Seberapa serius kita mengurusi seni budaya Lampung? menjadi pertanyaan yang gamang untuk dijawab. (Ilustrasi: Lontar.co)

Karut Marut Seni Budaya di Lampung

0 Comments

Sejak istilah era industri 4.0 digemparkan secara masif, sejak kita mulai akrab dengan istilah industrialisasi seni, kita dipaksa melihat seni, pemikiran, ekspresi budaya lainnya, melulu sebagai bentuk, sebagai produk, sebagai komoditas, yang diharapkan memiliki nilai jual secara ekonomi.

(Lontar.co): Lalu potensi seni-budaya-alam di suatu wilayah, sekadar menjadi objek wisata, umpama manekin, yang dipajang di etalase-etalase, yang pasif-mekanis, dan fungsinya  tidak lain dan tidak bukan sekadar menjadi objek devisa atau dinilai dari sudut pandang ekonomi.

Semuanya bebas dieksploitasi, tanpa mempedulikan keberlangsungan dan kehidupan alam dan masyarakatnya yang organik, yang sebagian tumbuh bersama nilai-nilai dan keseimbangan lingkungan (baik alam maupun kultural apalagi spiritual).

Memang di sekolah-sekolah, di buku-buku pelajaran seni-budaya, diajarkan bahwa penanaman nilai karakter luhur yang diwariskan turun-temurun yang membentuk karakter bangsa, biasanya berlangsung ditahap proses berkesenian atau berkebudayaan. Namun pada praktiknya, sangat jauh panggang dari api.

Bahkan UU No. 5 tentang Pemajuan Kebudayaan tahun 2017 yang menekankan pada pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan agar budaya Indonesia dapat tumbuh tangguh, tak lebih sebatas konsep-konsep dan jargon-jargon yang selalu gagal direalisasikan, atau sengaja tidak direalisasikan di bumi lada tercinta.

Ada perbedaan persepsi atau skema, perbedaan visi, perbedaan orientasi memosisikan seni dan budaya.

Seperti yang sudah kita ketahui, salah satu masalah terbesar dalam sektor kesenian di Indonesia, khususnya Lampung, terletak pada belum terbentuknya ekosistem dan infrastruktur yang mendukung upaya-upaya pengelolaan dan pengembangan kesenian dengan baik.

Dukungan negara dan partisipasi publik untuk bersama-sama mewujudkan ekosistem yang kondusif, sebagaimana yang diamanatkan UU pemajuan kebudayaan, ternyata masih terbentur oleh rumitnya birokrasi dan rendahnya goodwill dari pemangku kebijakan.

BACA JUGA  Ayak-ayak, Serenada untuk Bumi dan Tubuh Perempuan

Akibatnya ekosistem seni-budaya, hampir di setiap daerah di Lampung, tak pernah dipikirkan, direalisasikan secara sungguh-sungguh, bahkan ada yang tidak dianggarkan, atau anggarannya diselewengkan untuk kepentingan individu, kelompok, atau koleganya semata.

Untungnya, di tengah situasi karut marut kehidupan kultural kita, di tengah ketidakpedulian pemangku kebijakan dan koleganya, selalu ada harapan, khususnya generasi muda.

Meski bermula dari ruang-ruang kecil, yang bahkan tak pernah disorot media, mereka tetap menyuarakan atau membahas dan mencoba memperjuangkan kemungkinan menumbuh kembangkan kebudayaan Lampung dalam arti seluas-luasnya.

Sekelompok minoritas yang tetap membuka diri, dan terus bergerak bersama, berorientasi pada pembangunan ekosistem seni-budaya di Lampung.

Belajar dari Sepak Bola Jepang

Sepak bola bukanlah olahraga paling populer di Jepang. Masyarakat di Negeri Sakura ini lebih menggemari olahraga lain, seperti baseball dan sumo yang sudah lebih dahulu menarik perhatian mereka.

Orang Jepang dengan lidahnya menyebut permainan si kulit bundar kadang sakkā atau futtubōru. Keduanya muncul dari pengaruh bahasa Inggris, soccer/football. Kedua sebutan tersebut yang saat ini dipakai Nippon Sakkā Kyōkai alias JFA.

Perkumpulan amatir lokal Jepang pertama, Tokyo Shukyu-dan, baru berdiri pada medio 1917. Seiringnya, bertumbuhan klub-klub olahraga modern di berbagai akademi. Hingga Periode Taishō (1912-1926), olahraga-olahraga modern mulanya terbatas di sekolah-sekolah tinggi.

Kemajuan sepak bola di Jepang dibangun dengan pendekatan membangun budaya sepak bola di tengah masyarakatnya. (Ilustrasi: Lontar.co)

Sekolah-sekolah tingkat umum baru mulai berminat hingga menumbuhkan rivalitas antarsekolah di awal 1920-an. Sepak bola menjadi salah satu olahraga yang diperkenalkan Archibald Douglas di akademi AL Tsukiji dalam rangka festival olahraga tingkat sekolah pada Maret 1873.

BACA JUGA  Ketika Komik Bertahan di Alur Cerita yang Konsisten

Pasca-Perang Dunia II, sedikit demi sedikit Jepang yang hancur dibom atom, bangkit. Bukan hanya pendidikan dan industrinya, tapi juga sepak bolanya. Di era 1990-an, Timnas senior putra Jepang pun menjadi “Macan Asia” sesungguhnya.

Tim “Samurai Blue” (julukan Timnas Jepang) sudah empat kali menjuarai Piala Asia (1992, 2000, 2004, 2011). Lalu, sejak 1998 Jepang jadi langganan peserta Piala Dunia.

Sementara, Timnas U-23 Jepang berhasil meraih medali emas Asian Games 2010, Piala Asia U-23 2016, dan dua kali jadi semifinalis olimpiade (2012 dan 2020).

Jepang meraih semua itu tanpa Bandung Bondowoso alias kerja semalam. Semua dirintis sejak nol. Dari mulai membuat road map dan kemauan keras untuk menggulirkannya lewat aneka program jangka panjang.

Cakupannya pun semua lini. Dari pengembangan sepak bola akar rumput, pemain usia dini dan pelatih, hingga mengurusi liga dengan sungguh-sungguh.

Program jangka panjang Jepang untuk membangun sepak bola, dikenal sebagai “Japan’s Way”, berfokus pada visi menciptakan 10 juta keluarga sepak bola dan menjadi juara dunia pada tahun 2050.

Ini merupakan peta jalan yang komprehensif untuk mencapai tujuan jangka panjang mereka, dengan fokus pada pembinaan pemain muda dan menciptakan ekosistem sepak bola yang berkelanjutan.

Jepang fokus pada pengembangan infrastruktur sepak bola, termasuk liga profesional J-League, yang menjadi salah satu yang terbaik di Asia. Pelatihan pelatih berkualitas tinggi juga menjadi fokus utama, untuk memastikan bahwa pemain muda mendapatkan bimbingan yang tepat.

BACA JUGA  Gubernur Mirza Ajarkan “Kepekaan adalah Koenci”

Kini Jepang telah berhasil mengirimkan banyak pemain ke klub-klub top Eropa, yang berkontribusi pada peningkatan kualitas tim nasional mereka. Hasil dari program jangka panjang ini terlihat pada prestasi tim nasional Jepang, yang telah menjadi kekuatan utama di Asia dan sering lolos ke putaran final Piala Dunia.

Dengan pendekatan yang sistematis dan terencana, Jepang telah berhasil membangun fondasi kuat untuk sepak bola mereka, dan terus berupaya mencapai tujuan jangka panjang.

Hidupkan Akar Rumput Kebudayaan

Nah, kita yang kabarnya selalu menganggap diri sebagai bangsa berbudaya, bahwa budaya mempunyai arti penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tapi apa yang telah dilakukan untuk mewujudkannya?

Apakah ada kebudayaan dalam visi pembangunan pemimpin-pemimpin kita? Kita bisa menengok dari pidato kampanye dan pemenangan walikota/bupati atau gubernur, bisa juga melihat program-program pemerintah, seni-budaya tergolong minim atau bahkan asing dibicarakan.    

Tapi biarlah. Bahkan jika pemerintah, dinas-dinas, atau malah dewan kesenian sekalipun tidak suport, jangan marah, biarkan saja.

Saatnya kita bergerak bersama, membangun ruang-ruang ekspresi secara lebih mandiri. Saatnya kita merawat budaya dari bawah, bersama-sama menghidupkan komunitas-komunitas, berjejaring, menyusun pertemuan-pertemuan, upacara-upacara atau ritual tertentu, bottom-up.

Bukan sebaliknya, menunggu instruksi dari pemangku kebijakan dan koleganya. Tabiat yang terbiasa terpusat dan seremonial. Sebab ranah kultural ini adalah tugas dan tanggung jawab kita bersama.(*)

Alexander Gebe (Seniman/Penulis)

 

Further reading

  • eva dwiana

    Eva Tak Punya Legitimasi yang Kuat, Ia Hanya Didukung oleh Kurang dari 30 Persen Warga Bandarlampung

    Sebagai walikota, Eva sebenarnya tak punya akar legitimasi yang kuat untuk memimpin kota. Kondisi ini, berkorelasi dengan kebijakannya yang cenderung ngawur dan egosentris. (Lontar.co): Sejak pagi, backhoe itu terus mengeruk aspal yang digali di pelataran gedung Kejati Lampung. Sementara, sejumlah pekerja konstruksinya terlihat mondar-mandir mengangkut material dengan angkong. Meski masih relatif pagi, aktivitas konstruksi di […]
  • 60 Penulis ‘Menelisik Lampung’ Penuh Warna

    Masih sedikitnya ketersediaan buku yang membicarakan ke-Lampung-an, kini terjawab. Dinas Perpustakaan Lampung meluncurkan buku ini, Menelisik Lampung, berisi karya puisi, cerpen, dan esai (opini). Dikemas apik. (Lontar.co): Bangga jadi ulun Lappung (orang Lampung). Lampung, sebagai etnis, sangat kaya seni budaya. Daerah ini saja memiliki dua jurai bagi etnis Lampung, yakni pepadun dan saibatin — pedalaman […]
  • bahan pangan tersandera mbg

    Bahan Pangan yang Tersandera MBG

    Tingginya permintaan harian Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) Makan Bergizi Gratis, memicu naiknya harga bahan pokok di sejumlah pasar. Masyarakat dan pedagang tradisional mengeluh. (Lontar.co): Meski sudah menunggu sejak pagi, Erni hanya mampu membeli sekilo telur dan 5 kilogram beras di pasar murah yang digelar di Kantor Kecamatan Bumi Waras itu. Banyak bahan pokok yang […]