Delapan orang petani Anak Tuha baru-baru ini dilaporkan ke polisi setelah menggelar unjuk rasa di lahan yang menjadi objek sengketa tersebut pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-80, 17 Agustus 2025. Mereka dipanggil oleh Kepolisian Resor (Polres) Lampung Tengah untuk diperiksa sebagai saksi pada Selasa (19 Agustus 2025).
(Lontar.co): Semestinya ini adalah momen semua rakyat merayakan kemerdekaan, menghirup udara kebebasan dari segala bentuk penjajahan dan penindasan. Namun, faktanya tidak semua rakyat Indonesia sungguh-sungguh bisa merasakan kebebasan, merayakan kemerdekaan.
Masyarakat justru menjadikan momen sakral ini sebagai waktu yang tepat untuk memperjuangkan nasib mereka yang masih dijajah oleh korporasi. Mereka mengadakan demonstrasi dengan menanam singkong, pisang, dan bibit lainnya di lahan yang hari ini telah menjadi objek konflik antara masyarakat dengan PT Bumi Sentosa Abadi.
Ketika itu aparat dikerahkan, intimidasi meningkat, dan ruang dialog tertutup rapat. Sikap aparat yang kerap merepresi masyarakat ini mengundang keprihatinan banyak pihak. Ketidakadilan menjadi problem yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Jika tidak, bisa memicu konflik berkepanjangan.
Dan inilah yang terjadi di banyak wilayah di Indonsia, yang baru merayakan 80 tahun hari jadinya. Rakyat sipil memang harus memperjuangkan nasibnya sendiri. Sebab aparat dan pejabat mungkin sudah terlanjur memihak korporasi.
Mau bagaimana lagi? “Pada tahun 1981 terbit HGU (hak guna usaha) atas nama PT Chandra Bumi Kota. Masa aktifnya selama 25 tahun. Dari 1981 dampai 2006. Sedangkan cakupan lahannya seluas 807 hektare,” kata Kabid Humas Polda Lampung, Komisaris Besar Umi Fadillah, pada 3 Oktober 2023.
Kemudian pada 1990, PT Chandra Bumi Kota dibeli oleh PT BSA, berikut dengan asetnya berupa lahan singkong dan tebu. Pada 2004, PT BSA membeli lahan di Kampung Bumi Aji dan Negara Aji Tua seluas 144,87 hektare. Lalu, PT BSA mengajukan HGU pada 2005 untuk kurun waktu 35 tahun, sepanjang 2005-2040.
Beberapa warga mengklaim hak atas lahan tersebut dan mengajukan gugatan. Gugatan mereka ditolak Pengadilan Negeri Gunung Sugih. Masyarakat kemudian melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Tanjung Karang pada 2016.
Namun, lagi-lagi, upaya banding tersebut ditolak. Tak putus asa, masyarakat kembali melakukan upaya hukum dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 2017. Kembali nasib serupa berulang. MA menolak permohonan kasasi ini.
Polda Lampung mengatakan, PT BSA merupakan pemilik sah atas lahan yang menjadi objek sengketa. Karena korporat ini sudah memperpanjang HGU selama 25 tahun. Masa aktifnya berlangsung hingga 2029 mendatang.
Kalau sudah begini, rakyat sipil bisa apa? Para petani Anak Tuha sempat beberapa kali melakukan unjuk rasa untuk memprotes eksekusi lahan oleh PT BSA. Ratusan petani menggelar demonstrasi di gedung dewan. Sebagai pengamanan, kepolisian mengerahkan 1.000 personel gabungan.
Ya, begitulah. Masyarakat harus sadar dan taat pada hukum. LBH Bandar Lampung yang beberapa waktu ini menunjukkan kepedulian terhadap nasib petani Anak Tuha mengkritik cara pemerintah menangani konflik ini.
Pemerintah disebut melakukan pendekatan represif dan pembiaran atas kriminalisasi warga yang mempertahankan haknya. Siklus kekerasan yang berulang menunjukkan bahwa negara tidak hanya gagal, melainkan absen dari tanggung jawab historisnya untuk menghadirkan reforma agraria sejati, menurut LBH.
Belum lagi jika menengok pemanggilan terbaru terhadap delapan orang petani Anak Tuha, menunjukkan ketimpangan dalam memproses laporan polisi. Ada kecenderungan aparat kerap bergerak gesit jika ada laporan terhadap masyarakat.
Sebaliknya, jika masyarakat yang melaporkan intimidasi dari perusahaan atau kekerasan dari aparat penegak hukum, maka laporan terasa lambat diproses, bahkan berlarut-larut.
Lagi, ya begitulah nasib yang harus diterima sipil di Indonesia. Sejak orde lama (Orla), orde baru (Orba), hingga era reformasi, nasibnya tetap sama.
Perjuangan, Provokasi, dan Ditunggangi
Kalau ada masa aksi yang kritik pemerintah, acapkali muncul narasi ada provokator dan diksi ditunggangi. Ini lazim. Karena memang aturannya boleh aksi asal damai. Jangan merusak fasilitas umum dan lain sebagainya.
Sementara pada sejumlah momen juga dipercaya bahwa ada penyusup yang mengawali aksi damai berubah menjadi rusuh. Alhasil aparat represif. Menembakkan gas air mata, memukul, dan menangkap sejumlah orang yang dianggap provokator. Polanya selalu template seperti itu.
Padahal, secara nalar, jika ada aksi pasti ada inisiator, ada yang memobilisasi massa, dan ada kepentingan. Kepentingannya apa? ya memperjuangkan sesuatu. Kalau aksi tanpa ditungangi sesuatu jelas bukan aksi namanya.
Termasuk kasus petani Anak Tuha. Ada pandangan polisi dan pihak lain telah membangun narasi yang melemahkan perjuangan rakyat Anak Tuha dengan cap “provokator” dan “ditunggangi”.
Aparat selalu saja beranjak pada prinsip menjaga agar situasi tetap kondusif. Tapi kondusif bagi siapa? Jawabannya pasti bukan untuk Petani Anak Tuha. Sebab kalau situasinya kondusif, mereka tentu tidak akan aksi.
“Alih-alih menyelesaikan akar konflik agraria yang telah berlarut-larut selama puluhan tahun, aparat justru melemahkan perjuangan rakyat dalam menuntut hak atas tanah dengan menebar stigma provokator dan seolah memposisikan masyarakat sebagai korban yang ditunggangi kepentingan segelintir orang,” kata Prabowo, Kepala Advokasi LBH Bandarlampung, menanggapi pernyataan Kapolres Lampung Tengah yang menyatakan “telah mengantongi nama-nama oknum provokator” dalam aksi spontan masyarakat tiga kampung dari Kecamatan Anak Tuha.
Menyebut ada provokator adalah cara klasik negara dan aparat hukum untuk menutup mata dari sejarah panjang konflik agraria dengan PT BSA.
Masih menurut Prabowo, pernyataan Kapolres Lampung Tengah mencerminkan watak aparat yang lebih sibuk melayani kepentingan modal daripada mengayomi rakyat. Aparat penegak hukum seharusnya hadir menyelesaikan konflik agraria secara adil, bukan justru memperdalam jurang penderitaan rakyat dengan melakukan kriminalisasi dan memburu “oknum-oknum” yang dikonstruksi secara sepihak.
Barangkali sebagaimana nasib pejuang kemerdekaan di mata Belanda yang dianggap ekstremis itu, maka Petani Anak Tuha pun mengalami nasib yang sama. Meski sudah 80 tahun katanya kita merdeka, peristiwa yang dialami petani Anak Tuha menunjukkan bahwa masih banyak penjajahan di negeri ini, hanya beda caranya. (*)









