Nyaris tak pernah didapati anak-anak keracunan saat memakan masakan rumahan yang dibuat orangtuanya. (Ilustrasi: Lintar.co)

MBG: Keracunan Massal

0 Comments

Untuk mengurangi kepadatan penduduk, tidak harus menghilangkan satu persatu. Dengan cara “meracun”. Atau membakar rumah bersama pemiliknya. Bukan begitu solusinya.

(Lontar.co): Pertama kali Makan Bergizi Gratis (MBG) dicanangkan, sebetulnya sudah diragukan. Program Presiden Prabowo Subianto ini telah diworo-woro semenjak kampanye sebagai program unggulan jika ia terpilih.

Semula program makan bergizi gratis untuk mengentas kemiskinan sekaligus asupan gizi anak-anak Indonesia sejak dini. Supaya kelaknya tumbuh menjadi generasi cerdas dan berkualitas. Pintar juga kokoh tubuhnya.

Tetapi itu idealnya. Realita di lapangan, belum pula 12 bulan – 6 Januari hingga 28 September 2025 – sudah banyak masalah yang ditimbulkan dari MBG ini. Anak-anak sekolah keracunan setelah memakan gratis yang katanya bergizi. Belum narasi blunder pejabat, semisal “membolehkan” makan bekicot atau ulat sesuai di daerah tempatan yang tidak mengharamkan.

Anak-anak yang tadinya tak tahu apa-apa, dan mungkin jarang diberi asupan gizi, merasa bahagia banget. Mereka antre. Mendapatkan kotak atau “sebesek” makanan berisi nasi + sayur + ramuan gizi. Di jam makan, anak-anak sekolah itu akan bersukacita – riang gembira – memeroleh makanan dari petugas.

“Ayo makan bergizi, supaya badan berisi. Ayo makan gizi gratis, agar tubuh kuat tak mudah terkikis.”

BACA JUGA  Setelah PPN XIII, Nama pun Berganti FPN: Puisi Dipertaruhkan!

Seperti sebuah nyanyian, anak-anak Indonesia menyenandungkan. Kala menerima makanan bergizi. Mereka mengira pemerintah sangatlah baik. Negara begitu peduli pada pertumbuhan tubuh anak-anak bangsa. Karena di pundak dan di mata mereka, masa depan negara ini. Di tangan mereka, negara dan bangsa ini diwariskan.

Terekam sangat erat, W.R. Supratman dalam lagu “Indonesia Raya” menggelorakan: bangunlah jiwanya, bangunlan raganya. Ini bermakna bahwa sangat penting membangun bangsa ini secara utuh (kaffah), baik mental maupun fisik. Juga penting untuk hidup sehat, seimbang, dan berkarakter. Asupan gizi ditengarai salah satu jalan menuju ideal tersebut.

Lewat makanan bergizi (dan gratis pula), “kurang apa kebaikan pemerintah”? Negara, di sini, menganggap sudah serius memperhatikan kehidupan anak-anak sejak dini. Boleh jadi sebagian mereka sangat kurang mendapatkannya. Kalau tidak adanya program MBG. Alamak! Begitu nestapakah tingkat kehidupan rakyat Indonesia?

Indonesia “sedang tak baik-baik saja” layaknya nyanyian bersama. Seraya gemuruh seruan merantau dulu sampai pertiwi kembali membaik. Entah siapa pertama kali melempar pesimistis semacam itu. Meski diam-diam maupun jelas-jelas kita akui; benar adanya. Sejak kursi RI 1 diduduki Prabowo, ia mengingatkan bahwa negara perlu efisiensi (anggaran). Tetapi pada saat yang sama, para menteri dan kepala daerah sebelum pelantikan mengikuti retreat alias “sekolah” dulu. Dipastikan anggaran yang diperlukan tak kecil.

BACA JUGA  Limbah, Efek Domino MBG

Begitu pula MBG. Untuk sampai ke anak-anak sekolah, mesti ada dulu lembaga yang mengurus; soal bahan masakan, juru masak, membungkus, sampai distributor. Agar memenuhi standar pangan, dicari pula orang yang paham gizi dan “perdapuran”. Maka dibentuk badan yang dinamai Badan Nasional Gizi. Dari tingkat pusat sampai ke daerah. Berapa ribu orang yang dikaryawankan!

Akan tetapi, belum juga aman-aman amat. Terbukti berapa kali kasus anak-anak keracunan seusai makan bergizi yang gratis itu. Sialnya, di tengah kecemasan itu pemerintah masih nekat berdrama. Misal, kepala sekolah yang di bawah tekanan harus mengatakan, anak-anak yang muntah karena keracunan disebabkan kekenyangan. Alamak, kok tega-teganya berdusta di tengah kekhawatiran ini?

Lalu, ada pernyataan dari pejabat – lebih tepatnya anjuran – sebelum makanan diberi kepada anak-anak, kepala sekolah lebih dulu mencicipi. Artinya, dari pada anak yang keracunan lebih baik kepala sekolah. Ini bukan solusi.

Kenapa tak kita balik. Sebelum makanan didistribusi para penanggung jawab MBG yang memakan lebih dulu. Penanggung jawab harus bertanggung jawab dengan produknya. Ini baru imbang. Selaras dengan upah sebagai pemimpin/penanggung jawab. Dan, para calon pemimpin bangsa kelak, bisa diselamatkan dari keracunan dan (atau) kemungkinan kematian oleh makanan yang masuk ke mulutnya.

BACA JUGA  Ojol

Syukur, sebelum makin berlarat keracunan oleh MBG, Presiden Prabowo setiba dari lawatan ke luar negeri, berjanji akan mengevaluasi MBG. Meski presiden mengeluarkan 4 pernyataan terkait insiden tersebut, kepala negara juga mengingatkan jangan dipolitisasi dan soal cuci tangan sebelum menyantap.

Selain akan memanggil kepala BNG, presiden juga akan mengevaluasi. Ia juga menyadari karena program ini amat besar,kadi pasti ada kekurangan dari awal. “Tapi saya juga yakin bahwa kita akan selesaikan dengan baik,” tegasnya.

Pernyataan yang optimistis dari orang nomor satu di republik ini, sedikit dapat menyejukkan dan mengeliminir kecemasan atas kasus keracunan dari MBG. Meski, lagi-lagi, lagu lama di negeri ini akan mematahkan semangat untuk menuntaskan masalah keracunan massal ini. Sebab, di atas sudah tegas namun di bawah justru lemas. Di orang nomor satu begitu serius eh di bawahnya malah mules. Jangan sampai presiden sudah gas pol, bawahannya setengah-setengah.

Jangan main-mainlah untuk urusan nyawa orang. Jangan menyepelekan jika berurusan jiwa banyak orang. Ini serius lo! (*)

Further reading

  • bahan pangan tersandera mbg

    Bahan Pangan yang Tersandera MBG

    Tingginya permintaan harian Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) Makan Bergizi Gratis, memicu naiknya harga bahan pokok di sejumlah pasar. Masyarakat dan pedagang tradisional mengeluh. (Lontar.co): Meski sudah menunggu sejak pagi, Erni hanya mampu membeli sekilo telur dan 5 kilogram beras di pasar murah yang digelar di Kantor Kecamatan Bumi Waras itu. Banyak bahan pokok yang […]
  • Duet Kembar Eva Dwiana & Eka Afriana, Mengapa Begini?

    Kurang murah hati apa warga yang telah memilih kembali Eva Dwiana sebagai Walikota Bandarlampung. Kurang legowo apa publik yang tidak menyoal praktik nepotisme dengan mendudukkan kembarannya, Eka Afriana, sebagai kepala Dinas Pendidikan. (Lontar.co): Tapi untuk timbal balik sekadar menjaga perasaan publik pun kok rasanya enggan. Malah melulu retorika yang disodorkan. Apa pernah Walikota Bandarlampung, Eva […]
  • kopi intan

    Bersama BRI, Kopi Intan Sukses Naik Kelas

    Di bawah binaan BRI, Kopi Intan berhasil menapaki pemasaran kopi Lampung hingga ke berbagai daerah di Indonesia. (Lontar.co): Aroma harum biji-biji kopi yang sudah selesai di roasting itu menguar kemana-mana, asalnya dari arah salah satu rumah di Kampung Empang, Pasir Gintung, Bandar Lampung. Dari dalam rumah sederhana yang terus menebarkan semerbak harum biji kopi itu, […]