Meski Pemprov Lampung dan Kementan sudah menetapkan harga dasar singkong Rp1.350 per kilogram, kenyataannya masih banyak perusahaan yang tak mengindahkan ketentuan itu. Akibatnya, petani singkong makin terpuruk, sementara perusahaan terus memonopoli harga dengan berbagai dalih. Ini pola yang terus berulang, tapi pemerintah tak pernah mau mengantisipasinya.
(Lontar.co): Setelah panen ini, Syafrin tak akan pernah lagi menanam singkong di lahannya. Ia kapok, hasil panen kali ini bahkan tak mendapat untung sama sekali.
“Jangankan untung, nombok iya,” ujar petani singkong di Desa Hajimena, Natar ini kesal.
Saat musim panen, ia bahkan sempat tak ingin memanen singkong-singkongnya, karena tak punya biaya untuk membayar upah cabut dan transportasi.
Ia terpaksa berhutang ke kerabatnya untuk modal panen,”sakit bener rasanya. Dipanen rugi, nggak dipanen tambah rugi”.
Padahal, sebelumnya ia sempat tenang dengan adanya instruksi Gubernur Lampung Nomor 2 Tahun 2025 tentang Penetapan Harga Ubi Kayu di Provinsi Lampung, yang menetapkan harga singkong Rp1.350 per kilogram, potongan rafaksi maksimal 30 persen.
“Sudah saya itung-itung, kalau pake harga Rp1.350 masih dapat untung sedikit,” ujarnya.
Tapi, setelah mendekati masa panen, ia terkejut karena harga singkong di pengepul maupun di pabrik hanya Rp.1.050 per kilogram.
Hitung-hitungannya, dengan nilai jual yang hanya Rp1.050 per kilogram dengan rafaksi sampai 35 persen, Syafrin hanya dapat uang bersih sekitar Rp500 per kilo, Ia tak berkutik.
“Gubernur aja dilawan apalagi petani macam kita,” keluhnya.
Kondisi serupa juga dialami Idi Amin, petani singkong di daerah Ketapang, Sungkai Selatan, Lampura, dari 5 hektare kebun singkong miliknya, pada panen kali ini hanya menghasilkan uang kurang dari Rp2 juta.
Padahal, modal yang ia keluarkan sejak dari masa tanam sudah mendekati angka penjualan. Itu belum termasuk biaya panen, upah buruh cabut dan masih pula kena potongan rafaksi sampai 40 persen.
“Sudah keterlaluan memang. Sudah capek-capek ngurus kebon, pas panen harganya dimain-mainin begini,” ujarnya kecewa.
Penantiannya selama lebih dari 10 bulan sejak dari masa tanam hingga panen terasa sia-sia.
“Jangankan balik modal, untuk biaya produksi aja nggak nutup”.
Ia kecewa dengan Pemprov Lampung yang tak tegas dalam menegakkan aturan yang mereka buat sendiri.
“Seharusnya, instruksi gubernur itu diiringi dengan pengawasan juga, jangan cuma sekedar buat instruksi tapi pengawasannya tidak ada,” keluhnya.
Imbasnya, petani singkong mulai berencana beralih ke jagung.
“Saya nggak mau lagi nanem singkong, cukup ini aja yang terakhir,” kata Aris Munandar petani singkong lainnya di Ketapang, Sungkai Selatan.
Kecenderungan petani singkong untuk men-diversifikasi singkong ke jagung bisa jadi pola yang terulang kembali, ketika petani lada dan kopi membabat habis tanamanya dan menggantinya dengan singkong di awal-awal tahun 90-an lalu karena harganya yang terus merosot.
Setelah diversifikasi, arah angin memang berpihak ke petani, harga singkong yang terus meroket membuat petani sumringah.
Lada dan kopi yang sempat menjadi identitas Lampung kala itu perlahan tenggelam dengan gegap gempita singkong.
Gubernur Pudjono Pranyoto bahkan sempat khawatir luar biasa, model bercocok tanam petani yang amat tergantung dengan harga komoditas. Ia tak melihat ada konsistensi pada budidaya, sama seperti ketika lada dan kopi yang yang membentuk identitas Lampung di masa lalu.
Tapi, petani tetap jalan terus.
Daerah-daerah seperti Lampung Timur yang semula identik dengan lada, bersalin rupa menjadi lumbung-lumbung singkong.
Singkong kala itu menjadi sebuah fenomena luar biasa. Ia tren baru tak hanya di sektor pertanian tapi juga gaya hidup. Minimnya suplai singkong ke industri-industri pengolah, membuat harganya dinamis dan cenderung naik.
Orang kaya-orang kaya baru dari singkong bermunculan. Sama seperti ketika lada dan kopi masih mendominasi, desa adalah tambang uang yang sebenarnya waktu itu.
Kepala Bappeda Lampung yang kala itu masih dijabat eks Menteri Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar bahkan harus merumuskan kebijakan tata ruang wilayah seiring masifnya tanaman singkong di Lampung.
Tapi, petani tak peduli, singkong adalah masa depan baru buat mereka. Untung rugi buat mereka hanya dihitung dengan jalan pintas; masa tanam dan harga jual yang kemudian dibandingkan dengan lada maupun kopi.
Selama periode awal 90-an hingga tahun 1998, harga singkong mencapai puncak keemasannya. Tren diversifikasi pun terus berlangsung. Sejauh-jauh mata memandang, Lampung hanya tentang budidaya singkong.
Sampai kemudian, ketika kepemimpinan Pudjono beralih ke wakilnya, Oemarsono, harga singkong mulai fluktuatif. Saat musim tanam harga melonjak, tapi saat panen harga anjlok.
Permasalahan ini sebenarnya sepele, di saat musim panen, singkong membanjiri pasar, tapi tak semuanya bisa terserap oleh pasar; suplai tinggi permintaan rendah, suplai tinggi harga anjlok, dari sini petani mulai menjerit-jerit kembali.
Sementara, lahan-lahan sudah berubah total jadi kebun-kebun singkong yang subur.
Ini jadi pe er buat Oemarsono di awal-awal kepemimpinannya.
Tingginya produktivitas singkong yang tak sebanding dengan daya serap dan harga ini, kemudian menjadi bahan telaah serius. Ia melihat, fenomena ini harus ada solusi agar produksi bisa terserap sepenuhnya, atau setidaknya jika tak semuanya diserap industri ada alternatif cara pengolahan lain, sehingga tak terus tergantung dengan industri.
Misi Oemarsono ini kemudian diterjemahkan Haris Hasyim dengan merumuskan program Desaku Maju Sakai Sambayan (DMSS), semua digandeng termasuk akademisi yang ahli di bidang pertanian hingga ekonom-ekonom Unila pada waktu itu, untuk urun pikiran mencari solusi.
‘Produk’ turunan dari Desaku Maju Sakai Sambayan hasil rumusan stake holder ini yang kemudian dikenal dengan program Industri Tapioka Rakyat atau Itara
Sebagai regulator, pemerintah memfasilitasi bantuan mesin-mesin penggiling singkong untuk dijadikan tepung yang disalurkan melalui koperasi-koperasi yang ada di desa.
Saat itu, Itara efektif menyerap singkong-singkong petani yang merata di desa, konsepnya juga matang, dari petani untuk petani, dari hulu hingga hilir.
Singkong hasil panen serapannya dipecah dalam dua konsentrasi, untuk industri dan untuk pengolahan sendiri. Itara sukses mendongkrak kesejahteraan petani, dengan menambah nilai guna singkong yang tak hanya dijual mentah.
Sejak itu, budidaya singkong memang terus bertahan dan dipertahankan, dan malah makin meluas.
Itara juga yang secara tak langsung menjadikan Lampung sebagai produsen singkong terbesar di Indonesia. Tahun 2024 lalu saja, total produksi singkong mencapai 7,9 juta ton, bandingkan dengan Jawa Tengah di urutan kedua yang hanya mampu memproduksi 2,9 juta ton singkong tahun 2024.
Dengan luas lahan budidaya hingga 254 ribu hektare, Lampung menyumbang 51 persen total produksi singkong nasional, yang menempati Indonesia di urutan kelima, produsen singkong terbesar di dunia.
Jika merujuk data Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Lampung tahun 2024, kontribusi singkong terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Lampung mencapai 8 persen dari total PDRB Lampung yang nilainya Rp480 triliun per tahun. Dengan kata lain, uang yang beredar di Lampung setiap harinya itu, sebagian besar berasal dari singkong dan produk turunannya.
Era Oemarsono bisa dikatakan masa-masa bulan madu buat petani singkong Lampung.
Ketika kepemimpinan beralih ke Sjahroedin ZP, singkong mulai terpinggirkan, fokus tiap pemimpin mulai bercabang, riak gejolak di petani singkong mulai muncul, apalagi pengembangan program Itara juga mulai terbengkalai sejalan dengan arah kebijakan masing-masing pemimpin, belum lagi industri tapioka mulai menancapkan pengaruh pada harga singkong.
Hasil telaah Bank Indonesia dalam Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK) Pengolahan Tepung Tapioka tahun 2004 menyebut, banyak Itara yang tak bisa bersaing dengan industri besar dalam pengadaan bahan baku singkong, selain itu mereka juga mulai kesulitan dalam memasarkan produk-produknya.
Ada pihak ketiga yang berusaha memonopoli. Tudingan mengarah ke industri tapioka yang mencoba menguasai lini. Harga dibuat tinggi, sehingga banyak petani yang kemudian mengalihkan hasil panennya ke industri daripada ke Itara.
Saat itu, produksi singkong memang sedang benar-benar berada di puncak, agak masuk akal jika kemudian industri mengincar hasil-hasil panen dengan iming-iming harga terbaik.
Setelah Itara gulung tikar, praktis industri tapioka makin menguasai dan menggurita, monopoli harga singkong pun mulai dilakukan, harga singkong kembali anjlok, petani merugi dan tak berdaya.
Inisiatif kemudian dilakukan dengan membuka keran investasi melalui pengembangan singkong untuk bahan ethanol—sejenis alkohol untuk bahan bakar.
Keran investasi dibuka tahun 2004, investor ramai-ramai membangun pabrik ethanol di Lamteng, Lamtim dan Lampura.
Ethanol menjadi angin segar buat petani, harga singkong kembali bersaing, waktu itu di angka Rp1.000 per kilo, setidaknya untuk mengimbangi dominasi industri tapioka yang semaunya membanting harga singkong.
Kartel singkong rupanya merasa tersaingi dengan keberadaan ethanol. Ada kesan, harga singkong seperti diombang-ambing tapi trennya dibikin terus naik oleh industri tapioka, tujuannya jelas untuk membungkam industri ethanol yang mengancam eksistensi mereka, seperti Itara dulu.
Dulu, tahun 2004-2006, harga singkong Rp1.000 per kilo adalah harga terbaik saat itu, oleh industri tapioka harga ini dinaikkan kembali menjadi Rp2.000 per kilo. Harga yang sangat fantastis untuk ukuran petani singkong kala itu, dengan marjin kenaikan hingga 100 persen.
Praktis, hasil produksi yang semula diserap dalam dua industri berbeda; tapioka dan ethanol, setelah industri tapioka menaikan harga singkong versi mereka, petani jelas lebih memilih menjual singkongnya ke industri tapioka daripada ethanol yang masih bertahan di angka Rp1.000 per kilo.
Nasib ethanol seperti mengulang Itara, ikut tumbang karena tak mampu membeli hasil panen di atas harga Rp1.000 per kilo, apalagi saat itu, kebanyakan pabrik ethanol di Lampung baru berkembang.
Tak tanggung-tanggung, perusahaan internasional sekelas PT Medco Energi harus menelan kerugian hingga $20 juta akibat persaingan harga dengan industri tapioka.
Alasan penutupan juga sama dengan Itara dulu, pabrik-pabrik ethanol kesulitan mendapat bahan baku, karena singkong habis diserap oleh industri tapioka.
Selepas ethanol tutup, praktis industri tapioka kembali menguasai keseluruhan rantai industri, disini harga singkong kembali turun.
Sejak itu, pemerintah seperti sudah mulai patah arang, singkong memang sudah tak terlalu diperhatikan. Seperti dilepas begitu saja ke pasar, apalagi di era Ridho dan Arinal.
Pemerintah cenderung fokus ke masalah infrastruktur, yang memang jadi masalah yang tak berkesudahan buat tiap periode pemimpin, masalahnya hanya itu-itu saja, dan singkong makin tersisih.
Belum lagi, membanjirnya singkong impor dari Thailand dan Filipina di Indonesia juga makin memperparah keadaan.
Secara kualitas, singkong asal Thailand dan Filipina memang jauh jika dibandingkan dengan singkong lokal, demikian juga soal harga.
Apalagi, produktivitas singkong di kedua negara itu melebihi kemampuan produksi singkong lokal, di Thailand dan Filipina, produktivitas singkong per hektar rerata sudah mampu menghasilkan hingga 50 ton, sedangkan di Indonesia masih sekitar 25 ton per hektar.
Saat harga singkong terus terpuruk dan singkong impor memenuhi gudang-gudang industri tapioka, gejolak petani tak lagi dapat dibendung.
Gelombang aksi muncul, dari yang semula berupa riak-riak kecil di tiap daerah-daerah sentra singkong kemudian menggumpal hingga ke Lapangan Korpri Pemprov Lampung.
Gelombang aksi paling besar petani singkong setidaknya sudah dua kali terjadi sepanjang 2024-2025, hingga berujung terbitnya Instruksi Gubernur Lampung Nomor 2 Tahun 2025, yang salah satu poinnya menetapkan harga beli singkong minimal Rp1.350 per kilo dengan rafaksi maksimal 30 persen.
Tapi, pasca instruksi itu ditandatangani, petani singkong tetap saja seperti dipermainkan, masih banyak industri dan pengepul yang menetapkan harga jauh di bawah ketentuan Instruksi Gubernur Nomor 2/2025 dengan standar rafaksi hingga lebih dari 35 persen (.)