Rampungkan S2 di UGM, Leonardo Tambatkan Harapan di Agroforestri

0 Comments

Rampungkan S2 di UGM, Leonardo Tambatkan Harapan di Agroforestri

0 Comments

Muamar Leonardo bukan sosok rekaan seperti di sinetron. Bila di skenario terbiasa digambarkan sosok sarjana kembali ke desa lalu terlibat asmara. Lantas di ujung cerita sudah menunggu hal klise. Cinta berpaut bak gayung bersambut. Benar, Leonardo lulusan S2 Universitas Gadjah Mada. Tetapi dia pulang ke Punduh Pidada bukan untuk menjemput romantika. Dia balik ke rumah lantaran ibu dan adik-adik perempuannya. Ganjarannya ia mampu meraup penghasilan hingga Rp100 juta.

(Lontar.co): Desa selalu menawarkan suasana berbeda. Pun dengan Panglon, Desa Batu Raja, Kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran. Di sini masih mudah didapati daun cengkeh dan tangkai buah pala bergoyang pelan dibelai angin. Suara siamang, hewan yang mulai langka di daerah lain, di tempat ini pekikan khasnya masih terdengar lantang, sambil ditingkahi siulan burung kicau dan derit serangga di balik belukar.

Di antara pepohonan buah dan rempah itu, terselip pemandangan puncak Gunung Tanggang yang menjulang. Pada suasana serupa inilah Leonardo banyak menghabiskan waktunya sehari-hari. “Saya ambil jurusan Teknologi Hasil Perkebunan sewaktu S2,” ucap lelaki ramah ini membuka obrolan, Sabtu (14/6/2025).

“Tahun 2019 saya lulus. Sempat terlintas kepingin kejar mimpi di perkotaan seperti rekan-rekan lain. Tapi saya selalu teringat wajah ibu dan adik-adik perempuan saya,” sambung Leonardo.

Ayahnya, imbuh dia, sudah tiada. Sedangkan ibu, kondisinya semakin sepuh. Berat buatnya membiarkan ibu hanya bersama kedua adik perempuannya di kampung. “Mereka yang membuat saya ambil keputusan untuk pulang,” ungkapnya.

Masa awal di kampung dirasa berat oleh Leonardo. Kawan-kawan sepermainan sewaktu remaja tak lagi dijumpainya. Mereka justru banyak yang merantau mengadu peruntungan ke perkotaan. “Sepi banget. Kawan-kawan lama sudah banyak tak ada. Cuma kebun dan hutan yang dilihat,” kenangnya.

Tapi Leonardo paham, hidup harus terus berlanjut. Itu artinya dia juga mesti mengupayakan sumber penghidupan. Karena bukan di dunia rekaan sinetron, ia langsung dihadapkan pada realitas. Mau berkebun tapi tak tahu mesti belajar berkebun dengan siapa. Sementara banyak lahan di kampung yang dibiarkan terbengkalai karena pemiliknya berada di kota.

Padahal seingatnya, di tempat ini pernah dikenal berjaya dengan kebun cengkehnya. Sayangnya kejayaan itu pudar usai serbuan hama merajalela. Warga menyerah. Pohon cengkeh diganti pohon kopi.

Lagi-lagi harapan tinggal harapan. Panen kopi yang diidam-idamkan membludag, ternyata kandas. Buah kopi hanya diperoleh sedikit. Cari punya cari, kiranya kesuburan tanah yang rendah menjadi biang keladi dari kegagalan. Warga terlanjur kecewa. Lahan kebun kopi akhirnya dibiarkan begitu saja.

BACA JUGA  Petani Kopi di Hutan Pesawaran, Ubah Limbah Dapur Jadi Penyubur

Pada kondisi seperti itu Leonardo mengawali langkahnya berkebun. Dia mencoba meneruskan tradisi pendahulu dengan berkebun buah pala. Di waktu lain, dia juga menanami lahannya dengan berbagai bibit tanaman.

Lama berjuang, alih-alih menuai suka cita, Leonardo justru dihadapkan pada kenyataan pahit. Banyak bibit yang dia tanam berujung mati. Disinyalir karena salah urus. Sedangkan buah pala yang dipanen jumlahnya juga tak seberapa. Bahkan hasilnya tak sepadan dengan biaya yang sudah dikeluarkan.

Leonardo dipaksa menelan pil getir kegagalan sekaligus menanggung kerugian. Rugi biaya, tenaga, waktu juga pikiran. “Saya hampir menyerah. Karena mental sempat down waktu itu,” ceritanya.

Belajar dari Kegagalan

Cukup lama Leonardo merenungi nasib. Sempat pula terlintas ingin berkemas dan menghubungi rekan-rekan kuliahnya dulu yang sekarang sudah banyak menapaki karir di berbagai perusahaan multinasional. Tapi bayang-bayang wajah ibu dan adik-adik perempuannya tetap kuat menarik. Bahkan sekarang, muncul pertimbangan baru yang memberatkan dirinya untuk hengkang dari desa.

Ada tantangan baru yang mengusik ketika ia mendapati banyak lahan di kampungnya yang terbengkalai tak dimanfaatkan. Benar, memang ada problematika lahan yang tidak subur. Tapi Leonardo punya keyakinan mestinya itu bisa dicarikan solusi.

Tanpa disadari dia justru telah menaruh perhatian besar terhadap kebun dan lahan. Langkahnya dimulai dengan menginventarisir seluruh kegagalan yang pernah dialaminya saat memulai berkebun. Mulai dari modal, lalu pengeluaran yang digunakan, serta alokasi pembiayaan, sampai jumlah kerugian tak luput dicatat.

Yang paling digaris bawahi ialah kesalahan-kesalahan apa yang telah diperbuatnya selama berkebun. “Dari situ saya jadi tahu, langkah apa yang harus saya ambil untuk memperbaikinya,” jelas Leonardo.

Dia lalu mencari berbagai referensi yang berkenaan dengan persoalan perkebunan yang pernah dia temui. Ia simak dan pelajari dengan serius. Sampai perhatiannya tertumbuk pada gagasan mengembangkan konsep agroforestri.

Secara konsep, agroforestri adalah sistem pengelolaan lahan yang menggabungkan tanaman pohon (kehutanan) dengan tanaman pertanian atau ternak dalam satu unit lahan, baik secara bersamaan atau bergantian.

Metode agroforestri bertujuan mewujudkan keseimbangan ekologi, ekonomi, dan sosial. Sistem ini dirancang untuk memanfaatkan lahan secara efisien, meningkatkan produktivitas, serta mendukung keberlanjutan lingkungan.

“Saya tertarik dengan konsep itu. Saya pelajari lalu diterapkan,” kata Leonardo. Dia memulai langkah awal dengan menanami lahan yang dimiliki dengananeka jenis tanaman buah. Seperti alpukat, durian, dan pala.

BACA JUGA  Twitter Sudah Pernah, Kini Facebook “Beri Ruang” Fantasi Sedarah, Normalisasi Inses?

“Waktu itu niatnya sederhana saja. Saya mau kebun ini bisa tetap menghasilkan, sekaligus juga menjaga kesuburan tanah dan ketersediaan air tanah,” urainya. Leonardo berharap selain memberi produksi buah-buahan, konsep agroforestri juga mampu menghasilkan oksigen yang bersih dan perlindungan terhadap tanah.

Saat dikunjungi kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung dan kepala BPHL Wilayah VI Bandarlampung. (Foto: Yopie Pangkey)

Tapi, Leonardo tidak puas hanya melakukan sendiri. Dia berupaya menggugah minat warga kampung untuk mengikuti langkahnya. Pada tahap awal, tidak sedikit yang merespon negatif. Bahkan mencemooh. Konsep yang diajukan Leonardo bahkan disebut sebagai konsep teoritis khas anak kuliahan yang belum tentu bisa diterapkan secara nyata.

“Saya anggap wajar kalau responnya begitu. Karena ini memang hal baru buat mereka. Untungnya, seiring waktu, yang saya kerjakan di kebun bisa menjadi contoh nyata bagi warga. Mereka jadi paham kalau konsep agroforestri memang bisa diwujudkan,” katanya.

Pada lahan yang digarap Leonardo, kini tumbuh kombinasi harmonis antara pohon tua dan tanaman muda. Di musim panen, buah-buahan segar siap dipetik dan dijual atau dikonsumsi keluarga. Sedangkan pada musim paceklik, keberagaman tanaman memastikan ada yang tetap bisa dipanen.

Tanpa dinyana mulai muncul kesadaran di antara warga. Satu per satu mulai berdatangan untuk sekadar bertukar pikiran seputar agroforestri dengan Leonardo atau malah langsung mempraktikkannya.

Bertambah bulan, bertambah pula warga yang tertarik dan ikut menerapkan konsep tersebut. Langkah berikutnya Leonardo membentuk kelompok Tani Hutan (KTH) Tunas Muda.

Bak gayung bersambut, pada 2023, ada momentum yang menjadi titik balik. KTH yang dipimpin Leonardo mendapat izin kelola hutan lewat skema perhutanan sosial. Semenjak itu bantuan mulai berdatangan dari KPH Pesawaran, Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, BPHL Wilayah VI Lampung, dan BPDAS WSS.

“Kami dibantu banyak bibit. Mulai dari bibit durian, alpukat, kakao sampai cabai,” terang Leonardo.

Menurutnya, bantuan yang diterima bukan dipandang sebatas bantuan bibit semata. Lebih dari itu, ini merupakan sebentuk kepercayaan pemerintah yang diamanahkan kepada mereka.

Tak heran, sambung Leonardo, bila pemberian izin dan bantuan ini direspon positif oleh warga di desanya maupun desa tetangga. Termasuk dari kalangan anak muda yang sebelumnya cenderung berorientasi pergi ke kota. Kini berangsur-angsur di antara mereka mulai berkenan terlibat aktif di kegiatan kelompok.

“Sebelumnya, warga merasa harga bibit termasuk mahal. Jadi walau pun sudah punya lahan, sudah ada niat untuk berkebun, tapi tidak punya uang untuk membeli bibit. Makanya, dengan datangnya bibit bantuan, animo masyarakat kembali muncul. Ditambah lagi mereka juga sudah melihat hasil nyata dari program agroforestri ini,” kata Leonardo.

BACA JUGA  Antara Abung Mamasa, Din Bacut dan IJP Lampung

Dia juga menjelaskan, izin perhutanan sosial yang diberikan pada kelompok mereka berlaku selama 35 tahun dan bisa diperpanjang. Artinya, lahan yang dikelola secara baik dan benar, hak pengelolaannya bisa diteruskan ke anak-cucu.

“Jadi konsep agroforestri dalam skema perhutanan sosial ini, bukan sekadar soal bertani saja. Melainkan tentang membangun masa depan bersama yang berkelanjutan,” terang Leonardo.

Terkait pengembangan wawasan bagi anggotanya di KTH Tunas Muda, dia memastikan akan terus dikembangkan. “Sekarang relatif lebih mudah untuk bertani atau berkebun secara profesional. Kita bisa belajar dengan memakai akses internet. Ada banyak referensi di sana yang bisa dipelajari, juga sebagai informasi pembanding. Misalnya lewat diskusi daring atau mengadopsi pengetahuan di Youtube. Dengan begitu kita bisa update terus perkembangan perkebunan atau hal lainnya,” ucap Leonardo.

Mengenai penghasilan yang bisa diperoleh dari menerapkan konsep agroforestri, Leonardo menyebut angka Rp100 juta per tahun.

“Itu rata-rata, ya. Terkadang petani kebanyakan kurang telaten untuk mencatat. Padahal mencatat itu penting. Jadi tidak asal panen. Berapa hasilnyadan berapa biaya dari usaha selama ini. Semua dicatat. Dengan begitu kita bisa tahu jumlah penghasilan dan pembiayaan kebun setiap tahun,” paparnya.

Terkait jumlah penghasilan di kelompok tani, Leonardo berpendapat, sebenarnya potensi penghasilan yang didapat bisa lebih besar, seandainya mereka tidak lagi bergantung pada tengkulak.

Saat ini salah satu tantangan yang dihadapi mereka memang masih berkutat pada harga jual yang belum maksimal. Penjualan memang terbilang lancar. Tapi harga jual masih sangat ditentukan tengkulak sebagai pembeli. Akibatnya margin keuntungan menjadi tipis.

“Andai rantai tata niaga bisa diperpendek, dan intervensi tengkulak bisa ditiadakan, sangat mungkin diperoleh harga jual yang ideal,” ucap Leonardo. Oleh karenanya dia bersama anggota kelompok terus mencari formulasi tata niaga yang lebih efektif dan efisien. Sehingga tidak ada lagi intervensi tengkulak.

“Satu per satu kita coba carikan jalan ke luar, seperti di awal dulu saya mengawalinya,” imbuh Leonardo, seraya melempar pandangan ke demplot agroforestri yang tampak rindang, sekaligus menjanjikan untuk masa depan. (*)

Penulis: Yopie Pangkey (blogger/fotografer)

Further reading