Selain kasus penahanan ijazah, terungkap pula indikasi eksploitasi jam kerja hingga standar gaji yang tak jelas yang dialami eks pekerja Karang Indah Mall (KIM). Kini, mantan pekerja di KIM berharap ijazah mereka dikembalikan agar bisa melanjutkan hidup.
(Lontar.co): Hari-hari Ajid kini lebih banyak dihabiskan di rumahnya. Sesekali pula, ia membantu ibunya yang bekerja di laundry.
Sebagai anak tertua laki-laki, Ajid punya tanggung jawab, bukan hanya untuk adik-adiknya tapi juga orang tuanya, apalagi kedua orang tuanya sudah tak mampu lagi membiayai kebutuhan keluarga.
Hidup dari mengandalkan upah sebagai pekerja laundry yang dilakoni orang tua Ajid, jelas jauh dari memadai, karenanya beban Ajid memang berat.
Jika, tak membantu ibunya bekerja di laundry, Ajid juga harus harus bekerja serabutan demi bisa membantu kedua orang tuanya.
Sejak tak lagi bekerja di Karang Indah Mall (KIM), masa depannya memang seperti terhenti. Ia tak berdaya dan nyaris putus asa.
“Bagaimana saya bisa melanjutkan hidup dan mencari kerja untuk membantu orang tua saya, kalau ijazah yang jadi masa depan saya ditahan,” ujarnya dengan suara tertahan.
Padahal, lanjutnya, ada 3 perusahaan yang sedang membuka lowongan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya, tapi kemudian batal karena ijazahnya ditahan oleh pengelola KIM.
“Tolong saya. Saya cuma butuh ijazah, biar bisa kerja lagi, biar bisa bantu orang tua, biar kami bisa hidup” katanya lirih.
…
Bangunan mall berkonsep open space di Jalan Raden Intan itu terlihat paling mencolok dibanding bangunan lainnya.
Jalan Raden Intan hanya seperti milik Karang Indah Mall saja, atmosfer ramainya selalu menembus keramaian Kota Bandarlampung di malam hari. Tempat ini, seperti tak pernah mati.
Karang Indah Mall yang dibangun dibekas Plaza Lotus itu memang selalu ramai. Banyak orang, bukan hanya remaja yang menghabiskan waktu di mall itu tapi hampir semua segmen, utamanya di malam dan sore hari.
Dari sejumlah gerai yang ada di KIM, mini market Always 7 Seven Days adalah favoritnya.
Always 7 Days adalah convenience store yang pengelolaannya berada di bawah manajemen JM Group, yang menjual berbagai produk, mulai dari aksesoris, perlengkapan rumah tangga dan banyak kebutuhan rumah tangga lainnya. Tapi, yang membuatnya ramai dikunjungi adalah produk makanan dan minumannya yang bisa di sajikan dan di seduh secara langsung.
Konsep mini market yang buka selama 24 jam penuh ini memang baru di Bandarlampung dan berbeda dengan kebanyakan mall lain.
Sebab dibuka selama 24 jam itu pulalah yang belakangan menuai masalah di Karang Indah Mall, sejumlah eks pekerja KIM mengaku mereka kerap kali bekerja melebihi waktu kerja mereka, bahkan ada yang ‘dipaksa’ bekerja hingga 14 jam, dengan uang lembur yang jauh dari layak.
Ajid, eks pekerja Karang Indah Mall yang juga mantan kepala store Always 7 Days mengaku pernah bekerja selama 14 jam, dengan bayaran uang lembur hanya Rp50 ribu, itupun dibayar tiap bulan bersamaan dengan gaji.
Pemberlakuan jam kerja yang melebihi ketentuan itu, lanjutnya, diterapkan ke seluruh pekerja di KIM, dengan bayaran yang jauh dari standar.
“Pernah kerja sampai 14 jam sehari tapi cuma dibayar uang lembur lima puluh ribu, semua yang kerja disitu (KIM) pasti kena giliran shift malam,” aku Ajid.
Tak hanya itu saja, meski menjadi kepala toko atau leader, tapi gaji yang diperoleh Ajid selama 9 bulan bekerja disana kerap kali tak sesuai,”jabatannya kepala toko, tapi gajinya store crew”.
Selain itu, besaran gaji juga tak menentu. Jika di total, rata-rata Ajid hanya menerima gaji Rp3 jutaan, gaji itu sudah termasuk insentif hasil penjualan toko dan uang lembur yang besarnya Rp50 ribu.
Meski demikian, besaran gaji yang diterima Ajid juga selalu berubah-ubah tiap bulannya, anehnya tak pernah ada slip gaji yang diberikan oleh pengelola KIM.
“Tiap gajian itu di transfer langsung ke rekening, tapi nggak pernah ada slip gajinya, padahal tiap nerima gaji, jumlahnya beda-beda terus,” jelas Ajid.
Alasan pemotongan gaji karyawan itu juga dianggap tak masuk akal, pengelola berdalih pemotongan gaji dilakukan untuk mengganti biaya barang-barang jualan yang rusak atau hilang.
Berkali-kali pula, Ajid dan karyawan lainnya meminta slip gaji, tapi tak pernah diberikan oleh manajemen KIM.
Di bulan ke sembilan Ajid bekerja di KIM, Ajid mulai tak menerima gaji lagi, tanpa ada penjelasan apapun dari manajemen.
Ajid bingung, selain butuh uang untuk membantu orang tua dan adik-adiknya, ia juga butuh biaya untuk ongkos transport ke KIM,”nggak ada penjelasan sama sekali (dari manajemen), kenapa gaji saya nggak dikeluarin mereka, padahal saya butuh gaji saya untuk bantu orang tua dan uang transport kerja ke KIM”.
Bahkan ia terpaksa mencari uang tambahan di luar agar bisa tetap bekerja di KIM dan membantu orang tuanya,”akhirnya karena sudah nggak tahan lagi, saya keluar dari KIM. Bagaimana saya mau kerja kalau gaji saya bulan kemarin nggak dikeluarin,” jelasnya.
Saat ia memutuskan resign dan meminta ijazahnya yang ditahan oleh manajemen KIM, Ajid terkejut karena dimintai uang tebus ijazah senilai Rp4,5 juta.“Darimana saya uang sebanyak itu untuk nebus ijazah, hidup aja susah. Apalagi, waktu mulai bekerja di sana, tidak pernah ada perjanjian biaya tebus ijazah”.
Ia sempat mengadukan penahanan ijazah ini ke Disnaker Kota Bandarlampung, tapi responnya justru tak sesuai harapan, meski ada mediasi antara Ajid dan manajemen KIM, tapi ia tetap saja wajib membayar uang tebusan untuk bisa mengambil ijazah, meski nilainya dikurangi setelah dipotong gaji Ajid yang sebelumnya tertahan.
Anehnya, Disnaker Bandarlampung terkesan membela KIM, karena dalam surat perjanjian antara Ajid dan KIM, ada salah satu poin yang tetap mewajibkan Ajid membayar biaya tebus ijazah.
Mediator Hubungan Industrial Disnaker Bandarlampung, Elva Noor berdalih bahwa penahanan ijazah tidak termasuk kategori perselisihan,”itu ranahnya kepolisian,” katanya kepada wartawan.
Sehingga, lanjutnya, disnaker hanya bertindak sebagai mediator,”saya sebagai mediator hanya menengahi saja, hanya jasa baik saja, bukan kewajiban kami untuk menangani itu (penahanan ijazah)”.
Ketua LBH Ansor Lampung yang juga kuasa hukum mantan pekerja KIM, Sarhani menilai sikap Disnaker Bandarlampung yang gagal dalam menyelesaikan masalah ini.
“Bagaimana mungkin, masalah penahanan ijazah ini bukan kategori sengketa ketenagakerjaan. Tugas dan fungsi disnaker itu melakukan pengawasan, tapi ternyata disnaker gagal menjalankan fungsinya,” kata Sarhani.
Belakangan, penahanan ijazah yang diberlakukan pengelola KIM sudah berlangsung sejak tahun 2018, hal ini terungkap setelah Ajid berusaha melawan aturan diskriminatif tersebut dengan bantuan LBH Ansor Lampung.
Ada setidaknya, 10 orang mantan karyawan yang melaporkan ke Polda Lampung terkait penahanan ijazah oleh pengelola KIM dan kewajiban tebus ijazah bagi karyawan yang hendak mengambil ijazahnya dengan besaran nominal tebus ijazah sebesar Rp500 ribu per bulan di kali masa kerja yang sudah dijalani tiap mantan karyawan.
Mereka memberi kuasa hukum kepada LBH Ansor untuk membantu nasib mereka yang kini terkatung-katung.
Ketua LBH Ansor Lampung, Sarhani menyebut ada sekitar 40 karyawan yang hingga kini ijazahnya ditahan oleh KIM dan dimintai uang tebus ijazah dengan besaran yang beragam, namun baru 10 orang mantan pekerja KIM yang melapor ke LBH Ansor.
“Kami menuntut hak mereka dikembalikan sepenuhnya,” tegas Sarhani.
Selain itu, Sarhani juga meminta kepada aparat kepolisian untuk menindak pengelola KIM,”selama ijazah mereka ditahan oleh KIM, mereka tidak bisa melamar kerja di tempat lain”.
Meski Sarhani mengaku ada pengelola KIM yang menghubunginya dan meminta agar persoalan ini diselesaikan dengan cara yang baik, namun ia tegas menolak permintaan itu,”kami membawa kepentingan orang banyak, yang haknya harus hilang karena ijazahnya ditahan dan dimintai tebusan,” jelasnya.