Gen Z jadikan puisi sebagai salah satu kanal mengekspresikan diri. (Ilustrasi: Lontar.co)

Gen Z dan Puisi Pencarian Diri

0 Comments

Generasi Z, atau Gen Z, seringkali digambarkan sebagai generasi yang serba terhubung, melek teknologi, dan punya kesadaran sosial tinggi. Namun di balik hiruk-pikuk dunia digital, ada sebuah perjalanan batin yang tak kalah penting, pencarian jati diri.

(Lontar.co): Lantas puisi muncul sebagai ruang alternatif, menjadi wadah untuk merangkai pikiran, perasaan, dan pertanyaan eksistensial yang membingungkan. Puisi bagi Gen Z bukan lagi sekadar karya sastra yang kaku dan formal. Ia telah bertransformasi menjadi medium ekspresi yang cair dan fleksibel.

Melalui platform media sosial seperti Instagram, TikTok, atau Twitter, puisi hadir dalam bentuk yang lebih ringkas, visual, dan personal. Seringkali tak terikat pada aturan baku, mengalir bebas, dan langsung menyentuh inti permasalahan.

Puisi menjadi cermin batin bagi Gen Z, dan memungkinkan mereka untuk menggali dan memahami diri sendiri.

Di tengah banjirnya informasi dan ekspektasi sosial, puisi memberikan ruang hening untuk merefleksikan siapa mereka sebenarnya. Lewat bait-bait yang ditulis, mereka mengeksplorasi isu-isu seperti kecemasan, kesehatan mental, identitas, dan makna hidup.

Puisi menjadi semacam terapi, tempat mereka menumpahkan segala kegelisahan yang sulit diungkapkan secara langsung. Di era digital yang bising, puisi menjadi bisikan yang menenangkan, mengingatkan bahwa di balik semua koneksi, perjalanan paling penting adalah perjalanan ke dalam diri.

Geliat Baru Puisi

Globalisasi dan budaya instan bisa jadi menjauhkan Gen Z dengan dirinya. Dan puisi tampak seperti suara lirih yang nyaris tenggelam. Namun dalam senyap, geliat baru tengah muncul para kawula muda, generasi z, mulai kembali melirik puisi bukan hanya sebagai bentuk melulu sebagai ekspresi seni, tetapi juga sebagai ruang kontemplasi dan perenungan.

Dari pelajar SMA hingga mahasiswa, dari ruang kelas, kafe, hingga komunitas sastra berbasis media sosial, puisi mulai dibaca ulang, mulai bergema di mana-mana, menjadi ruang alternatif untuk menemukan keheningan, dan atau barangkali bisa berfungsi untuk menemukan diri dan eksistensi kemanusiaannya.

Kembali ke puisi, adalah kembali ke kata, kembali ke makna, kembali ke diri. Sesuatu yang tidak ditawarkan kemajuan zaman, yang menuntut kecepatan, serba tersedia, disiplin, rutin, tanpa alternatif, hambar, dan nyaris tanpa kejutan.

BACA JUGA  Bagaimana Mungkin Walikota Bandarlampung “Dirujak” Netizen di “Rumah” Helmy Yahya?

Menemukan puisi, selanjutnya bisa dimaknai menemukan diri dalam dunia yang makin pragmatis. Puisi hadir sebagai ruang bagi setiap orang untuk sejenak mengambil napas, rest area, atau oase, untuk sejenak menyingkir dari hiruk pikuk dan kebisingan.

Kesadaran muncul secara organik di tengah generasi yang dibesarkan oleh algoritma, notifikasi, dan kecepatan. Meskipun sering dianggap kuno atau tidak relevan, puisi justru memberi tawaran yang tak dimiliki bentuk literasi lain seperti keheningan, kedalaman, dan kejujuran.

Octavio Paz pernah bilang, Poetry is an act of attention (puisi adalah tindakan perhatian) yang dalam konteks literasi modern menjadi semakin mendesak.

Menggauli Puisi

Ari Pahala Hutabarat, penyair dan sutradara Komunitas Berkat Yakin pernah berujar bahwa puisi merupakan puncak dari keterampilan berbahasa.

Pada puisi (yang baik) kompleksitas pemikiran, perasaan, dan segenap pengalaman kemanusiaan seperti menemukan wujud materialnya yang ideal. Pendayagunaan struktur internal dalam puisi mencakup sintaksis, metafora, imajeri, diksi, dan irama berkelindan secara asyik dengan pokok pikiran, sudut pandang, dan kedalaman tematik yang dieksplorasi sang penyair.

Pada puisi bahasa tak hanya berfungsi sebagai media, namun juga menjadi tujuan. Pada puisi bahasa tak sekadar menjadi “alat” untuk berkomunikasi, namun iamenjadi “tujuan” penciptaan/dayaguna bahasa itu sendiri.

Bahasa, di dalam puisi adalah alat/media sekaligus tujuan. Permainan tangkap-lari antara yang abstrak (ide, gagasan kognisi, denyar perasaan, kedalaman, keluasan, dan kesegaran topik) dengan yang material, dalam wujud bahasa, (pilihan diksi, imajeri, metafor, dan lain sebagainya) menjadikan puisi semacam tubuh ideal dalam bahasa untuk menampung sekaligus mempertanyakan realitas.

Karenanya tak salah jika Leo Tolstoy, salah satu pujangga terbesar abad ke dua puluh asal Rusia, pernah berujar, bahwa puisi adalah pikiran dan perasaan terbaik yang disampaikan melalui susunan kalimat terbaik.

Puisi mendorong pembaca untuk memperlambat laju, menyimak makna, dan menyentuh sisi terdalam dari kehidupan. Dalam situasi krisis makna yang melanda generasi muda, puisi menawarkan jalan pulang ke dalam diri.

BACA JUGA  Ayak-ayak, Serenada untuk Bumi dan Tubuh Perempuan

Membaca puisi bukan hanya soal mengapresiasi keindahan bahasa, tetapi juga sebuah latihan eksistensial.

Pintu Menengok Tradisi

Bisa jadi puisi adalah pintu atau jendela bagi generasi muda untuk melihat kenyataan dengan cara yang berbeda, atau menemukan kenyataan lain yang lebih dalam atau bermakna dari sesuatu yang sekadar rutin di jalani, dan lebih menjadi pintu bagi proses membentuk kesadaran kultural dan spiritual.

Di era digitalisasi, puisi menemukan kanal-kanal penyaluran yang lebih masif via medsos. (Lontar.co)

Dalam konteks Indonesia yang kaya tradisi, puisi memiliki akar yang dalam. Di Lampung kita mengenal warahan, hahiwang, di Jawa ada tembang macapat, suluk, hingga geguritan. Semuanya adalah bentuk puisi lokal yang sarat nilai moral dan kebijaksanaan. Puisi memungkinkan mereka menengok tradisinya, masa-lalunya, leluhurnya.

Keterhubungan antara puisi dan identitas kultural ini tercermin dalam pandangan Frantz Fanon yang menekankan pentingnya bahasa dan ekspresi budaya sebagai jalan pembebasan.

Maka, ketika generasi muda menulis atau membaca puisi dalam konteks budayanya, ia sedang menyatakan eksistensinya sebagai bagian dari peradaban, sekaligus sebagai upaya terus menerus mengenali dirinya. Kata-kata menjadi semacam stimulus untuk melakukan interogasi terhadap pengalaman dan hidup yang sedang mereka jalani.

Ruang Alternatif dan Aktualisasi Puisi yang Multidimensi

Gerakan puisi di kalangan muda tidak muncul dalam ruang kosong. Banyak komunitas tumbuh sebagai taman alternatif di mana anak muda menemukan makna di luar kurikulum formal. Mereka membaca puisi bukan karena tugas akademik, tetapi karena merasa disentuh dan ingin menyuarakan, seperti Brew Puisi yang digagas oleh Lampung Literatur, atau sejumlah acara non-formal lainnya.

Di sinilah literasi bertumbuh bukan sebagai kewajiban, tetapi sebagai gairah. Menariknya, puisi hari ini hidup dalam banyak rupa. Ia dibaca dengan iringan musik, dipanggungkan dalam bentuk monolog, divisualisasikan di media sosial, bahkan dilagukan sebagai lirik.

Inilah wujud konvergensi seni dalam era digital. Di tangan generasi muda, puisi menjadi bentuk ekspresi yang multidimensi. Penyair kontemporer seperti Rupi Kaur yang memanfaatkan Instagram sebagai medium puisi membuktikan bahwa format tidak membatasi substansi.

BACA JUGA  Hari-Hari Bahagia: Surga yang Jatuh ke Tong Sampah, Membongkar Mitos Kebahagiaan

Rupi Kaur adalah seorang penyair, penulis, dan seniman ilustrator asal Kanada keturunan India (Punjabi Sikh).  

Gerakan semacam ini akan menjadi fondasi kokoh bagi arah baru literasi di Indonesia. Literasi tidak lagi dipahami sebagai keterampilan teknis semata, tetapi sebagai kekuatan pembentuk karakter dan kesadaran historis. Dalam kerangka inilah, puisi berfungsi sebagai jendela menuju refleksi, empati, dan transformasi diri.

Literasi yang Menyentuh Jiwa Generasi Kini

Kita menyaksikan bahwa geliat literasi puisi di kalangan muda bukan sekadar tren sesaat. Ia mulai menunjukkan tanda-tanda sebagai gerakan kultural yang menyatu dengan dinamika zaman. Misalnya, munculnya kelas-kelas menulis puisi berbasis komunitas yang tumbuh secara organik dari semangat bersama.

Di banyak tempat, kita melihat anak muda duduk melingkar membacakan sajak, mendiskusikan makna, bahkan membedah diksi dan metafora secara antusias. Ini bukan sesuatu yang jamak terjadi satu dekade lalu.

Bahkan di luar ranah akademik, puisi telah menjadi bagian dari gaya hidup intelektual baru. Ada yang memulai hari dengan membaca puisi, ada pula yang mengisi laman media sosialnya dengan kutipan bait-bait reflektif.

Tak jarang puisi juga digunakan sebagai bentuk kritik sosial yang halus namun tajam. Ini membuktikan bahwa puisi bukan sekadar seni, tapi juga alat refleksi dan advokasi yang relevan, yang selalu mampu beradaptasi dengan perkembangan jaman.

Karena pada akhirnya, membangun puisi di kalangan muda bukan hanya soal mencetak penyair. Tetapi soal menjaga peradaban, membentuk karakter, dan menumbuhkan kesadaran akan keindahan hidup.

Dalam kata-kata yang jujur dan dalam, generasi baru akan tumbuh sebagai pribadi yang utuh. Dan di tengah hiruk pikuk zaman, puisi akan tetap hadir sebagai suara lembut yang menunjukkan arah ke dalam diri, ke akar budaya, dan ke cakrawala makna. (*)

Penulis: Alexander Gebe (Seniman/Penulis)

Further reading

  • eva dwiana

    Eva Tak Punya Legitimasi yang Kuat, Ia Hanya Didukung oleh Kurang dari 30 Persen Warga Bandarlampung

    Sebagai walikota, Eva sebenarnya tak punya akar legitimasi yang kuat untuk memimpin kota. Kondisi ini, berkorelasi dengan kebijakannya yang cenderung ngawur dan egosentris. (Lontar.co): Sejak pagi, backhoe itu terus mengeruk aspal yang digali di pelataran gedung Kejati Lampung. Sementara, sejumlah pekerja konstruksinya terlihat mondar-mandir mengangkut material dengan angkong. Meski masih relatif pagi, aktivitas konstruksi di […]
  • 60 Penulis ‘Menelisik Lampung’ Penuh Warna

    Masih sedikitnya ketersediaan buku yang membicarakan ke-Lampung-an, kini terjawab. Dinas Perpustakaan Lampung meluncurkan buku ini, Menelisik Lampung, berisi karya puisi, cerpen, dan esai (opini). Dikemas apik. (Lontar.co): Bangga jadi ulun Lappung (orang Lampung). Lampung, sebagai etnis, sangat kaya seni budaya. Daerah ini saja memiliki dua jurai bagi etnis Lampung, yakni pepadun dan saibatin — pedalaman […]
  • bahan pangan tersandera mbg

    Bahan Pangan yang Tersandera MBG

    Tingginya permintaan harian Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) Makan Bergizi Gratis, memicu naiknya harga bahan pokok di sejumlah pasar. Masyarakat dan pedagang tradisional mengeluh. (Lontar.co): Meski sudah menunggu sejak pagi, Erni hanya mampu membeli sekilo telur dan 5 kilogram beras di pasar murah yang digelar di Kantor Kecamatan Bumi Waras itu. Banyak bahan pokok yang […]