Tag: luhut

  • gibran

    Sedang dibuai euforia menanti 19 juta lapangan kerja seperti yang dijanjikan Mas Wapres Gibran, ndilalah Menteri P2MI Karding malah kasih saran masyarakat untuk cari kerja di luar negeri, waktu mau #kaburajadulu gantian Opung Luhut yang marah; kau yang gelap!

    (Lontar.co): Kalau mau nurutin hierarki dan pengaruh, jelas omongan Wapres Gibran yang paling bisa dipegang dong, secara Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding dan Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Panjaitan adalah bawahannya Mas Wapres.

    Apalagi, pemerintahan Prabowo kali ini, punya kecenderungan fokus pada janji, makan gratis misalnya, itu kan janji kampanye Prabowo yang terbukti, apa iya Gibran nggak nepatin janjinya?.

    Omongan Menteri P2MI Karding ini juga cenderung mencla mencle, kemarin waktu kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) merebak, dia yang paling getol mewanti pekerja Indonesia untuk tak sembarangan ke luar negeri.

    Tetiba, saat peresmian Migrant Center, ucapannya berubah lagi,”di Jateng ada 1 juta pengangguran yang belum terserap. Anda, mahasiswa calon tenaga kerja yang tidak terserap, maka segera berpikir ke luar negeri,” kata Karding di Universitas Diponegoro, Jawa Tengah (26/6/2025).

    Ucapan Karding ini, jelas bertentangan dengan Wapres Gibran saat kampanye dulu,”teman-teman sesama anak muda, jika agenda hilirisasi, pemerataan pembangunan, transisi menuju energi hijau, ekonomi kreatif, UMKM bisa kita kawal, insyaallah akan terbuka 19 juta lapangan pekerjaan untuk generasi muda dan kaum perempuan,” kata Gibran, Minggu (21/1/2024).

    Janji Gibran ini juga dibela penuh oleh Opung Luhut,“kalau ada yang bilang Indonesia gelap, yang gelap kau, bukan Indonesia,” ujar Luhut (19/2/2025).

    Kemarahan Opung ini merespon riuhnya tagar #kaburajadulu dan ‘Indonesia Gelap’ sebagai ekses dari kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang tak pro pekerja.

    Indonesia katanya, negeri gemah ripah loh jinawi, tapi cari kerja diseret sampai ke luar negeri.

    Emas ada, nikel melimpah, batu bara ditambang, tapi rakyatnya dipaksa jadi TKW, TKI, biar lebih ‘wah’ disebut lah sebagai pahlawan devisa, tapi waktu TKI bermasalah, cari pertolongan dari pemerintah susah minta ampun. Padahal, cuma mau memulangkan jasad kaku sekedar bisa dimakamkan dengan layak.

    Kalau mau bicara data, Indonesia memang sedang benar-benar gelap dalam hal daya serap di pasar kerja.

    Tiap tahun ada sebanyak 3,5 juta angkatan kerja baru, tapi lapangan kerja yang ada cuma kurang dari 1,5 juta saja itupun dengan catatan jika pertumbuhan ekonomi stabil di angka 5 persen, tapi faktanya pertumbuhannya cuma 4,87 persen.

    Indikator susahnya lapangan kerja juga dilihat dari job fair yang pesertanya mbludak sampai ratusan ribu.

    Sudah semangat-semangat ikut job fair, berdesak-desakan, rebut-rebutan sesama pekerja, ternyata tersiar kabar kalau job fair cuma formalitas, sebagai tanda pihak swasta tunduk pada aturan pemerintah.

    Pernah ramai di medsos, jika 90 persen pelaksanaan job fair hanya formalitas, sebab perusahaan dipaksa untuk mengikuti job fair, meski perusahaan sebenarnya sedang tidak mencari dan membutuhkan tenaga kerja baru.

    Data BPS yang entah ABS atau akurat, jumlah pengangguran kita itu sekarang sudah 7,28 juta orang sampai Februari 2025 kemarin. Ada penambahan sekitar 83,45 ribu orang dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    Para pengangguran bermazhab rebahan itu, masih harus ditumpuk lagi dengan jumlah angkatan kerja yang terus bertambah tiap tahunnya sebanyak 3,67 juta orang menjadi 153,05 juta orang.

    Belum lagi bicara soal kasus PHK yang bukan cuma fenomena, sampai awal 2025 hingga Mei, ada sebanyak 26.455 orang yang di PHK. Daerah Jawa Tengah, Riau dan DKI adalah penyumbang kasus PHK terbanyak.

    Bisa sih mewujudkan janji 19 juta lapangan kerja, solusinya membuka keran investasi walaupun daya serapnya mulai rendah kini, seperti yang disebut Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda, bahwa investasi bisa berpengaruh ke penurunan angka tenaga kerja meski daya serapnya kecil, tapi cuma itu yang solusi yang paling nyata saat ini.

    Walaupun masih amat berat, apalagi jika patokannya pertumbuhan ekonomi, sebagai perbandingan, dulu pertumbuhan ekonomi yang cuma 1 persen saja bisa menarik 400 ribu tenaga kerja. Sekarang, pertumbuhan ekonomi 1 persen cuma bisa menyerap 100 ribu tenaga kerja.

    ”Kinerja investasi tak bisa meningkatkan kinerja manufaktur, akibatnya terjadi deindustrialisasi dini,” kata Nailul Huda.

    Jadi, meski membuka investasi selebar-lebarnya, dengan masa jabatan Mas Gibran yang hanya 5 tahun, investasi hanya mampu menyerap 3 juta tenaga kerja saja, sedangkan janji kampanyenya kan 19 juta.

    Selain ganjalan pertumbuhan ekonomi, investasi juga diancam oleh kebanyakan ormas, yang membuat pengusaha teriak karena merasa terbebani luar biasa oleh kumpulan ormas yang meminta jatah preman.

    Mantan Wakil Presiden era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, Jusuf Kalla menilai munculnya ormas karena daya serap tenaga kerja rendah, dan kemudian memicu pengangguran untuk berkelompok dan kemudian melakukan pungli.

    “Kalau ormas-ormas itu kerja semua, tidak akan ada ormas di jalan,” kata JK.

    JK juga sepakat dengan Celios soal deindustrialisasi dini yang membuat keadaan makin runyam justru di saat Indonesia masih jauh dari kategori negara maju tapi industri manufakturnya terlanjur lesu.

    Pemerintah juga sekarang kebanyakan hanya memberi tali pancing saja, sedangkan joran dan umpannya disuruh cari sendiri. Lah, kalau cuma sekedar kasih pelatihan tapi lowongan kerjanya gak disiapin, ya makin runyam juga, itu kartu Prakerja entah apa kabarnya sekarang.

    Jadi, Mas Wapres, kalau sekarang banyak anak muda frustasi, tak kunjung menikah, apalagi mimpi punya rumah subsidi yang luasnya bakal dipersempit, itu sekarang sudah terjadi di depan muka ente, Mas Gibran.

    Lah, tiba-tiba setelah seenaknya nyuruh masyarakat cari kerja di luar negeri, Menteri Karding malah ngeles mispersepsi dan merasa tak bersalah dengan bilang tak pernah menyarankan anak muda bekerja ke luar negeri, dengan embel-embel salah ucap.

    “Mungkin ada mispersepsi. Seingat saya, saya bicara bahwa saya kampanye agar anak-anak, termasuk mahasiswa, bisa mendapatkan kesempatan bekerja di luar negeri. Tapi dipersepsikan dan ditulis seolah-olah saya menelantarkan orang Indonesia ke luar negeri, karena tidak ada lapangan kerja di dalam negeri. Padahal tugas saya memang untuk melindungi dan menempatkan pekerja migran, bukan mengurus lapangan kerja dalam negeri,” kata Menteri Karding di laman resmi bp2mi.g.id.

    Kalau sudah seperti ini kan, hikmahnya cuma sepele, jangan pernah mudah percaya sama apa yang diomongin orang kalau belum terbukti benar, apalagi pemerintah. Percaya boleh saja tapi sama Sang Pencipta.

    Jangan-jangan si menteri habis dimarahi opung,”kau saja yang pergi ke luar negeri!”.

    Masyarakat kita memang mudah termakan janji. Saat janji tak terbukti kemudian bersikap permisif, sementara pejabat yang lain, tak punya kemampuan mencari solusi sampai harus menyeret pemuda negeri cari rejeki ke luar negeri. Yang lainnya pula, lebih doyan bergaya militer, anti kritik dan mau menang sendiri.