Meski air sudah surut. Tetapi, duka cita warga dan keluarga korban banjir di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, belum pulih benar. Pemulihan pascabencana (disaster recovery) itu yang amat berat!
(Lontar.co): Trauma oleh bencana, tak mudah menghapusnya. Seorang kenalan yang langsung terlibat dalam bencana tsunami di Aceh 26 Desember 2024, “luka”-nya sampai kini belum pulih. Seluruh keluarganya menjadi korban, juga bangunan rumah dan tanah – mungkin pula kebun – sulit dipetakan lagi.
Kerabat dekat itu kini tinggal di Bandar Lampung. Beristri dan memiliki seorang putra. Sewaktu tsunami, usianya masih anak-anak, kemungkinan masih SD. Dia dibawa (dihijrahkan) ke Bandar Lampung oleh relawan, lalu di pondok pesantrenkan. Sampai Tuhan menetapkan jodoh di daerah yang baru ini.
Kabarnya, ia pernah balik, tapi hanya sedikit mengenalnya, juga ia tak mampu lagi menandai di mana tempat tinggalnya dulu. Selain, mungkin ia hanya tahu kabupaten, kecamatan, desa, dan lingkungan. Ia tak lagi bercerita seusai “mudik” ke Aceh.
Trauma dari suatu bencana memang sulit pemulihannya. Berbeda ditinggal karena wafat dari keluarga amat terdekat, hanya hitungan hari dan bulan sudah kembali menerima sebagai kepasrahan. Tetapi, sekali lagi, karena bencana alam; seperti sudah saya katakan di atas; bukan perkara enteng.
Meski, saat catatan ini tayang, boleh jadi banjir sudah surut. Namun, masyarakat di tiga provinsi yang tersasar bencana, masih dibalut duka. Lumpur akibat bandang dan tanah longsor di Sumatera, juga menutup akses jalan di sejumlah lokasi. Bahkan, beberapa hari silam, singal HP pun sekarat.
Ada yang menarik, jika mengutip statemen Rocky Gerung bahwa bencana Sumatera adalah bencana rakyat yang buat bencana pejabat pusat! Tak ada masyarakat yang menolak pernyataan “Prof Logika Nalar” tersebut. Realitanya memang begitu.
Artinya, pemerintah yang menjadi asbab kerusakan hutan dan lingkungan. Lewat “penjarahan” hutan, penggalian perut bumi yang memiliki tambang. Dieksplotasi habis-habisan dan amat rakus. Ini bisa dibaca deret penggundulan dari satu menteri ke menteri kehutanan. Siapa paling besar memberi “kebebasan” bagi pembalakan hutan dan memberi izin penggalian tambang.
Alam Indonesia sudah sangat rusak. Terutama kawasan di Sumatera; terkhusus Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Sumatera Barat! Ya, setahun lali, di antara bulan Juli 2024, provinsi ini juga terkena musibah. Yakni tanah longsor. Waktu saya hendak ke Payakumbuh menghadiri undangan Festival Botuang (Bambu). Difasilitasi transportasi udara, tapi pesawat yang saya tumpangi mendarat di Pekanbaru, Riau. Alasannya; Pekanbaru-Payakumbuh lancar, dibandingkan Padang-Payakumbuh yang masih tertutup oleh tanah longsor. Kala itu bencana tidak sedahsyat seperti di akhir November 2025.
Kini dapat dibayangkan. Karena itu, sangat lucu kalau tragedi Sumatera 2025 ini diklaim hanya “heboh di medsos” dan sebuah lelucon tak bermutu justru dinyatakan seorang pejabat pusat. Lagi-lagi pusat membuat blunder di tengah tragedi di mana masyarakat sedang berduka dan cemas karena menerima yang bukan mereka lakukan: pembabatan hutan dan penggalian tambang besar-besaran.
Pembalakan hutan besar-besaran dapat diperkirakan dari gelondongan pohon yang dihanyutkan banjir. Kini memenuhi sebagian pantai di sana, atau yang ikut menerjang rumah-rumah warga. Bencana — harusnya dimasukkan sebagai “bencana nasional” ini — yang terjadi di Sumatera, memutuskan akses jalan, rumah warga rata dengan tanah, sejumlah warga terbenam di lumpur, warga menjadi terisolir, bahkan ada yang berada di hutan. Kemudian sejumlah zona hilang sinyal komunikasi. Apakah ini masih disebut bencana biasa?
Di tengah chaos masyarakat oleh bencana bandang dan longsor, ada-ada saja ulah pejabat (pusat). Mereka tampil layaknya aktor drama/film. Ada yang memanggul sekarung beras saat kamera menyorotnya, seakan-akan ia amat peduli pada nasib rakyat. Atau pejabat yang turun — semoga bukan seolah-olah — di kubangan lumpur sambil menepikan bekas longsor dengan pacul! Lalu “pejabat konten” yang layaknya juragan besar menyerbu sejumlah toko lalu memborong barang kebutuhan sehari-hari untuk dibagi ke korban bencana. Sekecil apa pun memang telah membantu warga.
Tetapi, sampaikah mereka berpikir: bagaimana seorang warga yang harus merental eskavator demi mencari dan menemukan ibunya dalam reruntuhan rumah? Dua hari anak lelaki itu berjuang dan, alhamdulillah, ibunya ditemukan sudah tewas masih memakai mukena di sebelahnya Al-Quran. Drama yang tragik dan ironi, di antara sejumlah drama yang dimainkan para pejabat kita.
Alam membalas kontan karena “ulah sebagian manusia” yang merusak tubuh alam. Pada 14 Desember 2025, harian Kompas mencatat dari catatan Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) sebanyak 1.006 jiwa meninggal di tiga provinsi tersebut. Lalu 1.2 fasilitas umum rusak. Seakan-akan kita telah “membunuh seluruh umat bumi” oleh sebab tangan-tangan kita sendiri yang merusak alam!
Presiden Prabowo Subianto (sudah) meminta maaf saat berkunjung ke Aceh sesudah lawatan kerja ke Pakistan. Ia mengaku pemerintah sedang bekerja keras untuk pemulihan pascabencana. Harapan kita setelah kunjungan orang nomor satu di Indonesia ini, membawa “terang” bagi korban bencana Sumatera. Menghapus air mata yang telah tumpah sejak 27 November 2025. Air mata masyarakat yang semestinya tidak diharapkan. Andainya para pemilik kebijakan menahan “nafsu” dan “tak semena-mena” memperlakukan alam: pembalakan hutan dan penggalian kawasan tambang secara rakus.
Alam butuh pula keseimbangan. Alam menghendaki perlindungan dari hutan, tanah, dan aliran air yang terawat. Bencana Sumatera bukan datang tiba-tiba, ia “sudah dirancang” bertahun-tahun lampau. Pada akhir November 2025 hanya puncak dari “kemarahan dan balas dendam” alam kepada manusia. Walaupun yang terkena masyarakat yang justru tidak menikmati hasil pembalakan dan pertambangan.
Ah, saya hentikan catatan ini. Saya khawatir tidak bisa menahan air mata dan emosi. Kesedihan rasanya wajar. Tetapi, emosi mengkhawatirkan saya akan mengumbar sumpah serapah, caci maki, sarkastik. Meluapkan kemarahan yang berlebihan, seperti alam yang membalas. Maafkan saya, untuk saya akhiri catatan ini. Meski banyak yang semestinya saya luapkan di sini. Saya (dan alam) sedang sakit. Bertahun-tahun lamanya.
Di ujung catatan, saya berdoa pada warga korban Sumatera, segeralah hapus air mata. Di depan jalan kehidupan tetap bertentang. Kita dianjurkan untuk menatap dan mengolahnya kembali. Salam.(*)







