Nepal bukan kita. Kita adalah Indonesia; santun dan beradab. Jauh dari pikiran Nazi (Naziisme). Jijik pada keinginan pembantaian!
(Lontar.co): Viral, video-video unjuk rasa besar-besaran di Nepal. Demo yang tak lagi mengetengahkan misi perdamaian, menjelma jadi sungai darah, bantai, dan pengrusakan. Yang dihakimi massa adalah keluarga pejabat.
Beginikah cara orang Nepal turun ke jalan?
Nepal adalah negara yang terkurung di daratan Asia Selatan – kawasan Himalaya. Nepal berbatasan dengan Tiongkok (Cina) di utara, dan India di bagian selatan, timur, dan barat. Negara ini berbentuk republik demokratik.
Unjuk rasa masyarakat Nepal, menyaksikan dari video-video yang viral, sangat mengerikan. Paham Sade terasa sekali. Sade, kemudian kita mengenal dengan Sadisme, berlangsung terang-terangan. Para pejabat korup dan menperkaya diri, diarak lalu dianiaya/disakiti. Ada yang dilempar ke sungai. Istri pejabat diseret dan ditelanjangi. Seorang polisi wanita harus berlindung kepada masyarakat lantaran hendak dipermalukan.
Ini negeri macam apa? Apakah Nepal sudah kelewat batas memperlakukan rakyat? Jurang antara penguasa dan masyarakat begitu dalam? Antara si kaya dan si miskin berjarak bagaikan langit dan tanah? Penguasa dzalim, ingat, suatu waktu akan digulingkan oleh kekuatan yang sebelumnya lemah. Ini terbukti di Nepal.
Sebetulnya kehancuran penguasa dzalim tidak hanya di Nepal. Negara-negara lain sebelumnya telah mengalami. Indonesia saat dikuasai orde baru, terguling pula. Soeharto dilengserkan. Hanya seorang Soeharto, orang-orang kabinetnya tak diusik. Peristiwa Mei 1998 yang dirusak adalah fasilitas umum. Juga, kabarnya, pemerkosaan – namun perempuan-perempuan etnis Cina. (Kita bisa simak puisi esai Denny JA soal kegaduhan Mei 1998).
Kita bukan Nepal. Adat, etika, dan agama yang ada di Indonesia telah memperkuat perilaku agar kita tidak barbar. Jauh dari tindakan sadis. Sadisme diturunkan oleh Donatien Alphonse François, Marquis de Sade (2 Juni 1740-2 Desember 1914), seorang bangsawan, penulis filsafat dan sering pornografi. Lalu kita mengenal sadisme. Yakni kebebasan ekstrem, tak terikat dengan etika, agama, atau hukum, dengan prinsip utama pengejaran kepuasan personal.
Viral video-video demonstrasi di Nepal, bukan saja menunjukkan kepada kita perlawanan rakyat kepada penguasa. Akan tetapi, rakyat Nepal ingin mempertontonkan kekecewaannya pada penguasa yang selama ini korup. Hanya memperkaya pribadi dan kelompoknya.
Elit negara cuma berpikir bagaimana menumpuk harta sebanyak-banyaknya. “Apa urusan rakyat?” batin mereka. Walau mereka menyadari tanpa rakyat tiada arti. Di tangan rakyat melalui suaranya, mereka duduki kekuasaan. Bisa jadi beberapa periode.
Pemicu demonstrasi besar-besaran ini dimulai oleh protes gen z. Mereka protes pada gaya hidup mewah keluarga pejabat, memamerkan barang-barang mewah di media sosial. Sakit hati rakyat menyaksikan hidup glamor para penguasa itu, akhirnya mengental.
Mereka lampiaskan menggeruduk gedung-gedung pemerintah; merusak dan membakarnya! Tak terkecuali membakar rumah eks Perdana Menteri. Berujung istri eks PM Nepal terbakar di dalam rumah. Ia tak mampu menyelamatkan diri.
Nepal memang bukan kita. Nepal berbeda dengan Indonesia. Negeri yang dikurung oleh Tiongkok dan India, memiliki cerita sendiri dalam kasus unjuk rasa. Mengerikan. Tragik.
Ada anggapan suara rakyat adalah suara Tuhan. Suara yang bisa menentukan nasib dan nyawa seseorang. Begitulah Nepal. Ini dibuktikan ketika berlangsung demonstrasi baru-baru ini. Sehingga menyita perhatian penduduk dunia.
Ada apa di Nepal? Mengapa amarah massa tak bisa terkendali lagi? Kenapa unjuk rasa yang semestinya bisa dilakukan cara damai dan demokratis, namun justru ditunjukkan amat brutal dan barbar? Â
Kita bukan Nepal. Tetapi jumlah korban akibat unjuk rasa di sana, lebih sedikit dibandingkan kerusuhan Mei 1998 di Indonesia.
Tercatat akibat kerusuhan di Nepal baru lalu adalah  51 orang tewas, termasuk 21 pengunjuk rasa, sembilan narapidana, tiga petugas polisi, dan 18 orang lainnya, dengan lebih dari 1.300 orang terluka di seluruh negeri.
Sementara demonstrasi besar-besaran untuk melengserkan Soeharto pada Mei 1998, jumlah korban jiwa seperti tercatat dari  Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) adalah 1.217 korban meninggal dari total 1.308 korban (termasuk korban tewas, luka, dan kekerasan seksual).
Dari angka tersebut, 1.190 meninggal akibat senjata dan 564 terbakar. Peristiwa yang paling banyak memakan korban jiwa adalah pembakaran Plaza Sentral Klender, yang menewaskan antara 288 hingga 488 orang.
Akan tetapi, kerusuhan di Nepal telah menyita perhatian masyarakat dunia begitu kuat. Media sosial lebih cepat menyebarkan seketika, dan kita secepat kilat mengetahui. Terutama video-video dan gambar-gambar yang ditayangkan. Misal, pejabat yang dikejar-kejar pengunjuk rasa lalu lompat ke sungai, rumah dibuldoser dan dibakar, dan lain-lain. Â
Dan rakyat (Nepal) tampaknya membutuhkan saluran hasrat yang selama ini terpendam. Mungkin bertahun-tahun ditahan tanpa ada penyaluran bagi kekecewaannya. Baik personal maupun kelompok. Ketidaksamaan memperoleh hak, ketidakadilan sosial, lapangan kerja yang mampet atau pendapatan yang tak merata, jurang pemisah amat dalam antara yang kaya dan miskin.
Ya, kita bukan Nepal. Nepal tak sama dengan Indonesia. Kedua negara memiliki sejarah, budaya, dan perspektif yang berbeda dalam melihat pemerintah(an) dan penguasa. Perbedaan lain, jumlah korban dalam kerusuhan antara kita dan negeri itu. Kemudian, kalaupun ada persamaan; para (keluarga) pejabat suka memamerkan kekayaan, dan tingkat korupsi. Tabik pun! (*)