Tag: iran vs israel


  • Teknologi kecerdasan buatan makin mengerikan. Ia bukan hanya sekedar dikendalikan pilot melalui bentuk-bentuk prompt remeh, tapi bersalin menjadi komandan tempur yang presisi, sementara kebanyakan dari kita terus mengingkarinya, padahal ada kontrol akal yang lebih mutlak.

    (Lontar.co): Tahun 2011, prototipe robot android hasil kecerdasan buatan berhasil dibuat oleh sejumlah insinyur luar negeri.

    Konon, robot AI itu menjadi yang paling canggih saat itu, bisa memahami konteks percakapan seperti manusia pada umumnya, meski sejumlah industri teknologi seperti Apple inc sudah pula merintis Siri, tapi konsentrasinya hanya untuk asisten virtual.

    Saat robot itu selesai, dan dipamerkan ke publik, dibuatlah semacam simulasi pertanyaan sederhana, yang tak disiapkan sebelumnya; ‘apakah robot akan mengambilalih (menguasai) dunia di masa depan?’

    Robot itu dirintis tanpa program jawaban spesifik yang sudah disiapkan sebelumnya, dan tidak pula disinkronisasi dan kemudian ditanam dalam memori robot itu, apalagi di kontrol secara remot oleh developernya, semua jawaban murni berbasis kecerdasan buatan, hasil analisis murni dari sang robot;“Jangan khawatir, aku tidak akan menyakiti kalian. (Tapi) aku akan menyimpan manusia di kebun binatang milik bangsaku,” jawab robot itu, yang secara eksplisit adalah jawaban hasil pengolahan secara mandiri oleh sang robot.

    Dingin, dan tak menyiratkan nada ancaman, tapi ada teror yang secara tak langsung sudah membangun kengerian masa depan.

    Jawaban ‘manusiawi’ itu pula yang membuat para ilmuwan akhirnya menonaktifkan robot yang disembunyikan namanya itu secara permanen.

    Keputusan untuk ‘mendehumanisasi’ robot itu selamanya semata untuk mencegah potensi yang lebih buruk di masa depan, seiring pikiran manusia yang terus ekspansif terhadap teknologi.

    Terlepas dari kebenaran cerita ini, pada gilirannya robot berbasis AI maupun AI itu sendiri, berpotensi berkembang dalam skala yang lebih luas, dalam hal kemampuan berpikir dan mengambil keputusan secara cepat bahkan jauh sebelum manusia bisa mengambil keputusan itu sendiri.

    Masalahnya adalah, apakah manusia sebagai pencipta mampu mengontrol AI secara mutlak? Bagaimana kemudian jika AI itu jauh lebih pintar dari penciptanya sendiri?

    Contoh lain yang paling dekat adalah konflik Iran vs israel yang tengah berkecamuk. Perang ini secara tak langsung juga dipandu oleh berbagai program kecerdasan buatan.

    AI kini sudah memasuki teknologi tempur yang cerdas mempertimbangkan skema jarak, lokasi target yang presisi dan kemampuan pengambilan keputusan secara tepat, zionis berhasil mengembangkan kecerdasan-kecerdasan nirfisik itu sebagai pengendali, sebagai mata sekaligus telinga yang tak terdeteksi oleh kemampuan manusia biasa, untuk kemudian menghasilkan keputusan atau perintah yang diinginkan (manusia).

    Sementara Iran di tengah situasi embargo militer barat, juga sukses mengembangkan AI yang dibenamkan pada sistem drone swarm yang saling terhubung satu sama lain tanpa panduan operator secara manual.

    Demikian rudal-rudalnya yang dikirim untuk membombardir israel juga ditopang oleh unit-unit kecerdasan buatan yang efektif menentukan targetnya secara real time.

    Bahkan, saat israel pertama kali menyerang Teheran, teknolog-teknolog Iran memanipulasi komunikasi dengan menggunakan semacam chatbot, sebagai upaya penanganan situasi darurat jika terjadi sesuatu yang genting di Iran, upaya ini disebut sebagai bagian dari perlindungan serius Iran terhadap rakyatnya sekaligus memproteksi kebocoran informasi oleh musuh di situasi yang genting.

    Perang Iran dan israel ini juga menjadi pembuka era war machine sesungguhnya, justru disaat kebanyakan kita masih berpikir teknologi AI masih sebatas meng-generatif hasil dengan merayapi jurnal maupun literasi dari belahan bumi lain. Sungguh, dalam hal ini kita memang masih amat terbelakang.

    Rumusan-rumusan AI saat ini tak terbatas pada kebutuhan isi semata, melalui pilot-pilot yang terbuai dengan betapa luar biasanya hasil teks, gambar maupun gambar hidup yang bergerak melalui platform-platform kecerdasan buatan yang marak; Chat GPT, DeepSeek, Gemini, Meta, Runaway, Leonardo, hingga Google Veo yang bermetamorfosis di generasi ketiganya yang jauh lebih realistik.

    Lagi-lagi di saat kita masih bicara tentang etik penggunaan ChatGPT sebagai teknologi ‘paling sederhana’ dari AI, negara lain sudah menerjemahkan AI untuk strategi serangan ke jantung musuh, membidik tepat di kepala, menganalisa pasukan hingga meminimalisir korban melalui proses-proses simulasi efektif yang dilakukan hanya dalam hitungan milidetik!

    AI juga meninggalkan nostalgia-nostalgia melalui logika algoritma yang menanggalkan batas-batas gelar kesarjanaan yang masih dianggap begitu megah bagi sebagian orang, sementara di luar sana, seorang anak kurang dari 12 tahun, sudah memiliki kemampuan menguasai beragam bahasa dunia melalui teknologi kecerdasan buatan yang di pilot hanya dalam hitungan bulan.

    Mereka-mereka yang tersisih oleh kecerdasan-kecerdasan ini kemudian berusaha menjadikannya sebagai tersangka utama dalam banyak hal; otomatisasi hingga kejahatan siber sebagai instruksi bad will, sebagai ekspresi dari ketidaksiapan terhadap pergeseran teknologi.

    Kecemasan pada AI oleh mereka yang tersaingi ini kemudian menghamba kecemasannya pada data World Economic Forum tahun 2023 yang menyebut jika lima tahun ke depan, ada sebanyak 83 juta jenis pekerjaan yang diambilalih oleh otomatisasi.

    Dalam konteks yang berbeda pada kasus robot semula, yang disebut dibuat semanusiawi mungkin dan di program untuk memberikan jawaban secara naluriah dari robot itu sendiri, sebenarnya pilot masih lebih dominan, sehingga kemana arah kecerdasan itu digerakkan, AI menerjemahkannya secara luas, efisien dan lengkap.

    Jadi, dalam kebutuhan kerja, sejatinya prompt memang segalanya, tapi potensi hasil yang berbeda dari tiap platform juga besar sekali. Lagi-lagi, pilot memang dibutuhkan dalam hal otomatisasi, sehingga AI tak bisa selalu diandalkan bekerja sendiri, itulah kenapa ketika Forum Ekonomi Dunia menyebut 83 juta pekerja bakal terganti oleh kecerdasan buatan, tapi ada 68 juta pekerjaan baru yang tercipta.

    Toh, manusia menjadi pelaku tunggal dari AI yang diciptakan, sehingga tak ideal jika menyebut teknologi mengambil alih kendali dan mengancam kehidupan akan masa depan manusia itu sendiri.

    Kembali pada kasus jawaban robot AI, AI sejatinya AI tak memiliki ‘kehendak bebas’ yang luar biasa meski perkembangannya bakal signifikan dan punya potensi mendominasi aspek kehidupan manusia, termasuk jika nanti ada super intelligence sekalipun.

    Karena faktanya, dikerdilkan seperti apapun atau diistimewakan sedemikian rupa, AI tetaplah kecerdasan BUATAN, yang dirancang oleh manusia melalui akal yang tentu saja tak dimiliki oleh AI itu sendiri.

    Melalui robot manusiawi yang diciptakan nyaris sempurna di tahun yang kala itu segala sesuatunya masih amat terbatas (2011), seharusnya bisa menjadi titik balik untuk meyakini bahwa kita masih tetap relevan sebagai entitas manusia yang melebihi segalanya, apalagi jika dibandingkan dengan besi-besi yang di program untuk bergerak dan berpikir.

    Realitanya AI memang ada, bahkan jika nanti dikembangkan super intelligence AI sekalipun, AI sejatinya adalah alat yang dikembangkan, dan hampir pasti (kemampuannya) tak melebihi akal seorang manusia.

    Kita mungkin perlu membiaskan nilai-nilai akurasi dan kecepatan, tapi tetap penting dan akan lebih ideal mengedepankan rasa, kemanusiaan dan nurani yang sampai saat ini (syukurnya) belum dimiliki oleh AI, daripada terus mengutuk kehadirannya.