Belasan oknum polisi mendatangi rumah Ketua Rukun Tetangga (RT) 4, Bambang. Mereka mengendarai beberapa mobil dan motor. Diduga, kedatangan mereka atas permintaan seorang oknum polisi yang sebelumnya digerebek warga di sebuah rumah kontrakan seorang mahasiswi.
Berawal ketika beberapa warga mendatangi sebuah rumah kontrakan, Kamis (29/5/2025) pukul 18.50 wib. Kedatangan warga kompleks Gita Green Estate, Kelurahan Labuan Ratu Raya, ini dipicu oleh perbuatan penghuni kontrakan yang kerap memasukkan lelaki berkendara motor trail ke dalam rumah. Bahkan hingga bermalam.
Merasa perbuatan itu sudah berlangsung berbulan-bulan, akhirnya warga berkoordinasi dengan salah seorang penghuni komplek.
“Saya lihat ada motor trail yang biasa datang ke rumah kontrakan itu. Seperti sebelum-sebelumnya, pengendara motor biasanya langsung masuk ke rumah. Terus nggak lama pasti tutup pintu. Kalau pun nggak tutup pintu, mereka di dalam. Malah kami pernah tongkrongin sampai tengah malam, tapi yang laki nggak ke luar juga,” cerita Eka yang pertama kali menyadari hal janggal di rumah kontrakan pada malam itu.
Menurutnya, sebelumnya warga masih bersabar. Tapi rupanya kebiasaan itu terus berlangsung. Mungkin mereka menganggap warga sekitar tidak peduli dengan keadaan lingkungan.
“Karena sudah gerah, akhirnya kami berkoordinasi dengan Bang Hendri,” sambung Eka. Akhirnya disepakati untuk bersama-sama mendatangi rumah kontrakan itu. Cukup lama warga mengetuk pintu. Setelah hampir sepuluh menit menunggu remaja putri yang mengontrak di situ ke luar. Dia mengenakan daster dan dengan keadaan rambut semrawut.
Beberapa warga perempuan yang turut menyaksikan pengggrebekan segera mengingatkan agar remaja itu menyalin pakaiannya dengan yang lebih pantas. Apalagi sesama perempuan, mereka tahu kalau remaja putri ini sedang tidak mengenakan bra.
Sementara warga lain mendapati seorang pemuda ke luar dari kamar. Setelah diketahui mereka bukan pasangan suami istri, warga bermaksud membawa keduanya ke rumah RT. Namun si pria bersikeras bertahan.
“Saya sedikit memaksa membawanya ke rumah RT. Pertimbangannya karena saya tidak mau nanti warga semakin ramai berkumpul, lantas keadaaan tidak terkendali. Kan ada banyak cerita seperti ini yang berakhir para pelaku diarak tanpa busana oleh massa, atau sampai dihakimi,” terang Hendri.
Namun sesampai di rumah RT perkaranya tidak segera tuntas. Karena, baik yang lelaki maupun perempuan, terkesan menghindar saat diminta menghubungi orang tua masing-masing.
Sikap berbelit itu sempat memicu emosi warga yang makin ramai berkumpul. Demikian pula saat diminta menunjukkan KTP. Keduanya terus berkelit dengan berbagai alasan. Hendri meminta warga yang semakin ramai tidak terpancing emosi.
Tapi emosi warga kembali terpercik ketika remaja putri itu tiba-tiba mengatakan bahwa cowoknya adalah anggota polisi. Warga yang merasa dianggap akan takut ketika diberitahu pelaku mesum adalah oknum polisi, sempat ingin bertindak. Namun ditahan. Akhirnya mereka melampiaskan kejengkelan dengan meneriaki si oknum.
“Kami geram, mereka sudah ketangkap basah bertindak mesum, tapi malah berbelit-belit. Sampai akhirnya yang perempuan bilang cowoknya anggota polda. Kami makin kesal kok bisa perilaku anggota seperti itu. Padahal, sejak awal Pak Hendri sudah kasih kesempatan supaya mereka panggil orang tua masing-masing. Jadi biar ada efek jera. Tapi tadi yang lelaki malah seperti nantangin untuk dibawa ke kantor polisi. Rupanya karena dia juga polisi,” kata Anca, warga yang ikut berkumpul di rumah RT.
Dia menambahkan, sikap berkelit pun ditunjukkan remaja putri. Awalnya mengaku mahasiswi semester VI ITERA. Belakangan dia mengaku mahasiswi Unila. “Sampai sekarang kami belum bisa pastikan. Karena keterangannya berubah-ubah,” terang Anca.
Setelah diketahui lelaki tersebut berstatus anggota, Hendri memberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk menghadirkan orang tua mereka keesokan hari. Oknum polisi yang mengaku bernama Ervin angkatan 50 itu berjanji bakal memenuhi persyaratan ini.
“Karena saya hargai dia sebagai aparat, maka saya percaya dengan janjinya. Saya persilakan mereka pulang ke rumah masing-masing. Tapi rupanya Pak RT minta mereka tetap di tempat sambil menunggu Kamtibmas yang sedang dalam perjalanan,” terang Hendri yang kemudian meninggalkan rumah RT karena ada kepentingan lain. Warga lain pun ikut membubarkan diri.
“Tapi saya bilang ke Pak RT, setelah urusan kelar, saya akan balik lagi. Nah, sejam kemudian saya datang lagi. Saat itulah belasan orang yang akhirnya diketahui rekan-rekan Ervin bergerak ke arah saya. Dari gestur dan pandangannya saya tahu mereka memang ingin bertemu saya,” ungkap Hendri usai insiden.
Hendri menjelaskan, mengapa dia punya anggapan belasan oknum polisi itu mencarinya, sebab sebelum dia turun dari mobil, orang-orang itu masih berada di dalam beberapa mobil. Ada juga sisa lainnya berdiri dekat motor yang terparkir.
“Pas saya ke luar mobil, baru melangkah beberapa meter, serentak mereka ke luar dari mobil dan yang di dekat motor juga bergerak ke arah saya. Malah salah satu dari mereka langsung menghampiri saya. Tapi gerakan mereka mendadak berubah arah saat aparat Kamtibmas muncul,” sambungnya.
Hendri yang merasa ada hal janggal dengan kedatangan belasan orang itu langsung mengonfirmasi ke Ervin. Oknum polisi itu mengakui orang-orang di luar adalah rekan-rekannya sesama anggota satu leting. Tapi dia berkilah, kedatangan mereka bukan atas permintaannya. Melainkan atas perintah Danton (komandan pleton) dengan alasan untuk mendampinginya.
“Logikanya, bagaimana mungkin rekan-rekannya bisa kompak datang dan tahu lokasi kediaman RT, kalau tidak ada yang memberi tahu. Kemudian kalau benar keterangan seperti disampaikan Ervin bahwa mereka kiriman danton, apa iya perlu mengerahkan anggota sebanyak itu. Yang akhirnya malah terkesan show force,” sesal Hendri.
Saat ditanya apakah para oknum itu tidak tahu kalau dirinya jurnalis, menurut Hendri, sebelumnya Ervin tidak tahu. Tepatnya, memang tidak diberitahu, karena bukan konteksnya bagi dia untuk memperkenalkan statusnya dalam peristiwa ini.
“Tapi setelah saya tahu dia anggota, baru saya perkenalkan diri. Maksudnya supaya dia kooperatif. Sehingga persoalan ini cepat diselesaikan secara kekeluargaan. Selain memang wartawan dan polisi adalah mitra. Bahkan di organisasi saya pun hubungan kami dengan Polda Lampung terjalin baik. Tapi saya tidak tahu bagaimana pikiran Ervin. Ternyata responnya malah seperti yang saya ceritakan tadi,” terang Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wilayah Lampung ini.
Namun, terlepas para oknum polisi itu mengetahui statusnya atau tidak, Hendri tetap mempertanyakan apakah memang demikian respon selaku penegak hukum dalam menyikapi sebuah kejadian.
“Mau saya tukang ojek sekalipun, mestinya sikap aparat penegak hukum kan mengayomi masyarakat. Menjaga kondusivitas. Kenyamanan warga. Tapi yang saya rasakan kok malah sebaliknya, ya. Main geruduk dan provokatif. Saya pribadi merasa terintimidasi,” kata Hendri.
Kendati peristiwa itu turut membuat cemas istri dan ketiga anaknya, terutama anak bungsunya yang masih berusia 8 tahun yang berada di dalam mobil, Hendri tetap bersyukur, sebab peristiwa ini tidak terjadi saat warga masih berkumpul. Karena, menurutnya, bila kedua pihak sempat berhadapan, bukan tidak mungkin bisa memantik hal yang tidak diinginkan.
Sementara Kepala Bidang Hukum AMSI Lampung, Hengki Irawan, mendesak Kapolda Lampung, Irjen Pol Helmy Santika, untuk mencermati insiden tersebut.
“Ini bukan melulu karena yang mengalaminya adalah Ketua AMSI Lampung. Tapi ini lebih untuk menjaga nama baik korps polisi. Jangan sampai warga di sekitar lokasi kejadian memiliki persepsi tersendiri. Bahwa jika sudah menyangkut anggota institusi maka praktik serupa itu menjadi lumrah dilakukan. Kan kasihan Kapolda dan polisi baik lainnya jadi ikut terbawa-bawa,” ungkap Hengki.
Dia berharap, ada proses di institusi kepolisian Lampung sebagai respon atas kejadian ini. “Kami yakin ulah para oknum itu bukan cerminan keseluruhan dari watak korps kepolisian Republik Indonesia. Tapi kami mendukung kalau Polda Lampung berkenan menyikapi perilaku oknum anggotanya,” pungkas Hengki. (*)