Tag: Kampung Cungkeng


  • Pagi masih basah oleh embun ketika langit mulai memerah di ufuk Teluk, Bandarlampung. Di masa lalu, saat matahari belum tinggi, suara mesin perahu dan teriakan nelayan menjadi alarm alami di Kampung Cungkeng, Teluk Betung Timur, Bandarlampung. Laut adalah panggilan, rumah, sekaligus ladang penghidupan.

    (Lontar.co): Namun kini, suara itu perlahan menghilang. Banyak jaring tergantung, banyak pula perahu diam bersandar tanpa pernah lagi mengarungi ombak.

    Di sebuah rumah sederhana yang menghadap ke laut, Umar (32) duduk di beranda sambil menggenggam secangkir kopi. Dulu dia adalah nelayan tangguh, akrab dengan cuaca buruk, dan hafal pola arus laut seperti garis tangannya sendiri. Namun dua tahun terakhir, jaringnya tak lagi basah. Dia kini menjadi sales, berkeliling dari satu toko ke toko lain, menjajakan barang elektronik.

    “Bukan saya tak cinta laut, tapi laut sekarang tak lagi memberi seperti dulu,” tuturnya pelan. Ada getar dalam suaranya, antara rindu dan kecewa.

    Apa yang dialami Umar bukan cerita tunggal. Di Kampung Cungkeng, cerita serupa terulang di banyak rumah. Mereka yang dulu menggantungkan hidup dari tangkapan ikan, kini beralih menjadi kurir paket, pedagang sembako, ojek online, hingga karyawan toko. Laut yang dulu penuh janji, kini seperti tak lagi menjanjikan apa-apa.

    “Kadang sebulan melaut, pulang uangnya cuma cukup buat bayar minyak dan makan. Belum lagi kalau cuaca jelek, bawaannya rugi terus,” kata Ari (35), mantan nelayan yang kini berjualan sembako di pusat kota Bandarlampung, Selasa (27/5/2025).

    Tak sedikit nelayan yang menjual aset-aset lautnya, seperti bagan dan perahu, untuk dijadikan modal usaha darat. Menurut mereka, berdagang kini terasa lebih menjanjikan dibanding menantang ombak dengan hasil yang tak pasti.

    Perubahan itu bukan tanpa sebab. Kenaikan harga bahan bakar minyak membuat biaya melaut melonjak, sementara pencemaran laut, terutama oleh sampah plastik, telah merusak ekosistem. Ikan semakin sulit ditemukan dan jaring yang dijatuhkan lebih sering menangkap sampah daripada ikan.

    Di tengah semua itu, kelompok nelayan tua menjadi yang paling terdampak. Mereka kesulitan menyesuaikan diri dengan pekerjaan darat. Ada yang mencoba, ada pula yang menyerah.

    “Saya dari kecil hidup di laut. Kalau disuruh kerja di darat, kadang bingung harus mulai dari mana,” ujar Galang (60), yang kini hanya sesekali melaut karena alasan kesehatan dan kondisi ekonomi.

    Perubahan ini tak hanya menyentuh soal ekonomi, tapi juga menyentuh batin dan identitas. Menjadi nelayan bukan sekadar pekerjaan, tapi warisan, harga diri, bahkan bagian dari budaya warga Kampung Cungkeng. Tapi saat hidup terus menuntut adaptasi, banyak yang mulai rela melepas identitas itu demi keberlangsungan hidup.

    Perempuan pesisir pun berperan penting dalam perubahan ini. Mereka membuka usaha kecil-kecilan, hingga membantu anak-anaknya mengejar pekerjaan di kota. Ati (51), misalnya, kini menggantungkan harapan pada warung kecil yang dia kelola dari modal anaknya yang bekerja sebagai karyawan toko.

    “Saya malah senang kalau anak saya kerja di darat. Capek hati kalau tiap hari nunggu kabar dari laut,” katanya, sambil menata dagangan di etalase.

    Pergeseran ini menjadi gambaran nyata bahwa bertahan hidup bukan selalu tentang bertahan di tempat yang sama. Tapi tentang keberanian berpindah arah, ketika ombak kehidupan datang dari sisi yang tak terduga.

    Meski tak semua perahu kini turun ke laut, semangat para nelayan Kampung Cungkeng tak pernah benar-benar surut. Beberapa dari mereka tetap berlayar, meski jalurnya kini di daratan. (*)