Tag: pemkot bandarlampung

  • manusia gerobak

    Disadari atau tidak, kian hari jumlah manusia gerobak di Bandarlampung makin ramai. Ini bukan kebetulan, bisnis eksploitasi ‘iba’ ala manusia gerobak ini, sebenarnya bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi lebih ke gaya hidup. Pemkot Bandarlampung tak punya solusi akhir untuk penanganannya. 

    (Lontar.co): Di balik gerobak kayu, di salah satu sudut parkiran Puskesmas Rawat Inap Way Halim yang jembar,  dua perempuan paruh baya itu, terlihat serius menghitung tumpukan uang kertas di pangkuan mereka masing-masing. Jumlahnya lumayan banyak, nominalnya juga tak ada yang kecil.  

    Sesekali mereka terlihat gelagapan menutupi uang-uang itu dengan karung, dan saling tertawa, saat ada yang melintas di dekatnya. 

    Sementara dua anak kecil yang selalu mereka ‘gendong’ di gerobak dibiarkan bermain pasir. 

    Tak berselang lama, salah satu diantaranya menarik smartphone hitam berkamera boba yang disimpan di dalam tas selempang yang diletakkan di bagian depan gerobak.  

    Ia terlihat sedang menghubungi seseorang, mimik wajahnya sesekali serius, tapi sebentar kemudian tertawa. 

    Perempuan 40-an tahun itu juga seperti tak leluasa memainkan ponsel pintarnya, sesekali matanya awas melirik ke segala arah, sejenak kemudian matanya serius memandangi layar ponsel berkelir putih miliknya. 

    Semakin sore, tiga gerobak lain yang penuh dengan tumpukan kardus dan kipas angin rusak, menyusul. Semuanya perempuan, pakaian mereka terlihat lusuh, tapi wajah mereka lebih banyak cerah. 

    Suara percakapan antarmereka juga kerap terdengar riuh. Ada pula yang santai menyantap nasi kotak. 

    Mendekati Maghrib, satu per satu mereka pulang membawa gerobak, sementara tiga lainnya dijemput dengan sepeda motor matic keluaran terbaru. 

    Entah sejak kapan, halaman parkir Puskesmas Rawat Inap Way Halim itu jadi titik kumpul manusia-manusia gerobak ini, namun yang jelas, pemandangan ini selalu rutin terlihat tiap sore hari. 

    Lokasinya yang teduh oleh pepohonan dan berada tepat di belakang  Masjid Al Muhajirin membuat lahan parkir ini diminati. 

    Tapi, pengelola masjid dan puskesmas kerap jengah dengan tingkah mereka,”sering diingatkan, kalau disini bukan tempat untuk ngemis, tapi bukannya pergi malah ngelawan, akhirnya malah tambah banyak yang nongkrong di parkiran puskesmas ini,” ujar salah seorang warga. 

    Kemarin saja, saat bulan Ramadhan, manusia-manusia gerobak ini tumpah di parkiran ini, sejak siang hari hingga mendekati waktu berbuka. Tak ada satupun dari mereka yang puasa. 

    Mereka hanya sekedar duduk dengan wajah memelas, kemudian menunggu jemaah-jemaah masjid selesai shalat. 

    Di hari-hari biasa, rutinitas itu tetap berlangsung tapi tak terlalu intens, kecuali hari Jum’at, biasanya manusia-manusia gerobak ini akan berkumpul di pintu-pintu keluar Masjid Al Muhajirin. 

    Pemandangan yang kurang lebih sama juga terlihat di depan Masjid Ad-Du’a Jalan Sultan Agung yang bahkan sudah ‘hadir’ jauh sebelum shalat Jum’at digelar. 

    Mereka memenuhi trotoar-trotoar di depan masjid, bahkan ada yang masuk hingga ke dalam komplek masjid dengan beragam mimik yang kebanyakan dibuat murung. 

    Sebenarnya, ‘profesi’ utama manusia-manusia gerobak ini bukanlah pengemis, mereka adalah pemulung yang kemudian bersalin rupa setelah melihat peluang lain dari gerobak yang mereka pakai untuk mengangkut barang-barang bekas ini, efektif menarik empati penduduk kota terhadap hal-hal yang cenderung mengundang simpati. 

    Awalnya, ada sebagian dari manusia gerobak ini berulah dengan memanfaatkan situasi saat mencari barang rongsok di lingkungan perumahan. Banyak peralatan rumah yang sebenarnya masih digunakan justru dicuri oleh mereka, saat pemiliknya lengah. 

    Keadaan ini membuat banyak warga kesal dan menutup akses bagi para pengumpul barang bekas ini. Banyak perumahan-perumahan yang memasang larangan ke tukang-tukang rongsok untuk tak masuk ke dalam komplek. 

    Makin sempitnya ruang gerak mereka, membuat pengumpul rongsok ini merangsek ke daerah kota. 

    Pakaian yang lusuh, kerap membawa anak di dalam gerobak saat bekerja inilah atribut-atribut yang  kemudian memantik empati dari kebanyakan orang. 

    Maka kemudian, mereka mengeksploitasi diri melalui singgungan empati berbalut keyakinan-keyakinan yang dominan, seperti Jum’at berkah hingga hari-hari keagamaan yang kental, untuk mendulang pundi-pundi uang yang tak kecil.  

    Kini mereka melegitimasi dan menjadi penghias wajah kota. Di beberapa ruas jalan arteri di Bandarlampung yang tingkat kepadatannya amat tinggi, pemandangan manusia gerobak menjadi amat lazim kini. 

    Lihat saja, di sepanjang Jalan Raden Intan, yang nadi ibukota bisa dirasakan di jalan ini, manusia gerobak bertebaran, duduk santai di trotoar-trotoar, sembari makan, sembari tidur atau sekedar ‘memancing’ iba pengendara dengan anak-anak mereka yang sengaja dibuat kumuh. 

    Di Bundaran Gajah, realitas serupa juga terlihat. Gerobak-gerobak mereka berjejer tak beraturan seperti hendak menahan laju kendaraan yang melintas untuk sekedar ‘menengok’ keadaan mereka. 

    Mereka-mereka ini, para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), setidaknya terlihat di jalan-jalan protokol Kota Bandarlampung yang ramai, seperti; Jalan Raden Intan, Bundaran Gajah, Jalan R.A Kartini,  dan sebagian Jalan Pangeran Antasari. 

    Jumlahnya tak sedikit. Bahkan jika ditotal, ada hingga 30-an orang. Itu belum termasuk dengan anak-anak yang mereka bawa. Kadang, satu gerobak bisa membawa dua orang anak sekaligus. 

    Soal keadaan, mereka sebenarnya bukan orang yang tergolong tak mampu, beberapa diantara mereka bahkan hidup berlebih.  

    Selain beberapa manusia gerobak yang dijumpai di area parkir Puskesmas Rawat Inap Way Halim, Lontar juga pernah mendapati seorang manusia gerobak yang dijemput oleh anaknya dengan sepeda motor. Ia dibonceng sembari kedua tangannya menarik gerobak di belakang. 

    Karena merasa dibuntuti, perempuan tua dan anak perempuannya ini sempat berusaha kabur dengan masuk ke salah satu gang di Jalan Sultan Agung, Way Halim. 

    Tapi kemudian, diketahui tempat tinggal mereka terbilang mewah untuk ukuran manusia gerobak.  

    Rumah luas berwarna kuning emas dengan bangunan permanen di sudut gang, tak jauh dari rumah pribadi mantan Gubernur Lampung Arinal Djunaidi. 

    Ada pula dua unit motor yang masih relatif baru dan satu sepeda anak-anak, rumah ini bahkan jauh dari kesan sederhana. 

    Manusia gerobak, menurut psikolog Ceria Hermina adalah cermin kelompok masyarakat yang punya kecenderungan melihat hidup secara instan sehingga membuat mereka tak produktif apalagi kreatif. 

    “Mental manusia gerobak itu semuanya instan, mencari uang dengan cara mudah melalui rasa iba,” jelasnya. 

    Sebagai regulator, Ceria melihat pentingnya peran pemerintah yang tak hanya sekedar menertibkan manusia-manusia gerobak ini saja,tapi juga memberi solusi jangka panjang untuk manusia-manusia gerobak ini agar lebih produktif. 

    Masalahnya, Pemkot Bandarlampung memang tak punya solusi akhir untuk menangani penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), kecuali hanya sekedar proses penertiban yang terbatas pada pendataan, satu dua bulan kemudian manusia-manusia gerobak ini kembali mengais iba. 

    Akhirnya, upaya-upaya penertiban manusia gerobak, gepeng, manusia silver dan sejenisnya hanya menjadi rutinitas kerja yang terus berulang setiap kalinya. 

    Sebagai ibukota, Bandarlampung sudah selayaknya memiliki panti sosial yang khusus, bukan hanya untuk membina mereka, tapi juga sebagai efek kejut agar manusia-manusia gerobak ini tak berulah kembali. 

    Sebab, selama ini, panti yang digunakan adalah milik provinsi, sehingga otomatis, baik Dinas Sosial maupun pemkot terkesan melepas proses pembinaan ke panti yang secara struktural tak hanya sekedar menangani penyandang masalah kesejahteraan sosial asal Bandarlampung saja. 

    Faktanya, upaya pembiaran yang dilakukan Pemkot Bandarlampung terhadap anak-anak yang dibiarkan ikut orang tuanya mengemis atau bahkan ikut menjadi pengemis sebagai tindakan yang tak ideal apalagi untuk kota yang meng-klaim sebagai kota layak anak. 

     

     

      

     

     



  • Pelaporan ke Polda Lampung atas dugaan pemalsuan sejumlah dokumen resmi yang merundung Kepala Dinas Pendidikan, Eka Afriana, kiranya sudah menembus segenap dinding perkantoran Pemkot Bandarlampung. Beragam reaksi mengemuka. Kendati tidak diungkapkan secara terbuka.

    (Lontar.co): Kantor Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bandarlampung terlihat lengang, Rabu (4/6/2025). Mestinya tidak selengang ini. Sebelumnya terbetik kabar, biarpun terlihat hening, namun bila ada wartawan yang datang ingin konfirmasi, biasanya akan sigap muncul “wartawan” yang katanya punya hubungan dekat dengan internal Disdik.

    “Orang dekat” ini yang nanti akan “menentukan” apakah si wartawan bisa memperoleh konfirmasi dari pejabat terkait, atau malah diminta putar balik alias ditolak memperoleh informasi.

    Pemandangan seperti yang digambarkan itu kali ini tidak terlihat. Lontar.co dengan leluasa bisa sampai ke depan pintu ruang kepala dinas. Benar, setelah itu baru “terhadang”. Ada meja staf yang meminta tamu mengisi buku tamu. Setelah tahu dari media, SOP berikutnya staf menanyakan tujuan.

    Ketika disampaikan ingin meminta tanggapan Kadisdik atas pelaporan yang dilakukan LSM Trinusa ke Polda Lampung, sempat terdengar gumaman staf, “Oh, soal pelaporan itu, ya.”

    Berikutnya, seperti sedang melafalkan hafalan, staf itu menyampaikan pimpinannya sedang di luar. Raut mukanya mulai berubah ketika ditanyakan apakah ada sekretaris atau humas yang bisa dimintai tanggapan. Dia minta waktu sejenak, lalu menghilang di balik pintu sebuah ruang. Tak berselang lama, dia kembali bersama seseorang.

    Lelaki yang baru muncul itu mengaku staf Bidang Umum bernama Benny. Dia bilang kehumasan memang berada di lingkup bidang kerjanya. Hanya saja atasannya yang berkompeten memberi keterangan juga sedang berada di luar. “Mohon maaf kami belum bisa memberi penjelasan terkait hal yang mau ditanyakan,” ucapnya sebagai pertanda untuk menyudahi perbincangan.

    Hal senada juga ditunjukkan Ali Rozi, Kabag Humas Pemkot, yang dikenal paling aktif mengoreksi bila ada pemberitaan yang dianggap sensitif seputar pemkot terlebih walikota. Saat dihubungi untuk dikonfirmasi terkait respon Pemkot Bandarlampung terhadap pelaporan salah satu kepala dinasnya, dengan nada gugup dia berkelit agar jangan dirinya yang dimintai tanggapan. “Jangan saya lah. Yang lain saja,” ucapnya saat dihubungi melalui ponsel.

    Sementara Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kadiskominfo) Rizki Agung saat disambangi ke kantornya ternyata sedang tidak berada di ruang kerja. “Saya sedang sakit. Nanti saja, ya,” ungkap Rizki melalui sambungan telepon.

    Kondisi nyaris serupa juga ditemui ketika Lontar.co ingin memperoleh penjelasan penilaian pihak Badan Kepegawaian Daerah (BKD) atas dilaporkannya Eka Afriana yang notabene ASN. Menurut staf, Kepala BKD tidak berada di ruang. Sedangkan Sekretaris BKD, Rohadi Yusuf, tidak berkenaan dimintai keterangan. “Ke pimpinan aja,” pintanya seraya bergegas.

    Kondisi banyaknya pejabat terkait yang mengelak saat akan dimintai tanggapan atas perkara ini, juga disampaikan oleh beberapa jurnalis yang kesehariannya melakukan liputan di lingkup Pemkot Bandarlampung. “Pada takut ngomong. Maklum aja ini kan nyangkut kembaran walikota,” ungkap salah satu dari jurnalis yang tidak mau namanya dikutip. (*)


  • pasir gintung

    Kurang dari setahun pascadiresmikan oleh Jokowi, Pasar Pasir Gintung bukannya semakin ramai tapi justru kian sepi. Ekonomi yang lesu jadi kambing hitamnya, padahal perencanaan pembangunan yang kurang memperhatikan banyak aspek membuat puluhan miliar dana pembangunan pasar, jadi terasa mubazir. 

    (Lontar.co): Sejak subuh tadi, Lastri lebih banyak melamun seperti biasa di lapak sayurannya. Untuk mengusir jenuh, sesekali ia menyambangi lapak lain, sekedar mengobrol, terkadang ia bahkan sampai tertidur. 

    Aktivitas seperti ini sudah ia lakukan sejak berbulan-bulan lalu, terhitung sejak ia pindah ke Pasar Pasir Gintung, yang belum lama diresmikan oleh Jokowi tahun 2024 lalu. 

    Sejak pindah ke pasar ini, dagangannya lebih banyak ia bawa pulang ke rumah karena tak laku, ada juga yang terpaksa ia konsumsi sendiri,”kalau nggak gitu, dagangan pada layu, ruginya dobel-dobel jadinya,” ujarnya. 

    Ia tak mengira, nasibnya bakal seapes ini setelah pindah ke Pasar Modern Pasir Gintung,”nggak penting modern pasarnya, sik penting kuwi enek sing tuku. Ini jangankan ada yang beli, laler wae wegah melebu rene,” sungutnya. 

    Ia bahkan membandingkan masa ketika ia masih berjualan di tepian Jalan Imam Bonjol yang menurutnya jauh lebih laris daripada di Pasar Modern Pasir Gintung. 

    “Masih mending dulu, sebelum dagang disini, saya jualan di pinggir jalan sana, sehari bisa bawa pulang Rp300 ribuan, itu sudah termasuk sepi. Lha disini, bukannya tambah rame, malah nggak ada yang beli,” keluhnya. 

    Memang ia hanya dibebankan uang salar dan kebersihan, tapi yang membuatnya tertarik pindah ke Pasar Modern Pasir Gintung ini adalah, janji pemerintah bahwa seluruh pedagang akan direlokasi ke pasar itu, tapi kenyataannya, malah seperti ini. 

    “Sebenarnya saya sudah pingin pindah dari kemarin-kemarin, tapi mau gimana lagi, mau balik ke pinggir jalan, sudah susah cari tempatnya, tapi kalau terus dagang disini malah nggak jelas kayak gini”. 

    Selain Lastri, Sodikin pedagang lainnya bahkan sudah ancang-ancang mau pindah dari pasar itu ke lapak yang sudah ia sewa di tepian Jalan Pisang yang ada di sisi kiri Pasar Pasir Gintung. 

    “Kita dagang ini mau cari untung, bukannya mau rugi. Kalau sepi terus seperti ini, ngapain maksa tetap jualan disini,” katanya kesal. 

    Sebagian besar pedagang yang sudah terlanjur pindah ke Pasar Modern Pasir Gintung juga mengeluhkan hal yang sama. 

    Menurut mereka, modal yang sudah terlalu besar mereka keluarkan setiap harinya tak sebanding dengan penghasilan yang mereka peroleh. 

    “Masak sehari yang beli cuma satu dua orang, ini pasar apa kuburan?,” tutur pedagang lainnya. 

    Bahkan, hari raya Idul Fitri beberapa bulan lalu yang diharapkan bisa membantu menambal kerugian para pedagang, hasilnya juga tak memadai. 

    Pedagang-pedagang ikan yang semula direlokasi ke pasar ini pun ramai-ramai pindah ke lapak semula di sekitar Jalan Pisang. 

    Demikian pula kebanyakan pedagang sayuran dan buah-buahan, yang sempat beberapa bulan menjajal peruntungan di Pasar Modern Pasir Gintung,”sebulan coba dagang disana, terasa benar sepinya, langsung pindah lagi kesini,” kata Siti yang kini kembali berjualan di tepian Jalan Imam Bonjol. 

    “Bayar salar Rp20 ribu sehari, yang beli cuma satu orang itu juga cuma beli ala kadarnya, bukannya untung malah nombok”. 

    Pasar Modern Pasir Gintung dibangun di atas lahan 2.201 meter dengan total luas bangunan mencapai 3.366 meter. 

    Terdapat sebanyak 349 unit kios yang terdiri dari 275 los kering, 55 los basah dan 19 kios kecil. 

    Pasar yang proses pembangunannya memakan waktu selama tujuh bulan, terhitung mulai dari Desember 2023 hingga Juli 2024 itu, menghabiskan anggaran hingga Rp38 miliar lebih, yang pendanaannya bersumber dari APBN. 

    “Ini bukan uang yang kecil,” kata Jokowi saat meresmikan Pasar Modern Pasir Gintung. 

    Sebelumnya, dalam proses relokasi yang berlangsung September 2023 lalu, sebanyak 350 pedagang tak memberi reaksi apapun, karena Pemkot Bandarlampung seolah membuai mereka dengan rencana-rencana yang dianggap bisa membuat pedagang lebih sejahtera. 

    “Apalagi waktu itu katanya pasar ini mau diresmiin Pak Jokowi langsung, terus semua pedagang wajib pindah ke sini, jadi pedagang pada yakin kalau pasar yang bakal dibangun bakal banyak pembelinya, tapi kenyataannya malah seperti ini,” kata Lastri lagi. 

    Kini, sebagian besar pedagang yang sempat direlokasi ke Pasar Smep kemudian pascarevitalisasi dipindahkan ke Pasar Modern Pasir Gintung, justru kembali lagi berjualan di bahu Jalan Imam Bonjol dan Jalan Pisang. 

    pasir gintung
    Sebagian besar pedagang yang sempat berjualan di Pasar Modern Pasir Gintung kembali berjualan di bahu jalan. Foto: Meza Swastika

    Posko pemantauan yang dijanjikan akan dibuat untuk mengantisipasi agar pedagang tak kembali berjualan di bahu jalan pun tak ada sama sekali. 

    Alhasil, ketimpangan pun terjadi. Pedagang yang masih bertahan di Pasar Modern Pasir Gintung tak pernah merasakan kehadiran pembeli, sementara pedagang yang kembali berjualan di bahu jalan lebih diminati oleh pembeli. 

    Di pagi hari, ruas Jalan Imam Bonjol yang dipenuhi oleh pedagang di sisi kanan dan kiri jalan juga menjadi salah satu penyebab kemacetan panjang yang selalu terjadi. 

    Alasan pemerintah yang menyebut situasi perekonomian yang tengah lesu, jelas ditampik oleh Lastri. 

    “Sekarang kalau katanya ekonomi lagi lesu, lah terus itu orang-orang yang datang tiap pagi di pinggir jalan itu mau ngapain? Nongkrong?, kan nggak. Mereka itu pembeli yang memang setiap hari belanja di sana. Jadi, kalau alasan Pasar Modern Pasir Gintung ini sepi karena ekonomi lagi lesu itu nggak masuk akal banget. Sekarang gini lho mas, yang dijual di Pasar Gintung ini kan kebutuhan pokok, lah masak orang nggak ada yang makan, kalaupun ekonomi lagi lesu, yang namanya manusia ya tetep butuh makan tho!”. 

    Pendapat Lastri memang tak sepenuhnya salah, di tengah perekonomian yang tengah mengalami perlambatan seperti saat ini, daya beli memang cenderung menurun. Namun, urusan pangan mutlak menjadi kebutuhan utama, terlepas dari ekonomi yang sedang lesu. 

    Jika merujuk pada data BPS Lampung, terjadi pertumbuhan inflasi di Provinsi Lampung hingga 2,2 persen pada Mei 2025. 

    Naiknya inflasi ini berdasarkan indeks harga konsumen di bulan yang sama pada tahun 2025 dan indeks harga konsumen tahun 2024. 

    Namun, menurut BPS, jika dibandingkan pada bulan April 2025, inflasi di bulan Mei jauh lebih rendah. 

    Kelompok makanan dan minuman menyumbang inflasi tertinggi bulan Mei 2025. Selanjutnya, beras dan emas juga ikut menyumbang inflasi hingga 0,33 persen. 

    Sedangkan jenis komoditas penyumbang deflasi di Lampung, masih di dominasi oleh kelompok sayuran (bawang merah dan tomat) serta telur dan daging ayam. 

    Namun jika diakumulasi secara keseluruhan, Lampung mengalami deflasi sebesar 0,58 persen di Mei 2025 ini. 

    Deflasi yang terjadi di Lampung juga turut andil menyumbang angka deflasi nasional pada bulan Mei 2025 yang mencapai 0,37 persen. 

    Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam keterangan persnya membantah jika deflasi yang terjadi saat ini menjadi pemicu melemahnya daya beli. 

    Sri Mulyani beralasan, deflasi terjadi karena pemerintah mengatur distribusi harga komoditas dan jasa  agar lebih stabil termasuk diskon layanan transportasi,”jadi bukan karena daya beli menurun,” kata Sri Mulyani di Istana Kepresidenan (2/6/2025). 

    Intervensi pemerintah dalam mengatur harga komoditas juga bakal memicu deflasi, apalagi sejumlah harga bahan pokok cenderung fluktuatif. 

    Secara karakter, terjadinya deflasi dan inflasi terhadap sejumlah bahan pokok di Lampung memiliki kesamaan secara indeks nasional. 

    Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini bahkan menyebut inflasi Mei 2025 punya kecenderungan lebih dalam dibanding bulan yang sama tahun 2024. 

    Faktanya, selain ekonomi yang lesu, yang disebut memicu rendahnya daya beli masyarakat hingga berimbas ke sepinya pembeli di Pasar Modern Pasir Gintung, ada hal lain yang selama ini luput menjadi kajian Pemkot Bandarlampung. 

    Dalam hal perencanaan revitalisasi pasar, pemerintah kota cenderung mubazir, lihat saja Pasar Bambu Kuning dan Pasar SMEP. Dua pasar ini sudah direvitalisasi semodern mungkin namun tetap saja tak diminati pedagang, pembeli pun enggan berbelanja disana. 

    Pedagang hanya mampu bertahan hitungan bulan pascarevitalisasi, selebihnya, mereka kembali ke ‘habitat’ semula, berjualan di bahu-bahu jalan. 

    Dan, Pemkot Bandarlampung terus mengulang kesalahan yang sama. Ada kesan, proses revitalisasi pasar dilakukan semaunya saja, dan satu hal yang unik adalah, proses revitalisasi justru dilakukan mendekati tahun-tahun politik, seperti pilkada dan pemilu. 

    Tak hanya itu, Pemkot Bandarlampung juga dianggap gagal membangun citranya sebagai regulator yang idealnya mengawasi proses terhadap apa yang sudah mereka bangun. 

    Dalam kasus Pasar Modern Pasir Gintung yang sepi ini, sebelumnya pemkot melalui Wakil Walikota Bandarlampung, Dedi Amrullah berjanji akan membangun posko pengawasan untuk mengantisipasi pedagang yang kembali berjualan di bahu jalan, kenyataannya posko itu tidak ada sekali, upaya penertiban terhadap pedagang yang bandel pun nihil. Akibatnya, pedagang kembali leluasa berjualan di bahu-bahu jalan. 

    Revitalisasi pasar pada prinsipnya tak melulu tentang membangun gedung baru dan kemudian diberi embel-embel modern, tapi juga harus mampu melibatkan kebutuhan pedagang hingga mampu menarik minat pembeli untuk datang berbelanja di pasar itu. 

    Metode revitalisasi pasar harus diubah mulai dari sekarang, pendekatan holistik hingga kebijakan yang berbasis kebutuhan yang muncul dari pedagang dan pembeli harus mulai jadi pertimbangan utama. Hal ini agar revitalisasi pasar dilakukan berdasarkan kebutuhan instrumen pasar, yakni; pedagang dan pembeli, dan bukan justru dijadikan sebagai prasasti oleh pemimpinnya.