Petani Kopi di Hutan Pesawaran, Ubah Limbah Dapur Jadi Penyubur

0 Comments
Fatoni sedang mempraktikkan pembuatan pupuk sederhana bermanfaat nyata. (Foto: Yopie Pangkey).

Petani Kopi di Hutan Pesawaran, Ubah Limbah Dapur Jadi Penyubur

0 Comments

Di saat banyak yang pasrah pada pupuk kimia dan harga pasar, Fatoni dan para petani di Desa Sinar Harapan memilih jalan berbeda. Mereka tak ingin merusak tanah demi panen semusim. Sebaliknya, mereka ingin merawat tanah, hutan, dan masa depan. Maka dimulailah satu ikhtiar sederhana, meracik pupuk berbasis ecoenzim dari sisa buah dan sayur. Lalu semua “diaduk” dalam semangat menjaga alam.

(Lontar.co): Hari itu, Sabtu (21/5/2025), rumah Fatoni, Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Agroforestri Lestari, tak ubahnya seperti “laboratorium rakyat”. Puluhan orang hadir. Dari petani, mahasiswa dan dosen Politeknik Negeri Lampung (Polinela), pengusaha kopi lokal, hingga Kepala KPH Pesawaran. Mereka datang bukan sekadar hadir. Melainkan untuk belajar, mengaduk fermentasi, berdiskusi tentang harapan yang ditanam lewat pupuk organik.

Fatoni percaya, perubahan tak harus menunggu instruksi pemerintah. Perubahan bisa dimulai dari kebiasaan sehari-hari. Bahkan dari dapur. Dari niat menjaga hutan tetap hijau, tanah tetap subur.

Hairul Saleh, pemilik Gens Coffee Roastery yang juga hadir dalam pelatihan itu, menyebut inisiatif Fatoni tak bisa dipandang remeh. Ia mengatakan, kopi bukan hanya soal biji yang disangrai. Tapi tentang proses panjang dari tanah, sinar matahari, kelembaban udara, hingga perawatan pohon kopi itu sendiri.

BACA JUGA  Rampungkan S2 di UGM, Leonardo Tambatkan Harapan di Agroforestri

“Kopi juga bergantung pada faktor alam. Panen tahun ini belum tentu sama rasanya dengan panen tahun depan. Ada suhu, ada hujan, intensitas cahaya matahari, kondisi tanah. Semua itu bisa memengaruhi rasa kopi,” ujarnya.

Menurutnya, praktik pertanian yang baik alias GoodAgriculture Practice wajib diterapkan. Salah satunya dalam hal pemupukan.

“Saya pernah tanya ke Fatoni, ada nggak pupuk non-kimia? Dia bilang ada. Dari situlah tercetus kegiatan ini. Supaya apa pun yang kita ambil dari hutan, bisa kita kembalikan lagi ke alam tanpa merusak,” katanya.

Tak hanya menjaga alam, penggunaan pupuk organik ini juga memberi keuntungan ekonomi bagi petani. Itu ditunjukkan lewat biaya produksi yang turun, hasil panen tetap terjaga, dan tanah hutan tak harus dikorbankan.

Herbisida dan Pestisida Alami

Dari aspek ilmiah, Giffary Pramafisi Soeherman, dosen Prodi Pengembangan Produk Agroindustri Polinela, menjelaskan ecoenzim dirancang khusus untuk menggantikan pupuk kimia yang selama ini banyak digunakan dalam sistem pertanian intensif.

BACA JUGA  Fenomena KDM Bapak Aing dan Kita yang Tak Pernah Mau Belajar dari Pengalaman  

“Ecoenzim ini dibuat supaya pupuk yang digunakan di agroforestri lebih ramah lingkungan. Dari alam, kembali ke alam,” jelas Giffary.

Ia memaparkan, bahan-bahan yang digunakan dalam proses ecoenzim berasal dari limbah dapur seperti pisang, jeruk, pepaya, dan sayuran busuk, yang kemudian ditambahkan molase dan air. Setelah difermentasi selama tiga bulan, larutan ini akan mengandung unsur hara penting, terutama nitrogen dari pemecahan protein yang sangat dibutuhkan tanaman.

“Nutrisi hasil fermentasi ini akan membantu pertumbuhan tanaman secara alami,” katanya. Ecoenzim, imbuh Giffary, bisa disesuaikan fungsinya. Misalnya untuk herbisida atau pestisida alami. Pembedanya bergantungg pada perbandingan yang disesuaikan.

Fatoni bersama mahasiswa Politeknik Negeri Lampung (Polinela) sedang mempraktikkan pembuatan ecoenzim. (foto: Yopie Pangkey)

Hasil nyata dari manfaat ecoenzim tersebut, menurut Fatoni, sudah diakui banyak kalangan. Termasuk Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Yanyan Ruchyansyah. “Beliau bilang, kopi produksi kami sudah enak. Kalau sudah bagus, ya dijaga. Jangan sampai turun kualitasnya,” ujar Fatoni mengenang pesan itu.

BACA JUGA  Antara Abung Mamasa, Din Bacut dan IJP Lampung

Kegiatan ini menjadi contoh bagaimana pelestarian hutan bisa berjalan beriringan dengan peningkatan produktivitas pertanian. Tak harus menebang untuk mendapat penghidupan. Tak harus merusak untuk bisa panen.

Fatoni, dengan tangan yang tak pernah lepas dari tanah, tetap percaya pada langkah kecil yang dibuatnya. “Dulu kami pikir semua harus dibeli, termasuk pupuk. Tapi ternyata, dari limbah dapur dan limbah kebun kami bisa bikin pupuk sendiri. Itulah ecoenzim,” kata Fatoni.

“Dengan agroforestri, kami bisa bertani tanpa merusak pohon. Hutan tetap ada, panen tetap jalan. Kami tak ingin hanya menunggu solusi dari luar. Kami mulai dari sini, dari apa yang kami punya,” tutupnya.

Dan benar. Mungkin, apa yang mereka lakukan belum menggetarkan ruang rapat kebijakan di Lampung dan Jakarta. Tapi di tengah kerusakan ekologi yang makin merayap, suara kecil dari kaki Gunung Pesawaran ini terdengar nyaring, bahwa bumi masih punya penjaga. Bukan dari gedung tinggi, tapi dari dapur sederhana dan niat tulus para petani.(*)

Penulis: Yopie Pangkey (blogger/fotografer)

Further reading