Burung kicau digemari banyak orang. Peluang ini yang ditangkap oleh para penjual. Namun apa jadinya nasib burung-burung kicau di alam bebas, bila kerap diburu dan nasibnya mesti berakhir di dalam kandang?
(Lontar.co): Keindahan burung tidak hanya pada rupanya, tapi banyak yang mengandalkan kemerduan kicaunya. Bagi penggemar burung kicau, hewan peliharaan ini tak ubah “anak sendiri”. Dirawat dan dimanja demi menagih ganjaran suara nan memesona.
Tak pelak para pencinta burung kicau berani merogoh kocek dalam-dalam demi bisa menebus burung idaman. Puas hati rasanya bila incaran berhasil dimiliki. Tak ayal, kerap ada saja penjual burung yang menghalalkan berbagai cara demi meraup keuntungan besar. Mereka berburu ke alam bebas untuk “membekuk” burung yang menyimpan suara emas.
Buat Herman, cara-cara demikian sangat dia haramkan. Kendati mata pencariannya mengandalkan dari berjualan burung kicau, tapi dia anti membeli dan memperdagangkan burung hasil tangkapan.
“Saya tidak pernah mau. Mencari rezeki itu memang kewajiban kepala keluarga seperti saya. Tapi saya juga nggak mau kalau rezeki yang saya bawa ke rumah hasil dari ikut merusak habitat burung di alam bebas,” ungkap Herman saat ditemui Lontar.co di kios burungnya yang berada di Jalan Pajajaran, Gunung Sulah, Wayhalim, Bandarlampung, Selasa (8/7/2025).
Dengan kata lain, berbagai jenis koleksi burung dagangannya seperti murai batu, kenari, kutilang, parkit, perkutut, love bird dan lainnya, tidak satu pun yang didapat dari pemburu liar.
Herman yang mulai berjualan burung sejak 2014 itu punya cara agar usahanya tetap bisa berjalan, tanpa “memerkosa” habitat asli burung.

Caranya, dia menjalin hubungan dengan berbagai penangkar burung. Bahkan relasinya hingga ke luar Lampung, khususnya wilayah yang ada di Sumatera. Sedangkan untuk di dalam provinsi, Herman telah memiliki penangkar langganan yang memasok burung-burung ke kiosnya.
“Ini contoh saja ya, untuk love bird saya selalu dapet pasokan dari penangkar di Pringsewu, lokasinya di Sumber Rejo. Kalau murai batu saya ambil dari penangkar Janggar Bird Farm yang ada di Telukbetung,” urai Herman yang tidak bisa menguraikan satu per satu penangkar langganannya karena menurutnya itu rahasia perusahaan.
Herman juga menyinggung keberadaan para penangkar yang sangat memengaruhi harga burung di pasaran. Dia mencontohkan melorotnya harga burung murai batu yang sebelumnya sempat meroket tinggi, itu juga sangat dipengaruhi oleh maraknya penangkar burung yang tergiur oleh harga tinggi. Lantas mereka berlomba-lomba menernakkan murai batu.
Hingga pada satu titik stok murai batu hasil tangkaran melimpah, membanjiri pasaran. Lagi-lagi hukum pasar berlangsung. Ketika supply melimpah, melebihi permintaan, harga turut menyesuaikan.
Di sisi lain penangkar tidak bisa menahan stoknya terlalu lama, karena berbuntut pada konsekuensi perawatan dan biaya pakan. Alhasil, burung dilepas jual meski harga anjlok drastis.
“Ya begitu seninya main di burung,” jelas Herman. Sedang bagi dirinya selaku pedagang, juga turut kena imbas. Ilustrasinya Herman masih memiliki stok murai batu yang dia beli dari penangkar disaat banderol harga masih tinggi. Ketika harga anjlok, apa boleh buat dia terpaksa menjualnya. “Asal tidak rugi kelewat dalam aja sudah termasuk beruntung. Namanya juga berjualan, ya,” gumamnya.
Bicara risiko, Herman juga mesti bisa terima kenyataan andai ada burung dagangannya yang mati. Benar, dirinya selalu menjaga kebersihan dan kesehatan serta memberi pakan, namun tak jarang musibah datang tanpa kenal libur. Ada saja burung kicaunya yang mendadak mati.
“Namanya urusan dengan nyawa, ya. Risikonya ada aja burung yang mati, walau nggak terlampau sering. Tapi namanya juga pedagang, burung mati artinya rugi. Di sisi lain kita juga mesti yakin, rezeki sudah ada yang ngatur. Jadi saya yakin aja terus berusaha, selanjutnya biar Tuhan yang atur rezeki saya,” kata Herman.(*)