihan, seseorang memilih lebih baik diam dengan asumsi toh yang diributkan tidak terlalu penting atau akan reda dengan sendirinya. Dampak negatif dari perilaku ini adalah tumbuhnya sikap rendah diri, merasa tak dihargai dandi cintai, lelah, kecewa, dan yang paling dasar adalah perasaan dianggap tak ada dan tak penting untuk diperjuangkan.
Maka, kunci utama mengatasi itu semua adalah komunikasi. Membuka keran percakapan dengan pasangan sejatinya akan membuat segala bentuk emosi bisa mengalir dengan baik walau mungkin sesekali tersendat. Mencoba mengingat-ingat kembali hal apa yang membuat jatuh cinta, mungkin akan memunculkan sisi romantis yang mampet.
Tetapi, tentu saja itu harus dilakukan kedua belah pihak. Jika hanya satu pihak saja, ya, urusan bisa kapiran. Bertepuk sebelah tangan, menapak sendirian, begitu terus tanpa ada jalan ke luar.
Namun, jika segala cara telah ditempuh, semua usaha telah dilakukan, tetap saja tak ada perubahan, maka berusaha mengambil keputusan dengan berbagai pertimbangan sebaiknya segera dilakukan. Tidak ada yang menjamin usia sampai kapan, tapi, seumur hidup itu terlalu lama untuk bertahan dalam diam, pembiaran, dan ketidakpedulian satu sama lain.
Perceraian bukan sesuatu yang haram. Namun, itu juga bukan keputusan yang pasti terbaik dan disukai Allah Swt. Tidak ada yang menjamin setelah perceraian pasti akan mendapatkan kebahagiaan. Itulah yang menjadi alasan mengapa perceraian merupakan pintu darurat, pilihan terakhir dalam sebuah rumah tangga.
Berbagai pertimbangan harus disertakan. Rida Tuhan, kesehatan fisik dan mental diri sendiri maupun anak, itu yang utama. Mengenai pandangan orang lain, kiranya tak perlu dipikirkan serius. Orang lain tak berhak untuk memberi penilaian dan memutuskan mana yang benar dan salah, mana yang bagus dan buruk. Kita adalah penentu keberadaan diri setelah Tuhan Sang Penguasa Semesta. (*)
