Saatnya Gelorakan Kembali Bahasa-Budaya Lampung

About Author
0 Comments

Budayawan Lampung, Anshori Djausal, mengunggah link youtube yang isinya diskusi Konservasi Rawa untuk Ketahanan Pangan (Bolaknya Orang Tulang Bawang). Narasi di laman facebook-nya mengungkap keprihatinannya terhadap perkembangan kebudayaan atau eksistensi bahasa Lampung terkini.  

(Lontar.co): “Bahasa nenekku..bahaso tiyan lebo. Saya punya satu bahasa ibu, Sungkay. Dialek A. Punya bahasa nenek juga, bahasa Menggalo, dialek O. Di masa kecil, dua bahasa ini dipakai untuk komunikasi di rumah. Sementara tetangga banyak sekelik dari Menggalo yang exodus ke kotabumi satu abad sebelumnya.

Teman sepermainan juga banyak orang Abung, bahasanya dialek O juga. Saya juga berbahasa Abung cukup lancar, bahasa pergaulan. Kalau ada orang, lahir, besar dan hidup di Lampung tetapi tidak bisa berbahasa Lampung.. Kelewatan, dehh. Gak mau belajar atau komunikasi dengan ulun Lampung. Bahasa Inggris aja dipelajari. Hadeuh..”

Ini adalah sinyal nyata yang mesti disikapi secara positif bagi pengambil kebijakan di Provinsi Lampung, agar bahasa yang di dalamnya terkandung tradisi (budaya) Lampung tidak asing dan kesepian di negerinya sendiri. Sebab kepunahan sebuah bahasa mengandung implikasi luas, yakni hilangnya bahasa penutur.

Sekaligus juga pada apa yang ada di balik bahasa yang secara inheren melekat di dalamnya, yaitu kebudayaan penuturnya.

Sebab melalui bahasa, nilai-nilai, tradisi, dan warisan budaya Lampung dapat dilestarikan dan ditransmisikan kepada generasi berikutnya. Jika bahasa Lampung punah, maka dasar eksistensi tradisi Lampung akan ikut punah.

Bahasa Cerminkan Budaya

Edward Sapir (1884-1939) dan Benjamin Lee Whorf 1897-1941), keduanya linguis Amerika, melalui hipotesisnya yang lazim disebut relativitas bahasa, mengemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia.

BACA JUGA  Mengapa Kematian Bakas Begitu Mengkhawatirkan 

Di dalam hipotesis itu disebutkan, berbahasa bukan hanya menentukan corak berbudaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan pikiran manusia itu bersumber dari perbedaan berbahasa, dengan kata lain tanpa berbahasa manusia tidak akan mempunyai pikiran sama sekali.

Kalau bahasa memengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin dalam sikap dan berbudaya penuturnya.

Bahasa Lampung makin jauh penggunaannya diprgaulan keseharian generasi muda. (Ilustrasi: Lontar.co)

Untuk kembali menggelorakan bahasa Lampung tentu saja tidak mudah. Fakta hari ini etnis Lampung termasuk minoritas. Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2025 total jumlah penduduk Lampung 9.552.916 jiwa, proporsi etnis Lampung berada di kisaran 13,56 %.

Jumlah itu kalah jauh dari etnis Jawa yang mencapai 64,17 %, disusul etnis Sunda (sekitar 11,88%), Melayu (sekitar 5,64%), dan beberapa etnis lainnya seperti Bali, Minangkabau, Batak, Tionghoa, Bugis, dan lain sebagainya.

Menjadi minoritas berarti harus terus berkompromi dengan dominasi budaya lain demi keberlangsungan hidup sosial. Lantas bahasa Indonesia menjadi alat komunikasi utama lintas etnis, sehingga bahasa Lampung perlahan kehilangan ruang pakai dan fungsinya dalam kehidupan sosial sehari-hari.

Hasil riset Badan Bahasa Kemendikbud tahun 2022 menyebutkan, terdapat 139 bahasa daerah di Indonesia yang terancam punah, bahasa Lampung termasuk di antaranya. Menurut Data Balai Bahasa Provinsi Lampung tahun 2008 penggunaan bahasa Lampung sangat rendah: hanya 11,92% penutur.

BACA JUGA  Membayangkan Bandar Lampung sebagai Kota Tanpa Kabel Udara

Jumlah tersebut di bawah bahasa Jawa yang mendominasi dengan 61,88%, diikuti bahasa Sunda 11,27%, dan bahasa daerah lainnya seperti Bengkulu, Batak, Minang, dan Bugis sebesar 11,35%. Persentase ini menunjukkan betapa terpinggirkannya bahasa Lampung di tengah keragaman etnis dan bahasa yang ada.

Semakin berkurangnya pengguna bahasa Lampung berdampak pada terputusnya transmisi budaya antargenerasi, karena bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan wadah kebudayaan.

Ia menyimpan nilai, etika, struktur berpikir, dan memori kolektif suatu masyarakat. Maka terancamnya eksistensi bahasa Lampung, secara otomatis mengancam eksistensi budaya Lampung.

Faktor keberagaman bahasa dan budaya memperkuat tekanan terhadap eksistensi budaya lokal, terlebih posisi Lampung sebagai pintu gerbang Sumatera yang menjadikannya wilayah dengan tingkat migrasi tinggi sejak era kolonial.

Situasi semakin darurat karena minimnya riset, penulisan, kajian, dan perhatian pemerintah terhadap nasib bahasa dan budaya Lampung hingga sekarang.

Gerakan Terintegrasi

Keprihatinan Budayawan Lampung, Anshori Djausal, sangat mendasar. Sedianya Pemerintah Provinsi Lampung membuat kebijakan yang tepat terkait masalah bahasa, baik melalui Dinas Pendidikan, Balai Bahasa Provinsi Lampung, maupun lembaga pemerintah lainnya.

Semua harus duduk bareng, menyusun dan memiliki visi bersama dalam upaya menggelorakan kembali bahasa Lampung.

Sehingga apapun sukunya, sepanjang ia tinggal dan berkembang di Lampung, idealnya dapat berbahasa Lampung pula.    

BACA JUGA  Jalan, Komoditas Politik yang Tak Pernah Mulus

Kegiatan-kegiatan yang telah diselenggarakan, meskipun seringkali meriah dan menarik, terkadang terasa parsial dan terfragmentasi. Ada pertunjukan seni di satu tempat, pameran kerajinan di tempat lain, dan lokakarya bahasa Lampung yang terpisah.

Semua itu adalah langkah positif, namun kurang terangkai dalam benang merah yang sama. Visi yang tidak jelas ini menciptakan sebuah situasi di mana setiap pihak bekerja berdasarkan interpretasinya sendiri, tanpa ada keselarasan yang optimal.

Akibatnya, energi dan sumber daya yang dicurahkan tidak menghasilkan dampak kumulatif yang signifikan, melainkan hanya efek gelombang kecil yang cepat menghilang.

Lebih jauh lagi, partisipasi aktif masyarakat seringkali terbatas pada lingkup yang sempit. Masyarakat adat yang sesungguhnya menjadi pemilik dan penjaga budaya, terkadang hanya dijadikan objek pameran, bukan subjek yang diberdayakan untuk menjadi agen perubahan.

Visi yang kabur ini membuat masyarakat sulit untuk melihat peran mereka dalam pemajuan kebudayaan, sehingga kepemilikan dan keberlanjutan inisiatif budaya menjadi pertanyaan besar.

Pada akhirnya, visi pemajuan bahasa atau kebudayaan Lampung terasa seperti lukisan abstrak yang indah namun sulit diinterpretasikan. Keindahan itu ada, niat baik itu nyata, tetapi arahnya masih samar.

Untuk benar-benar memajukan kebudayaan Lampung, dibutuhkan lebih dari sekadar retorika dan kegiatan sporadis. Dibutuhkan sebuah visi yang konkret, terukur, dan melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Tanpa itu, pemajuan kebudayaan Lampung akan tetap menjadi sebuah mimpi yang indah, namun terperangkap dalam kabut ketidakjelasan, sulit untuk diraih, apalagi diwujudkan sepenuhnya. (*)

Alexander Gebe (Seniman/Penulis)

Further reading

  • Betapa Mahal Alam Membalas

    Meski air sudah surut. Tetapi, duka cita warga dan keluarga korban banjir di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, belum pulih benar. Pemulihan pascabencana (disaster recovery) itu yang amat berat! (Lontar.co): Trauma oleh bencana, tak mudah menghapusnya. Seorang kenalan yang langsung terlibat dalam bencana tsunami di Aceh 26 Desember 2024, “luka”-nya sampai kini belum pulih. Seluruh […]
  • Ijazah, Hanya Satu Kata, Tunjukkan!

    Di Kantin Nusantara TIM Jakarta, suatu hari di bulan September 2025, obrolan dari seni, sastra, dan akhirnya sampai ke soal ijazah. Masalahnya yang menyita publik Indonesia berbulan-bulan, namun belum ada celah untuk mendapatkan cahaya! (Lontar.co): Kawan, yang juga sastrawan dan akademisi di suatu perguruan tinggi swasta di Jakarta itu, sampai pada statemen bahwa ijazah Joko […]
  • In Memoriam Tjahjono Widarmanto:  Membaca Tanda ‘Senja Cokelat Tua’  

    Tiba-tiba saya teringat puisi Tjahjono Widarmanto — kembaran Tjahjono Widijanto, keduanya sastrawan, dimuat KBANews, tatkala saya baca kabar lelayu yang dibagikan Tengsoe Tjahjono di FB-nya, Kamis 27 November 2025 pagi. Nama yang disebut terakhir juga sastrawan. Ketiganya adalah akademisi.  (Lontar.co): Puisi itu berjudul “Angin, Malam, dan Catatan Beku”. Ini puisi lengkap Tjahjono Widarmanto (selanjutnya saya sebut […]