Penulis: Tauriq Attala Gibran


  • Petugas pemadam kebakaran (Damkar) menjinakkan kobaran api, itu biasa. Meski, tak jarang nyawa taruhannya, lah memang sudah risiko tugas. Yang keren itu ketika mereka “mau-maunya” ngurusin sarang tawon di rumah warga. Sempet-sempetnya bantu lepasin cincin emak-emak yang saking kenceng meluk jari manis akhirnya tak bisa dicopot. Lho, sejak kapan petugas Damkar jadi semacam rescue palugada (apa lu mau, gue ada)?

    (Lontar.co): Ternyata markas Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Bandarlampung yang berada di Jl. Kapten Tendean, Tanjungkarang Pusat, punya dua bidang tugas utama. Pertama Bidang Pemadaman Kebakaran berikutnya Bidang Penyelamatan. Nah, urusan tawon dan melepas cincin itu menjadi tupoksi bidang yang disebut belakangan.

    “Siapa bilang kami tak takut tawon. Tetap ada rasa takut itu. Kami kan bukan Superman,” seloroh Komandan Pleton (Danton) Ifan Afandi kepada Lontar.co, saat menceritakan pengalaman mereka menangani sarang tawon yang kerap dikeluhkan warga, Kamis (10/7/2025).

    Apalagi, imbuh dia, kalau tawon yang ditangani berjenis Ndas atau biasa disebut tawon Vespa Affilis. Ini tergolong tawon ganas. Sekali kena sengat dipastikan bakal demam. “Rekan-rekan di sini banyak juga yang pernah nyicipin kena sengat. Tapi mau gimana lagi. Bagi kami ngurusuin yang kayak begitu sudah jadi makanan sehari-hari,” terangnya.

    Unit mobil pemadam kebakaran siap sedia merespon panggilan darurat. (Foto: Lontar.co)

    Berbekal teori dan pengalaman di lapangan, sambungnya, petugas akhirnya menemukan teknik efektif untuk menanggulangi sarang tawon yang biasa muncul di pohon atau rumah kosong yang berada di permukiman warga.

    “Kejadian baru-baru ini, misalnya, kami tangani sarang tawon di rumah warga di Sukarame. Jenisnya tawon Vespa Affilis,” kata Ifan. Karena titik lokasinya di atas dan agak sulit dijangkau, kisahnya, akhirnya diputuskan memusnahkan sarang tawon dengan teknik brangas.

    Secara umum teknik ini berupa penyemprotan cairan pembasmi serangga yang dicampur air dan deterjen ke sarang tawon. Kemudian dilanjutkan dengan pembakaran atau pengemasan sarang tawon. Tujuannya untuk membunuh tawon dan meminimalkan risiko sengatan bagi petugas dan warga sekitar.

    “Kalau letak sarangnya mudah dijangkau, biasanya kami menutup pintu atau lubang yang dipakai tawon untuk masuk dan ke luar sarang. Lubang itu disumpal pakai kapas yang sudah direndam bensin. Setelah itu baru dibakar dengan alat khusus yang mengeluarkan api dalam tekanan besar,” urai Ifan.

    Ditambahkan Krisna Laksamana, selaku Kabid Penyelamatan, tugas mereka tak berhenti sebatas mengurusi sarang tawon. Bahkan, petugas kerapkali turun tangan merespon permintaan warga untuk bantu mengeluarkan kunci yang tertinggal di bawah jok motor.

    “Ya tetap harus kita respon. Biasanya anak kost yang sering bermasalah dengan kunci,” ucap Krisna seraya tersenyum. Dalam kasus serupa ini, terang dia, penanganannya dicoba membuka jok motor dengan alat yang mereka punya.

    Kalau masih tidak berhasil, atas izin pemilik kendaraan, biasanya akan diambil langkah terakhir lewat membuka paksa. “Untung, umumnya bisa diatasi tanpa buka paksa,” kata Krisna yang mendampingi Sekretaris Damkar, Ahmad Husni.

    Lebih lanjut Ahmad Husni menerangkan, di Bidang Pemadaman, pihaknya diperkuat oleh 30 personil serta 22 unit mobil Damkar. Setiap unit berisikan 4 sampai 6 personil yang dilengkapi alat pelindung diri atau APD.

    Setiap unit Damkar diperkuat 4 sampai 6 personil lengkap APD. (Foto: Lontar.co)

    “Mengingat Bandarlampung terus berkembang, sekarang malah sudah layak disebut kota besar, kami berharap bisa didukung APD yang lebih memadai. Karena sangat penting untuk mendukung tugas, sekaligus menjamin keselamatan petugas di lapangan yang berpotensi risiko tinggi,” harap Husni.

    Sebuah permintaan tak berlebihan kiranya, mengingat petugas Damkar yang punya selogan “Pantang Pulang Sebelum Padam” ini, memang harus bisa dijamin keselamatannya agar benar-benar bisa pulang ke rumah dalam keadaan sehat wal’afiat. (*)



  • Burung kicau digemari banyak orang. Peluang ini yang ditangkap oleh para penjual. Namun apa jadinya nasib burung-burung kicau di alam bebas, bila kerap diburu dan nasibnya mesti berakhir di dalam kandang?

    (Lontar.co): Keindahan burung tidak hanya pada rupanya, tapi banyak yang mengandalkan kemerduan kicaunya. Bagi penggemar burung kicau, hewan peliharaan ini tak ubah “anak sendiri”. Dirawat dan dimanja demi menagih ganjaran suara nan memesona.

    Tak pelak para pencinta burung kicau berani merogoh kocek dalam-dalam demi bisa menebus burung idaman. Puas hati rasanya bila incaran berhasil dimiliki. Tak ayal, kerap ada saja penjual burung yang menghalalkan berbagai cara demi meraup keuntungan besar. Mereka berburu ke alam bebas untuk “membekuk” burung yang menyimpan suara emas.

    Buat Herman, cara-cara demikian sangat dia haramkan. Kendati mata pencariannya mengandalkan dari berjualan burung kicau, tapi dia anti membeli dan memperdagangkan burung hasil tangkapan.

    “Saya tidak pernah mau. Mencari rezeki itu memang kewajiban kepala keluarga seperti saya. Tapi saya juga nggak mau kalau rezeki yang saya bawa ke rumah hasil dari ikut merusak habitat burung di alam bebas,” ungkap Herman saat ditemui Lontar.co di kios burungnya yang berada di Jalan Pajajaran, Gunung Sulah, Wayhalim, Bandarlampung, Selasa (8/7/2025).

    Dengan kata lain, berbagai jenis koleksi burung dagangannya seperti murai batu, kenari, kutilang, parkit, perkutut, love bird dan lainnya, tidak satu pun yang didapat dari pemburu liar.

    Herman yang mulai berjualan burung sejak 2014 itu punya cara agar usahanya tetap bisa berjalan, tanpa “memerkosa” habitat asli burung.

    Herman (kiri) saat menceritakan pada Lontar.co peran penting penangkar burung bagi usahanya. (Foto: Lontar.co)

    Caranya, dia menjalin hubungan dengan berbagai penangkar burung. Bahkan relasinya hingga ke luar Lampung, khususnya wilayah yang ada di Sumatera. Sedangkan untuk di dalam provinsi, Herman telah memiliki penangkar langganan yang memasok burung-burung ke kiosnya.

    “Ini contoh saja ya, untuk love bird saya selalu dapet pasokan dari penangkar di Pringsewu, lokasinya di Sumber Rejo. Kalau murai batu saya ambil dari penangkar Janggar Bird Farm yang ada di Telukbetung,” urai Herman yang tidak bisa menguraikan satu per satu penangkar langganannya karena menurutnya itu rahasia perusahaan.

    Herman juga menyinggung keberadaan para penangkar yang sangat memengaruhi harga burung di pasaran. Dia mencontohkan melorotnya harga burung murai batu yang sebelumnya sempat meroket tinggi, itu juga sangat dipengaruhi oleh maraknya penangkar burung yang tergiur oleh harga tinggi. Lantas mereka berlomba-lomba menernakkan murai batu.

    Hingga pada satu titik stok murai batu hasil tangkaran melimpah, membanjiri pasaran. Lagi-lagi hukum pasar berlangsung. Ketika supply melimpah, melebihi permintaan, harga turut menyesuaikan.

    Di sisi lain penangkar tidak bisa menahan stoknya terlalu lama, karena berbuntut pada konsekuensi perawatan dan biaya pakan. Alhasil, burung dilepas jual meski harga anjlok drastis.

    “Ya begitu seninya main di burung,” jelas Herman. Sedang bagi dirinya selaku pedagang, juga turut kena imbas. Ilustrasinya  Herman masih memiliki stok murai batu yang dia beli dari penangkar disaat banderol harga masih tinggi. Ketika harga anjlok, apa boleh buat dia terpaksa menjualnya. “Asal tidak rugi kelewat dalam aja sudah termasuk beruntung. Namanya juga berjualan, ya,” gumamnya.

    Bicara risiko, Herman juga mesti bisa terima kenyataan andai ada burung dagangannya yang mati. Benar, dirinya selalu menjaga kebersihan dan kesehatan serta memberi pakan, namun tak jarang musibah datang tanpa kenal libur. Ada saja burung kicaunya yang mendadak mati.

    “Namanya urusan dengan nyawa, ya. Risikonya ada aja burung yang mati, walau nggak terlampau sering. Tapi namanya juga pedagang, burung mati artinya rugi. Di sisi lain kita juga mesti yakin, rezeki sudah ada yang ngatur. Jadi saya yakin aja terus berusaha, selanjutnya biar Tuhan yang atur rezeki saya,” kata Herman.(*)