Noel (Immanuel Ebenezer Gerungan) menjadi viral beberapa hari ini. Ia, wakil menteri tenaga kerja, di-OTT pada malam 20 Agustus 2025. Ia ditangkap karena pemerasan di kementeriannya. Jejak digital dirinya pun kembali berseliweran di beranda media sosial.
(Lontar.co): Lelaki kelahiran 22 Juli 1975 di Riau ini meraih sarjana bidang sosial di Universitas Satya Negara Indonesia Jakarta (2004).
Noel, kabarnya aktivis 98, memimpin Jokowi Mania (JoMan). Otomatis, selain pengagum juga pembela (habis-habisan) Jokowi. Hasilnya, ia diangkat menjadi komisaris di BUMN.
Menilik rekam digital, dulu ia bagian dari yang melawan Prabowo. Tetapi, ketika Prabowo Subianto menjadi presiden RI, ia merapat. Bahkan masuk partai besutan Prabowo dan bonusnya diangkat sebagai Wamenaker dan komisaris. Kurang apa penghasilan Noel untuk perbulannya.
Menyimak Noel di berbagai diskusi ataupun pemberitaan media massa, bagaimana ia bernarasi maka dipastikan kita akan terkesima. Nalar kita spontan akan mengatakan, “Ini orang hebat, kita butuhkan anak muda seperti ini; tegas!”
Dalam narasi-narasi itu, Noel sangat membenci kemunafikan. Tidak menyukai “politisi tua” yang tak kreatif, para penguasa yang korup. Lalu, ia tegaskan, Para koruptor hukumannya adalah mati! Pada narasi lain, ia ungkapkan bahwa gajinya sebagai Wamenaker tak sebanding dengan tugasnya yang mengurus se-Republik.
Tapi, kata Noel, ia tak berpikir soal besar kecil gaji, melainkan karena panggilan hati sebagai aktivis. Lalu, ia menegaskan, kalau mau dapat uang lain-lain, ya cuma “nyopet”. Jadi copet
Betapa kita akan terpesona dengan Noel. Narasi-narasinya terasa tegas, Bagai “orang benar, orang suci”. Dan layaknya “sang malaikat” yang diturunkan Tuhan ke bumi. Ia pernah berhadapan dengan sejumlah debater politik, seperti Rocky Gerung. Tetapi, tampak ia tetap tegar, walaupun Gerung mengulitinya soal “mania” dalam arti sebenarnya.
Noel seperti dikatakan Presiden RI Pertama, Ir. Soekarno, beri aku sepuluh pemuda akan kuguncang dunia. Satu pemuda itu, seolah dirinya. Noel memang telah mengguncang melalui narasi-narasinya. Dengan cara pembelaannya kepada Jokowi lewat JoMan. Tentu cara guncangannya berbeda dengan yang dimaksud Bapak Proklamator Indonesia itu. Melainkan ulahnya yang suka bernarasi seakan melawan arus.
Noel sebelum ditangkap tangan oleh KPK, bagaikan banteng yang tak takut pada siapa pun. Yang tidak pernah bersedih. Maklum, Noel tiba-tiba (mendadak?) jadi milyarder. Kekayaannya berlimpah. Punya rumah (mewah?) yang minta renonacsi di kala ia menjabat wamen.
Sepertinya 180 derajat dengan apa yang dinarasikan dengan cukup menikmati gaji yang diterima, tidak mau mencopet uang rakyat, dan boleh jadi hidup lurus-lurus saja. Tegasnya, tidak ingin munafik.
Masyarakat umum akan percaya pada narasi-narasi Noel, kecuali orang-orang dekat yang sudah tahu dirinya, dan menggantungkan harapan penuh pada mantan aktivis 98 ini. Ia muda, baru 50 tahun, masih terbentang luas untuk kariermya. Ia juga sudah memilih Gerindra sebagai perahu menuju politikus serius kelaknya.
Tetapi, benar kata pepatah, orang akan terjatuh atau tersungkur oleh kata-katanya sendiri. Seseorang akan tersandung dengan kesombongannya. Noel congkak. Ini jika kita ikuti setiap tampilan dirinya di berbagai digital. Rekam jejaknya di sana tidak bisa dihapus. Kini, malah bersileweran, tentu dengan penambahan edit yang kadang miris dan lucu.
Noel adalah sosok publik. Berada di depan Jokowi untuk membela. Pada Pilpres 2024, ia nyaris mendukung Ganjar, tapi secepatnya ia balikkan setir ke Prabowo. Ia pun menclok di sini. Sukses! Naluri politisinya sungguh kuat. Ia sudah memprediksi siapa pemenang dan siapa yang kalah. Noel, seperti dalam narasinya, ia bukan pecundang. Terbukti sebelum ditahan KPK ia selalu moncer alias tak tercundangi.
Tetapi, secongkak-congkak bangau terbang, jatuhnya di kubangan (maaf peribahasa ini saya plesetkan demi menyesuaikan situasi). Syukur-syukur kubangannya itu bening, demikian pun Noel di dalam kubangan yang “kotor”. Diksi yang sangat tak ia sukai. Sebab ia pernah menggunakan diksi narasi kotor. Hehehehe. Ini juga ia ucapkan ketika kedua tangannya diborgol dan mengenakan rompi oranye.
Saat gagah-gagahnya, Noel tampak tegar, tak takut pada siapa pun. Bahkan kematian. Ini berbeda 180 derajat saat ia dipajang pada konferensi pers; matanya bagaikan dijatuhi gerimis. Beberapa kali tangannya mengusap, dan membetulkan posisi kacamatanya. Suara-suara di sana (apakah jurnalis?) mengejek, nangis nangis. Satu pertanyaan:
“Bang Noel, bagaimana 25 Agustus?”
Noel menjawab, “Batal.”
Meski Noel kemudian menunjukkan ketegaran, kepasrahan, dengan tetap tersenyum saat kamera para jurnalis ke wajahnya, sejatinya ia menangis. Batinnya merintih. Masa depan seolah pekat. Yang ada adalah gantungan, dan hukuman mati. Seperti selalu ia narasikan bagi koruptor.
Kata Noel sewaktu di podcast: “Soal maaf biarlah Tuhan, tapi soal hukuman harus dihukum mati! Kini ucapan itu, mungkin yang membayang-bayangi kehidupan Noel saat di titik nol. Dalam penjara KPK.
Setiap kata adalah doa. Noel pernah bicara ihwal bakal ada pejabat yang ditangkap. Selain, tentu saja, koruptor mesti dihukum mati. Tunggu saja, sebentar lagi, banyak pejabat bakal ditangkap. Futuristik. Jadi kenyataan.
Noel sudah ke titik nol. Di kala ini, ia akan melupakan narasi “hukuman mati”, sebab ia sedang menadah tangannya pada Presiden Prabowo Subianto diberikan amnesti.
Pertanyaannya kini, masihkah tersimpan di hati dan kepala narasi “hukum mati para koruptor”? Noel, tentu belum lupa ingatan, hatinya masih ada…(*)
Â