Hujan mengguyur Kota Bandar Lampung. Minggu-minggu terakhir ini. Tidak begitu deras, tapi pasti basah kalau lama di bawah hujan itu. Bunda Eva Dwiana ada di situ, berpayung. Tangan dan bibirnya bergerak.
(Lontar.co): Bandarlampung selalu banjir setiap diguyur hujan. Itu pasti. Walikota sudah berganti-ganti, masalah satu ini tak juga dapat diselesaikan. Walaupun saat kampanye, para calon pemimpin itu akan menjadikan banjir sebagai program dari sekian yang dijanjikan jika terpilih. Banjir tetap saja hadir.
Bunda Eva tampak berpayung. Persisnya dipayungi. Oleh ajudan atau protokol. Rintik hujan jatuh dari ujung payung. Bunda bergeming. Tangannya menunjuk-nunjuk. Bagian lain ia berada di sekitar kali. Kabarnya di area tersebut bakal dibuatkan talut demi meminimalisir banjir.
Semua itu terekam oleh kamera. Bisa dilihat oleh siapa saja dan kapan saja. Karena “disiarkan” lewat media sosial, terutama TikTok dan IG. Ketika era media digital ini, para pejabat bergegas jadi bintang. Para pemimpin jadi latah, dalam bentuk apapun harus disorot kamera. Agar diketahui oleh publik; “ini lo kerja kami.”
“Kami sudah bekerja, ini buktinya,” kira-kira itu yang hendak dikatakan oleh publik figur melalui rekaman video atau foto dan dibagikan di media sosial.
Para publik figur itu – presiden, wapres, menteri, anggota legislatif, hingga pejabat di pemda provinsi dan kabupaten/kota. Mereka tak begitu lagi penting pada media pemberitaan. Cukup dengan IG, Tiktok, FB, seluruh yang “dikerjakan bagi masyarakat” gampang terlihat atau dibaca. Bahkan cara pengambilan gambar pun acap diatur oleh tim publikasi. Dari cara jalan, saat mengobrol hingga bersenyum diatur pula.
Begitu pula yang dapat kita lihat pada Bunda. Ketika sedang merapikan pedagang, saat di tepi gorong-gorong, atau saat melihat lahan di Langkapura, Bandar Lampung. Bunda layaknya pemain sinetron. Seperti ada sutradara di balik “akting” dia. Tampil di depan kamera.
Berbeda saat berhadapan dengan masalah kebijakan, Bunda akan “memerintahkan” bawahan atau tim yang ditunjuk. Misalnya saat menjelaskan hibah pembangunan gedung Kejati Lampung, cukup tim-tim ahli yang membalas ketitisan masyarakat.
Bunda hanya berpikir bagaimana masyarakat di kota yang dipimpinnya mengetahui “kerjanya” lewat media sosial. Mau dikata pencitraan atau demi pemberitaan oleh netizen, baginya tak penting. Sebab mau disebut pencitraan memang ya. Mau dikategorikan menginformasikan kerjanya memang demikian.
Dunia media sosial memudahkan segala urusan. Lalu, masih perlukah kominfo di lembaga pemerintah? Saat menghadapi Bima yang viral mengopeni infrastruktur di daerah ini, lembaga pemerintah itu seakan tak mampu; ditambah pendampingan hukum dari pemerintah juga tak maksimal. Sampai hilang sendiri, mungkin lelah?
Saya kira bukan lelah. Tapi di dalam budaya instan seperti sekarang, orang mudah ‘heboh’ lalu dilupakan. Bahkan bersamaan bisa terlupakan. Cermati persoalan yang menjadi viral, hanya sesaat, lalu hilang dan diganti dengan isu yang baru. Boleh jadi ‘anget-anget taik ayam’ atau disebabkan ada yang baru viral lagi.
Apakah kasus penjarahan rumah-rumah anggota dewan dan menteri, hingga kini masih dibicarakan alias diingat? Tidak. Kematian pengemudi ojol oleh anggota brimob, joget anggota legislatif, penjarahan rumah anggota dewan plus menteri keuangan dianggap basi dan sudah dilupakan oleh masyarakat.
Kini muncul viral demo pelajar SMA di Banten gegara seorang siswa ketangkep merokok di area sekolah lalu “ditampar” kepala sekolah. Viral. Setelah melibatkan Gubernur Banten dan kepolisian. Dramatisnya; ending yang membahagiakan bagi Bu Dini, sang kepala sekolah. Kini mulai reda.
Kembali ke Bunda Eva. Walikota Bandarlampung dua periode ini, memanfaatkan media sosial untuk “melaporkan kegiatannya di kota ini”. Ke setiap anjang sana ke sudut-sudut kota, ia bawa tim media. Sorotan kamera hanya tertuju pada diri Bunda dan suasana yang dikunjunginya. Kayak film-film pendek tentang kerja seorang pemimpin.
Sepertinya, begitu banyak kerja sang walikota di luar kantor, dan ini menjadi santapan mata para warga. Mungkin ada yang memuji, barangkali tak sedikit pula yang biasa-biasa saja, bahkan dinilai lebay.
Saya coba mencari di pencarian Google dengan kata kunci “Bunda Eva di lapangan” maka mbah Google menjelaskan begini: “ini merujuk pada kegiatan Walikota Eva Dwiana, yang sering turun langsung ke lapangan untuk memantau berbagai kondisi dan program, terutama infrastruktur.” Dan seterusnya.
Ada foto/video saat Bunda dibonceng motor dan kesempatan lain berjalan kaki. Ia susuri gang sempit perkampungan padat. Potret kesahajaan sang walikota? Belum tentu.
Tetapi, video-video dan foto-foto Bunda Eva di lapangan akan selalu berseliweran di platform media sosial. Seakan kamera harus menembak ibu walikota dua periode ini. Untuk menunjukkan keseriusan walikota ini. Ketika masyarakat hanya melihat media sosial, tanpa menelisik lebih dalam program-program yang seharusnya dilaksanakan, misalnya apakah sudah selaras dengan janji-janjinya di waktu kampanye?
Mungkin tim Bunda akan menjawab sudah, bahkan melebihi target dari rencana program yang dijanjikan dalam kampanye pilwako dulu. Misalnya? Ah, mosok Anda tak membaca berita bagaimana Bunda Eva (akan) menggelontorkan anggaran Rp60 miliar untuk pembangunan gedung Kejaksaan Tinggi Lampung?
Bantuan dana hibah ini menuai kritik, walikota dianggap tidak peka terhadap kebutuhan masyarakat. Berita ini semakin viral, warga akan gugat Eva Dwiana.
Seperti juga berita-berita yang selama ini pernah viral lalu hilang karena diganti oleh berita baru yang lebih viral, apakah bantuan dana hibah Rp60 miliar ini akan pula dilupakan masyarakat? Apalagi, sorot kamera ke diri Bunda Eva semakin banyak dilihat warga, bisa jadi kabar dana hibah ini segera tenggelam.
Benar kata orang bijak, jika kau kuasai media niscaya yang buruk pun bisa tertutupi. Sedangkan yang “biasa-biasa saja” bisa menjadi luar biasa.(*)