Tag: ijp lampung


  • Garis wajahnya keras. Jarang tersampir senyum di sana. Kalau pun terbit hanya senyum sungging. Namun soal rasa, dia terbilang jurnalis peka. Sensitivitasnya tak perlu diragukan. Baik terhadap sesama rekan wartawan, terlebih pada kepentingan publik. Abung, sapaannya. Pemilik nama lengkap Abung Mamasa itu, kini dikukuhkan memimpin Ikatan Jurnalis Pemprov (IJP) Lampung.

    (Lontar.co): Sudah menjadi rahasia umum, kalau kolumnis Din Bacut di portal berita Analisis.co.id ini, telah acapkali membikin geger publik melalui tulisannya.

    Seno Gumira Ajidarma, seorang penulis terkemuka pernah membuat buku berjudul “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara”. Buku ini seperti menjadi potret yang menggambarkan betapa pers begitu dibungkam di masa orde baru, pun ketika menjelang referendum di Timor Timur pada 30 Agustus 1999 lalu, hingga kemudian sukses melepaskan diri dari NKRI dan menggadang nama baru Timor Leste.

    Tapi melalui kolom Din Bacut made in Abung Mamasa, khususnya publik di Lampung, menjadi mafhum bahwa pers belum juga merdeka seperti yang diimpikan atau setidaknya yang dimandatkan oleh UU Pers Nomor 40 tahun 1999, hingga hari ini.

    Buktinya Abung masih harus “menghidupkan” sosok Din Bacut dan Dek Yanti yang dikenal sebagai owner kedai kopi Slemon akronim dari “sekali minum langsung move on” di dalam kolomnya itu.

    Tidak diketahui persis, apakah cara penulisan dengan menggunakan tokoh-tokoh fiktif itu terinspirasi dari buku Seno tadi, atau melulu naluri melindungi diri lantaran merasa atmosfir kebebasan bicara/menulis -terutama yang berbau kritis- belum bisa leluasa disampaikan.

    Abung mungkin tidak pernah gentar dengan intimidasi, fisik sekalipun. Tetapi sangat mungkin dia bergidik dengan pasal-pasal karet yang setiap saat dan dari berbagai sisi bisa “menjepret” atau membidik celah-celah yang mungkin menganga di sekujur tulisan kolomnya untuk kemudian dengan mudah ditembus dalil-dalil menjerat yang dilabeli suka-suka ala si pemberi label. Label pencemaran nama baik, misalnya. Atau juga perbuatan tidak menyenangkan, umpamanya.

    Terlepas dari semua itu, watak Abung melalui pilihan-pilihan sudut pandangnya sangat tergambar melalui alur kisah di dalam kolom Din Bacut itu. Dia murka pada kesemena-menaan, terutama yang dipraktikkan oleh individu yang memiliki kapasitas besar. Tak peduli dia pejabat birokrat, kepala daerah, atau hanya sekadar pimpinan kampus.

    Abung juga jengah melihat “pisau” yang cenderung tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Dia pun muak melihat pejabat atau pembesar yang demen petantang-petenteng tapi di saku safarinya selalu mengantongi pepesan kosong.

    Hampir bisa dipastikan potret semacam itu tinggal tunggu waktu saja untuk diracik menjadi tulisan, hingga kemudian kisahnya muncul di kolom Din Bacut. Lalu kita asyik membacanya, sambil mesem-mesem sampai kemudian di akhir tulisan ikut menyumpahi “sosok gelap” yang sedang di-roasting oleh Abung.

    Satu malam di ketinggian gedung bertingkat di salah satu sudut Jakarta Selatan, Abung pernah berkisah pada penulis. Dia mengurai seputar masa kanak-kanaknya yang dibesarkan oleh seorang ayah PNS di Dinas Pendidikan yang suka membawakan anak-anaknya buku dan majalah.

    Meski tak secara langsung meminta anak-anaknya untuk membaca, tapi Abung dengan sendirinya sudah melahap tuntas segala bahan bacaan yang disodorkan sang Ayah. Fragmentasi ini spontan mengingatkan pada ungkapan yang kerap muncul di instagram dan tik-tok belakangan ini dimana, “lelaki tidak banyak bicara…”

    Atau sangat mungkin itu feeling seorang ayah dalam menyelami batin potensi anak lelakinya. Dia sodorkan bahan bacaan yang kini terbukti menjadi bekal penting saat Abung menjadi penulis, jurnalis, kemudian mengayomi ratusan lebih jurnalis yang melakukan peliputan di lingkup Pemprov Lampung.

    Selamat berkegiatan Abung Mamasa. Mandat yang disampirkan ke pundak adalah amanah sekaligus ujian. Akan ada yang akan menihilkan atas apa pun yang telah dilakukan. Akan ada yang mencibir atau memuji. Tapi yang jelas akan selalu ada harapan agar Din Bacut bisa tetap tampil dengan pola pikir dan alur cerita seperti yang telah dikenal selama ini.(*)