Penulis: Kontributor


  • Di saat banyak yang pasrah pada pupuk kimia dan harga pasar, Fatoni dan para petani di Desa Sinar Harapan memilih jalan berbeda. Mereka tak ingin merusak tanah demi panen semusim. Sebaliknya, mereka ingin merawat tanah, hutan, dan masa depan. Maka dimulailah satu ikhtiar sederhana, meracik pupuk berbasis ecoenzim dari sisa buah dan sayur. Lalu semua “diaduk” dalam semangat menjaga alam.

    (Lontar.co): Hari itu, Sabtu (21/5/2025), rumah Fatoni, Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Agroforestri Lestari, tak ubahnya seperti “laboratorium rakyat”. Puluhan orang hadir. Dari petani, mahasiswa dan dosen Politeknik Negeri Lampung (Polinela), pengusaha kopi lokal, hingga Kepala KPH Pesawaran. Mereka datang bukan sekadar hadir. Melainkan untuk belajar, mengaduk fermentasi, berdiskusi tentang harapan yang ditanam lewat pupuk organik.

    Fatoni percaya, perubahan tak harus menunggu instruksi pemerintah. Perubahan bisa dimulai dari kebiasaan sehari-hari. Bahkan dari dapur. Dari niat menjaga hutan tetap hijau, tanah tetap subur.

    Hairul Saleh, pemilik Gens Coffee Roastery yang juga hadir dalam pelatihan itu, menyebut inisiatif Fatoni tak bisa dipandang remeh. Ia mengatakan, kopi bukan hanya soal biji yang disangrai. Tapi tentang proses panjang dari tanah, sinar matahari, kelembaban udara, hingga perawatan pohon kopi itu sendiri.

    “Kopi juga bergantung pada faktor alam. Panen tahun ini belum tentu sama rasanya dengan panen tahun depan. Ada suhu, ada hujan, intensitas cahaya matahari, kondisi tanah. Semua itu bisa memengaruhi rasa kopi,” ujarnya.

    Menurutnya, praktik pertanian yang baik alias GoodAgriculture Practice wajib diterapkan. Salah satunya dalam hal pemupukan.

    “Saya pernah tanya ke Fatoni, ada nggak pupuk non-kimia? Dia bilang ada. Dari situlah tercetus kegiatan ini. Supaya apa pun yang kita ambil dari hutan, bisa kita kembalikan lagi ke alam tanpa merusak,” katanya.

    Tak hanya menjaga alam, penggunaan pupuk organik ini juga memberi keuntungan ekonomi bagi petani. Itu ditunjukkan lewat biaya produksi yang turun, hasil panen tetap terjaga, dan tanah hutan tak harus dikorbankan.

    Herbisida dan Pestisida Alami

    Dari aspek ilmiah, Giffary Pramafisi Soeherman, dosen Prodi Pengembangan Produk Agroindustri Polinela, menjelaskan ecoenzim dirancang khusus untuk menggantikan pupuk kimia yang selama ini banyak digunakan dalam sistem pertanian intensif.

    “Ecoenzim ini dibuat supaya pupuk yang digunakan di agroforestri lebih ramah lingkungan. Dari alam, kembali ke alam,” jelas Giffary.

    Ia memaparkan, bahan-bahan yang digunakan dalam proses ecoenzim berasal dari limbah dapur seperti pisang, jeruk, pepaya, dan sayuran busuk, yang kemudian ditambahkan molase dan air. Setelah difermentasi selama tiga bulan, larutan ini akan mengandung unsur hara penting, terutama nitrogen dari pemecahan protein yang sangat dibutuhkan tanaman.

    “Nutrisi hasil fermentasi ini akan membantu pertumbuhan tanaman secara alami,” katanya. Ecoenzim, imbuh Giffary, bisa disesuaikan fungsinya. Misalnya untuk herbisida atau pestisida alami. Pembedanya bergantungg pada perbandingan yang disesuaikan.

    Fatoni bersama mahasiswa Politeknik Negeri Lampung (Polinela) sedang mempraktikkan pembuatan ecoenzim. (foto: Yopie Pangkey)

    Hasil nyata dari manfaat ecoenzim tersebut, menurut Fatoni, sudah diakui banyak kalangan. Termasuk Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Yanyan Ruchyansyah. “Beliau bilang, kopi produksi kami sudah enak. Kalau sudah bagus, ya dijaga. Jangan sampai turun kualitasnya,” ujar Fatoni mengenang pesan itu.

    Kegiatan ini menjadi contoh bagaimana pelestarian hutan bisa berjalan beriringan dengan peningkatan produktivitas pertanian. Tak harus menebang untuk mendapat penghidupan. Tak harus merusak untuk bisa panen.

    Fatoni, dengan tangan yang tak pernah lepas dari tanah, tetap percaya pada langkah kecil yang dibuatnya. “Dulu kami pikir semua harus dibeli, termasuk pupuk. Tapi ternyata, dari limbah dapur dan limbah kebun kami bisa bikin pupuk sendiri. Itulah ecoenzim,” kata Fatoni.

    “Dengan agroforestri, kami bisa bertani tanpa merusak pohon. Hutan tetap ada, panen tetap jalan. Kami tak ingin hanya menunggu solusi dari luar. Kami mulai dari sini, dari apa yang kami punya,” tutupnya.

    Dan benar. Mungkin, apa yang mereka lakukan belum menggetarkan ruang rapat kebijakan di Lampung dan Jakarta. Tapi di tengah kerusakan ekologi yang makin merayap, suara kecil dari kaki Gunung Pesawaran ini terdengar nyaring, bahwa bumi masih punya penjaga. Bukan dari gedung tinggi, tapi dari dapur sederhana dan niat tulus para petani.(*)

    Penulis: Yopie Pangkey (blogger/fotografer)


  • Menurut data BPS tahun 2024, terdapat 399.921 kasus perceraian di Indonesia. Penyebabnya antara lain pertengkaran terus menerus, masalah ekonomi, salah satu pihak meninggalkan pasangan, kekerasan dalam rumah tangga, judi, zina, dan poligami.

    Perselisihan dan pertengkaran terus-menerus merupakan alasan terbanyak, dengan jumlah 251.152 atau sekitar 63 persen dari keseluruhan kasus.Pertengkaran bukan hanya mengarah pada kekerasan fisik semata, melainkan juga bisa berarti terganggunya emosi dan psikologis dalam rumah tangga.

    Dalam hubungan sosial, apalagi pasangan suami istri, perselisihan dan perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar. Isi kepala dan pengalaman manusia tak ada yang seratus persen sama, sehingga dalam memecahkan suatu masalah pun memiliki cara pandang dan penyelesaian berbeda-beda.

    Suami terbiasa tidur dengan lampu dimatikan, istri lebih suka dengan cahaya terang. Jalan keluarnya adalah mengondisikan kamar dalam suasana remang. Selain karena win-win solution, tidur dengan cahaya terang dapat terdeteksi oleh mata sehingga bisa mengganggu jam biologis tubuh dan menekan sekresimelatonin.

    Istri terbiasa rapi, suami sering seenaknya saja. Meletakkan handuk basah di atas kasur, alas kopi dijadikan asbak, sampai pulang terlambat tak pernah berkabar. Tampaknya, itu kejadian sederhana dan bukan masalah penting. Namun, hal demikian bisa menjadi bom waktu yang tiba-tiba meledak tanpa pemberitahuan.

    Beberapa alasan mengapa itu bisa terjadi. Pertama, perbedaan cara pandang. Yang satu menganggap penting, yang satu tidak. Bagi suami, membuang abu rokok di tatakan kopi toh biasa saja. Tinggal buang ke keranjang sampah jika penuh. Atau merokok tak mengapa asal di luar rumah dan asapnya tak masuk ke dalam. Sementara istri kekeh itu tak boleh karena selain merusak kesehatan, ada kekhawatiran akan menjadi pemandangan yang biasa dan dicontoh oleh anak lalu diwariskan ke generasi berikutnya.

    Kedua, bicara, tapi tak didengar. Suami ingin istri di rumah saja, istri hobi bepergian ke sana sini. Suami berharap mendapat sapa hangat setiap pulang kerja, istri masih sibuk nonton drama dua ratus episode. Suami protes, tapi istri tak mendengar. Istri merajuk, tapi suami cuek saja.

    Hasil dari dua penyebab ini adalah pertengkaran dan perselisihan yang berkelanjutan sehingga mengakibatkan ketidakharmonisan hubungan dan bisa berakhir pada perceraian. Perceraian yang didahului sikap saling diam, tak peduli, dan ya sudah-sudahlah. Fenomena ini sering disebut silent treatment.

    Mulanya, silent treatment merupakan sebentuk alternatif hukuman fisik bagi narapidana di Inggris pada tahun 1835. Dalam masa kekinian, sekira 1987-an, istilah ini juga dikaji oleh Buss dan Gomes sebagai salah satu bentuk taktik manipulasi dalam hubungan interpersonal untuk menghentikan perilaku tidak menyenangkan pada orang lain. 

    Silent treatment terjadi akibat ketidakmampuan mengelola emosi, trauma masa lalu, dan adanya kebiasaan menghindari konflik. Dengan alasan tidak ingin ribut dan memicu perselisihan, seseorang memilih lebih baik diam dengan asumsi toh yang diributkan tidak terlalu penting atau akan reda dengan sendirinya. Dampak negatif dari perilaku ini adalah tumbuhnya sikap rendah diri, merasa tak dihargai dandi cintai, lelah, kecewa, dan yang paling dasar adalah perasaan dianggap tak ada dan tak penting untuk diperjuangkan.

    Maka, kunci utama mengatasi itu semua adalah komunikasi. Membuka keran percakapan dengan pasangan sejatinya akan membuat segala bentuk emosi bisa mengalir dengan baik walau mungkin sesekali tersendat. Mencoba mengingat-ingat kembali hal apa yang membuat jatuh cinta, mungkin akan memunculkan sisi romantis yang mampet.

    Tetapi, tentu saja itu harus dilakukan kedua belah pihak. Jika hanya satu pihak saja, ya, urusan bisa kapiran. Bertepuk sebelah tangan, menapak sendirian, begitu terus tanpa ada jalan ke luar.

    Namun, jika segala cara telah ditempuh, semua usaha telah dilakukan, tetap saja tak ada perubahan, maka berusaha mengambil keputusan dengan berbagai pertimbangan sebaiknya segera dilakukan. Tidak ada yang menjamin usia sampai kapan, tapi, seumur hidup itu terlalu lama untuk bertahan dalam diam, pembiaran, dan ketidakpedulian satu sama lain.

    Perceraian bukan sesuatu yang haram. Namun, itu juga bukan keputusan yang pasti terbaik dan disukai Allah Swt. Tidak ada yang menjamin setelah perceraian pasti akan mendapatkan kebahagiaan. Itulah yang menjadi alasan mengapa perceraian merupakan pintu darurat, pilihan terakhir dalam sebuah rumah tangga.

    Berbagai pertimbangan harus disertakan. Rida Tuhan, kesehatan fisik dan mental diri sendiri maupun anak, itu yang utama. Mengenai pandangan orang lain, kiranya tak perlu dipikirkan serius. Orang lain tak berhak untuk memberi penilaian dan memutuskan mana yang benar dan salah, mana yang bagus dan buruk. Kita adalah penentu keberadaan diri setelah Tuhan Sang Penguasa Semesta. (*)

    (Fitri Restiana, penulis)


  • Mendung lagi, hujan lagi. Di balkon, halaman, trotoar, di depan toko yang sudah tutup, di ruang tamu, dan di mana-mana, banyak warga memandang langit Tanjungkarang dengan perasaan campur aduk. Tapi, belum lagi mereka menceracaukan kebingungan, air berwarna coklat berebut turun ke jalan. Warga yang terkejut hanya bisa melongo, lalu tanpa sadar memukuli kepala mereka sendiri hingga berdarah.

    Mereka, sekelompok air itu, memang bandel. Malas kali lewat sistem drainese yang sudah sangat BAIK disiapkan pemerintah kota atau provinsi. Serombongan air yang kerap bertingkah tengil itu mengundang rombongan lain untuk bergabung, sambil cekikikan memenuhi jalanan, menyelinap ke rapatnya kendaraaan, dan memberi tambahan masalah bagi pegawai honorer bergaji kurang dari UMR agar selalu berada pada situasi bahwa hidupnya adalah nasib buruk.

    Seperti pada satu momen, terlihat sekelompok air dilindas ban mobil, mereka kompak melompat dan mengguyur wajah pengendara motor yang kebetulan tanpa jas hujan, sumpah serapah keluar dari mulut pengendara motor, penumpangnya ikut basah dan ikut memproduksi rasa marah, pengendaraan lain mengelus dada, sesuatu yang sudah dianggap lazim sesungguhnya, mereka harus menerima, suka atau tidak suka demikianlah adanya, dan caci maki berenang di jalanan yang telah berubah menjadi sungai.

    Ada kata-kata bagus dari Ben Okri pada novelnya yang berjudul The Famished Road, bahwa jalanan itu telah berubah menjadi sungai, sungai yang lapar, yang akan menelan apa saja.

    Warga di Tanjungkarang yang sudah kenyang pengalaman tak gentar begitu saja. Meski kerap rumah mereka terendam air cokelat dari jalanan, beberapa keluarga harus diungsikan, atau harus kehilangan sanak saudaranya, mereka tetap harus bertahan dan melanjutkan hidup mereka sebagai warga yang gigih, yang saban waktu menghadapi ujian.

    Sejalan dengan sikap heroik warganya, walikota ngotot akan membuat kereta gantung. Semacam perlawanan terhadap luapan air cokelat yang kerap menguasai jalanan, semacam ketegasan pemerintah kota pada warganya agar tetap bisa survive di ketinggian.

    Walikota juga menyukai motif polkadot di jalan-jalan, yang dipikirnya sebagai jebakan bagi sekawanan air dan sekaligus merawat rasa waspada bagi pejalan. Eling lanwaspodo adalah sebuah prinsip yang berarti “ingat dan waspada”. Ini adalah ajaran untuk selalu sadar dan berhati-hati dalam menjalani hidup, serta selalu mengingat tujuan hidup yang sejati.

    Lebih lanjut, di hadapan satuan kerja pemkot pada apel rutin setiap Senin pagi, walikota menjelaskan Eling (Ingat) artinya mengingat asal usul, tujuan hidup, dan hubungan dengan Tuhan. Ini berarti selalu sadar akan kodrat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan tidak terlena dengan kenikmatan duniawi.

    Sedangkan Waspodo (Waspada) bisa diartikan berhati-hati dalam setiap tindakan dan keputusan, serta menyadari potensi bahaya dan godaan yang mungkin muncul. Ini mencakup kewaspadaan terhadap diri sendiri, lingkungan, dan pengaruh buruk dari luar.

    Prinsip ini mengingatkan untuk tidak terlena dalam kebahagiaan atau kesedihan, serta selalu berpegang pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.

    Ratusan satker yang mengikuti apel rutin setiap Senin pagi manggut-manggut. Ini wajib, jika sampai tertangkap kamera tidak manggut-manggut, bisa bahaya, bisa kena mutasi atau bahkan lebih buruk, di-non job-kan.

    Daulat Tuanku adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi, dan semua mengamini. Prinsip yang memang sudah ada dalam DNA warganya jauh sebelum kemerdekaan, sebelum menjadi NKRI, mungkin sejak zaman Majapahit atau Mataram, atau lebih kuno dari itu. Feodalisme dan fanatisme yang digemakan dan diproduksi terus menerus hingga era globalisasi.

    Alamaknya, warga Tanjungkarang gemar memilih penguasa feodal, yang seringkali menggunakan fanatisme untuk mempertahankan kekuasaan mereka, dengan mempromosikan ideologi atau kepercayaan yang menguntungkan mereka.

    Situasi yang menciptakan Vassal Mentality, sikap tunduk dan patuh yang berlebihan pada atasan atau tokoh tertentu, yang dapat dilihat dalam budaya kerja atau organisasi tertentu.

    Sehingga tak ada yang protes, permasalahan buruknya sistem drainese di Tanjungkarang, dan malah, di mana-mana, sejumlah dinding jalan terpampang sepanduk bertuliskan, D-Rain-Asek. (*)

    (Alexander Gebe: Penulis/Seniman Teater)


  • Siang itu, di bawah panas terik matahari pukul dua belas siang, arus lalu lintas di lampu merah depan Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek terlihat berbeda. Biasanya ramai lancar, kali ini tersendat, bahkan macet.

    Di tepi Jalan Teuku Umar ternyata tergeletak sesosok perempuan sekitar usia 50-an. Wajahnya menempel di aspal pinggir jalan. Rupanya terjadi kecelakaan. Saya tak tahu pasti bagaimana awal muasal kejadiannya.

    Para pengendara semakin memperlambat laju kendaraan. Beberapa berhenti hingga menyebabkan kemacetan, suara klakson kendaraan saling bersahutan. Wajah-wajah penasaran hanya menatap tubuh perempuan paruh baya itu dari jarak beberapa meter. Ibu ini mengenakan jilbab. Kepalanya menempel di aspal, dari pelipisnya mengalir cairan merah segar.

    Tak jelas sudah berapa lama ia terbaring di sana. Saya yang kebetulan melintas langsung menepikan motor tak jauh dari lokasi. Ada dorongan yang sulit dijelaskan, campuran panik dan iba.

    Di dalam hati, saya ingin sekali menolong ibu itu. Dalam batin saya, mungkin beliau tadi jatuh di tengah jalan raya, lalu seseorang memindahkannya ke pinggir agar tak tertabrak kendaraan lain.

    Di saat semua orang hanya berani melihat hingga menyebabkan kemacetan, saya berbicara di depan mereka yang hanya bisa menonton.

    “Kenapa pada diem, bantu dudukin ibu ini biar sadar,” ucap saya.

    “Saya takut Mas,” jawab salah satu pengendara yang duduk di motornya.

    Entah takut menyentuh, takut disalahkan, atau takut jadi bagian dari masalah. Tapi justru di situlah masalahnya.

    Karena tak ada yang menggubris, saya berinisiatif mengangkat ibu ini sendirian. Namun karena tak sanggup, perlahan satu per satu mulai ikut membantu.

    Saya tak memperhatikan lagi siapa saja. Ternyata ojek online dan pengendara wanita pun berusaha menolong. Setelah diangkat dan disandarkan ke dinding jembatan lampu merah, rupanya kacamata ibu ini pecah, dan pelipis matanya mengeluarkan darah.

    Ajaibnya, tak berselang lama, ibu ini siuman. Mata yang sejak tadi terpejam kini mulai terbuka, menatap orang-orang yang berkerumun di depannya dengan tatapan heran.

    Setelah sadar, ibu ini tampak linglung. Ia bertanya di mana dirinya, dan mengapa ada banyak orang mengelilinginya.

    “Alhamdulillah ibu ini sadar,” ucap salah satu perempuan yang menolong.

    Percakapan yang tak nyambung pun terjadi. Ibu ini masih bingung, sementara mereka yang menolong berusaha menjelaskan bahwa ia baru saja mengalami kecelakaan.

    Salah satu dari mereka berusaha mencari ponsel milik ibu ini dari dalam tas, agar bisa segera menghubungi keluarganya.

    Ternyata ponsel itu terkunci. Saat ditanya password, ibu ini masih linglung, jawabannya tak jelas.

    “Ibu, password handphonenya berapa?” tanya seorang perempuan berpenampilan seperti mahasiswi, sambil menekan angka-angka. Tapi tetap salah, berulang kali.

    Saya pun mencoba membukanya. Tapi tetap gagal. Entah sudah berpindah tangan ke berapa, ponsel itu belum juga terbuka.

    Kami akhirnya sepakat memindahkan ibu ini ke tempat yang lebih aman. Untungnya, tak jauh dari lokasi, ada rumah warga yang mengetahui kejadian ini. Dengan kekuatan empat orang laki-laki, kami mengangkat tubuh ibu ini yang lunglai, lalu membawanya ke rumah tersebut.

    “Tadi denger suara keras, ternyata kecelakaan,” ujar anak pemilik rumah, yang masih mengenakan seragam sekolah, setelah mempersilakan ibu ini duduk di teras rumahnya.

    Saat situasi mulai tenang, saya kembali mencoba membuka ponselnya. Dalam hati saya, password ibu-ibu biasanya sederhana. Saya coba tekan angka nol enam kali. Dan ternyata terbuka.

    Sontak mereka yang melihat saya berhasil membuka ponsel itu bersorak gembira.

    “Eh, kebuka. Alhamdulillah,” ucap perempuan yang langsung saya serahkan ponsel tersebut untuk menghubungi keluarganya.

    Namun masalah belum selesai. Ponsel itu ternyata tidak memiliki kuota. Anak pemilik rumah pun sigap memberikan password WiFi agar bisa digunakan untuk menelepon.

    Perempuan yang tadi memegang ponsel berhasil menemukan kontak suaminya. Saya perhatikan, perlahan ingatan ibu ini mulai pulih. Dari percakapan yang terdengar, suaminya sedang berada di luar kota dan secepatnya akan menghubungi anaknya.

    Dari saat saya menepikan motor, hingga ibu ini sadar kembali, saya perkirakan semua berlangsung begitu cepat, mungkin 5–10 menit.

    Saya sempat mengecek kondisi motor milik ibu ini. Keadaannya baik-baik saja. Untung ada satpam salon kecantikan di dekat lokasi yang ikut mengamankan motor dan kuncinya.

    Setelah melihat situasi terkendali, saya pamit kepada dua perempuan berseragam hitam yang masih menemani ibu ini.

    “Saya izin dulu ya. Kalau anaknya sudah datang, suruh cepat periksa ke dokter,” pesan saya.

    Saya pun melanjutkan perjalanan. Dalam hati, muncul pertanyaan, kenapa saya berinisiatif menolong ibu ini? Bagaimana jika beliau ternyata meninggal di tempat?

    Saya sadar, bukan wewenang saya, sebagai pengendara biasa menyentuh korban kecelakaan lalulintas. Ada risiko saat mengangkat tubuh yang tak sadarkan diri. Seharusnya menunggu polisi atau ambulans. Tapi kalau menunggu terlalu lama, bagaimana jika ibu ini keburu lewat?

    Alhamdulillah, saat itu ibu ini sadar kembali. Dan keluarganya pun berhasil dihubungi. Saya merasa, ini soal hati yang berbicara. Ada semacam firasat bahwa ibu ini belum meninggal.

    Kejadian ini terjadi pada tahun 2024 silam. Dan hari itu, saya bukan seorang jurnalis, saya hanya warga biasa yang kebetulan melintas. Tak ada liputan, tak ada catatan. Hanya ada satu di kepala saya, yaitu menolong sebisa mungkin.

    Ternyata sudah satu tahun lalu kejadian ini baru saya kisahkan kedalam tulisan. Bahkan saya tidak tahu siapa nama ibu itu. Siapa nama-nama mereka yang ikut membantu. Semua terjadi begitu cepat.

    Jika suatu hari tulisan ini dibaca oleh ibu dan anaknya maupun suaminya, atau para pengendara baik hati yang ikut membantu hari itu, saya percaya Allah SWT telah menakdirkan kita bertemu bukan secara kebetulan, tapi bagian dari rencananya.

    Semoga suatu saat jika kejadian serupa menimpa diri kita, keluarga kita, atau orang-orang terdekat kita, akan selalu ada tangan-tangan yang sigap menolong tanpa pamrih, tulus, ikhlas menolong sesama. Wassalam. (*)

    (Abdul Rosid: Jurnalis)


  • Piil Pesenggiri merupakan falsafah hidup masyarakat Lampung yang berarti sikap pantang menyerah dalam mempertahankan harga diri, martabat, dan kehormatan.

    Pi’il berasal dari kata bahasa Arab –fi’il, yang berarti perangai atau tingkah laku. Ada lima prinsip dalam Pi’il Pesenggiri yang sejatinya dipegang teguh terutama oleh masyarakat Lampung, yaitu Pi’il Pesenggiri(kehormatan), Juluk Adek (gelar adat), Nemui Nyimah (ramahtamah), Nengah Nyappur (sikap berbaur), dan Sakai Sambayan(gotong royong).

    Secara sederhana, Pi’il adalah upaya menjaga dan melindungi harga diri dan martabat keluarga dari tindakan-tindakan yang merugikan dan berpotensi mencoreng nama baik.

    Sebagai falsafah hidup, Pi’il Pesenggiri mempunyai kekuatan mengikat untuk ditaati dan dipatuhi. Ia bukan saja berfungsi sebagai rambu, melainkan juga sebagai media pemberian sanksi sosial dalam masyarakat.

    Namun, akhir-akhir ini defisini Pi’il menjadi kian kabur dan samar. Banyak yang menyalahartikan bahwa Pi’il sekadar nilai dan mendefinisikannya hanya sebatas gengsi, bukan sesuatu yang harus dipatuhi secara sadar dan bertanggungjawab.

    Sebagai contoh. Seorang perempuan muda bersungut-sungut ketika ibunya menyuruh ke pasar. “Lah, Bu. Masa aku disuruh belanja ke pasar tempel yang becek? Bagaimana nanti kalau ketemu teman kantor? Aku ini kan wanita karir. Pi’il, geh!”Sang gadis menganggap bahwa permintaan ibu bisa menjatuhkan harga dirinya sebagai perempuan pekerja yang berpenampilan necis dan rapi.

    Ke pasar dan becek-becekan, membuat ia merasa reputasinya turun dan tak pantas dilakukan oleh seorang wanita karir.

    Hingga tahun 1990-an, dalam tradisi Lampung, adalah lumrah jika seorang ayah atau laki-laki dewasa ke pasar untuk membeli bahan sayur dan lauk pauk. Hal ini basanya dilakukan sebelum atau sesudah menggarap ladang. Sampai di rumah, mereka istirahat, istri masak.

    Walaupun tak tertulis dan tak semua melakukannya, hal ini berlangsung dengan aman dan baik-baik saja. Tanpa hitung-hitungan apatah perdebatan panjang. Ada kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri karena mampu melaksanakan tugas sebagai kepala keluarga dengan baik dan benar.

    Makin ke sini, fenomena itu semakin jarang dijumpai, apalagi di perkotaan. Banyak pasangan menganggap yang bertanggung jawab urusan dapur adalah istri, itu tak boleh dan tak bisa diganggu gugat.

    Suami yang mencari, istri yang membelanjakan. Suami yang pergi pagi pulang malam, istri di rumah berkutat dengan urusan domestik. Sesaklek itu.

    Jika suami sedang di rumah dan memiliki waktu luang, tak mau sama sekali turun tangan untuk membeli kebutuhan dapur. Bila mau pun, biasanya yang berat-berat dan ‘tak menodai’ keberadaan mereka sebagai kepala keluarga, misalnya membeli air minum isi ulang dan gas. Beli minyak? Malas. Telur? Takut pecah. Cabai? Tomat? Sayur? Apalagi. Nehi-nehi!

    Pi’il saya mau dikemanain kalau disuruh-suruh ke warung?  Itukan urusan ibunya anak-anak. Tugas saya hanya mencari uang,” begitu pledoi seorang ayah dengan tiga anak balita ketika istrinya yang sedang menggosok baju meminta tolong membeli sabun cuci ke warung.

    Pi’il dipahami sebagai tameng agar dirinya tak melakukan pekerjaan ‘remeh’ yang bisa membuat harga dirinya jatuh.  

    Melihat dua contoh tersebut, maka muncullah pertanyaan penting, bagaimana bisa kata Pi’il disandingkan dengan ‘gengsi’ secara brutal? Sementara dua kata itu memiliki pemahaman yang berbeda? Pi’il bermakna fokus pada menjaga martabat diri, keluarga, dan kelompok/komunal, kata yang menempatkan manusia sebagai makhluk berakal budi.

    Sementara, gengsi lebih berorientasi pada penampakan, penampilan luar kekayaan, status sosial, seringkali tanpa nilai –walaupun gengsi tak selalu berarti negatif.

    Menurut Mawardi –budayawan, Pi’il Pesenggiri bukan sekadar gengsi, tetapi juga mengandung nilai-nilai yang dapat menjadi benteng dalam menghadapi budaya asing dan mendorong masyarakat untuk memiliki visi dan tujuan yang jelas.

    Kekeliruan pemahaman ini harus segera diluruskan agar tidak menjadi warisan yang salah kaprah. Salah satu satu caranya adalah menyosialisasikan dan menginternalisasikan bahasa daerah ke dalam program-program pembelajaran baik formal maupun informal.

    Kita semua harus meningkatkan tanggung jawab dan bergerak bersama dalam menjaga bahasa daerah. Pemerintah, akademisi, budayawan, penulis, lembaga bahasa, media massa, dus masyarakat umum. Penggunaan bahasa yang baik dan benar akan melahirkan generasi yang literat, berpikir kritis, dan memiliki keingintahuan yang besar. Ini menjadi modal penting demi melahirkan manusia-manusia beradab dan berkemajuan.

    Penggunaan dan pemahaman terhadap bahasa yang baik dan benar, merupakan suatu kewajiban sekaligus kebutuhan agar nilai-nilai dan budaya tidak terputus begitu saja. Hal ini selaras dengan Trigatra Bangun Bahasa yang dicetuskan oleh Kemendikbudristek, yaitu utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.

    Kik mak kham, sapa lagi? Kik mak ganta kapan lagi?

    (Fitri Restiana, penulis)



  • BBC, lembaga media paling berkuasa di Inggris, memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman publik tentang perang Israel di Gaza. BBC berulang kali memilih untuk mengaburkan, meminimalkan, dan membersihkan salah satu kejahatan militer paling brutal di abad ke-21.

    Sebuah laporan baru yang komprehensif oleh Centre for Media Monitoring (CfMM) mengungkap pola yang sangat khas dalam liputan BBC tentang perang tersebut, yakni pengistimewaan tanpa henti terhadap suara-suara Israel, dehumanisasi terhadap penderitaan Palestina, dan penolakan yang disengaja untuk menyebutkan—apalagi menginterogasi—konteks pendudukan, pengepungan, dan apartheid yang mendasari bencana ini.

    Ini bukan tentang kesalahan kecil kerja editorial. Ini tentang kegagalan sistematis untuk memperlakukan rakyat Palestina sebagai manusia seutuhnya—sebagai orang-orang yang kehidupan dan kematiannya layak untuk direpresentasikan dengan martabat, keseriusan, dan kejelasan moral yang sama yang diberikan kepada orang Israel. Ini tentang penyiar yang didanai publik yang mengabaikan tugasnya untuk bersikap netral demi narasi yang sangat dipolitisasi dan berat sebelah.

    Sejak awal serangan Israel ke Gaza menyusul serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, BBC membingkai perang tersebut bukan sebagai kelanjutan dari penjajahan, blokade, dan perampasan selama puluhan tahun. Alih-alih, sebagai bentrokan simetris antara kedua belah pihak.

    Artikel yang tidak menyebutkan kata “pendudukan” bukanlah pengecualian, melainkan aturan atau formula sistematis. Istilah seperti “pemukiman”, “blokade”, dan “apartheid”–yang digunakan oleh PBB dan Amnesty International–hampir tidak ada sama sekali. Sebaliknya, konflik tersebut digeneralisasi menjadi serangkaian aksi saling balas, dengan perlawanan Palestina yang dipisahkan dari konteks sejarah atau hukum apa pun.

    Distorsi yang Mengerikan

    Hasilnya? Distorsi realitas yang mengerikan di mana kekerasan struktural yang dilakukan oleh salah satu militer paling maju secara teknologi di dunia, terhadap populasi dua juta orang yang terkepung, dihapuskan demi eufemisme kosong dan konstruksi pasif.

    Jumlah warga Palestina yang tewas di Gaza kini melebihi 55.000, sebagian besar dari mereka adalah wanita dan anak-anak. Namun dalam liputan BBC, laporan CfMM menunjukkan, warga Palestina paling sering digambarkan “tewas” atau “terbunuh” dalam serangan udara, tanpa menyebutkan siapa yang melancarkannya.

    Sebaliknya, korban Israel digambarkan menggunakan bahasa yang lebih emosional, seperti “dibantai”, “dibunuh secara massal” dan “dijagal”.

    Laporan CfMM, yang diterbitkan minggu ini, meneliti lebih dari 35.000 konten BBC yang terkait dengan perang Israel di Gaza antara 7 Oktober 2023 dan 6 Oktober 2024.

    BBC menggunakan kata “pembantaian” 18 kali lebih sering untuk menggambarkan kematian warga Israel dibandingkan warga Palestina. BBC menawarkan jumlah profil korban yang hampir sama untuk kedua populasi—meskipun jumlah warga Palestina yang terbunuh jauh lebih tinggi. Ini bukanlah pilihan editorial yang netral; ini adalah upaya merendahkan kehidupan warga Palestina.

    Tidak berhenti di situ. Para narasumber Palestina di program BBC secara rutin diinterogasi, disela, dan didorong untuk mengutuk Hamas—seolah-olah itu adalah harga yang harus dibayar karena telah diizinkan berbicara dalam program mereka.

    Sebaliknya, juru bicara Israel, yang banyak di antaranya membela kejahatan perang di udara, diperlakukan dengan hormat. Tidak seorang pun tamu Israel diminta untuk mengutuk pemboman yang disengaja terhadap rumah sakit, kamp pengungsi, atau sekolah—meskipun ada banyak bukti dan kemarahan internasional.

    Ketidakseimbangan ini meluas hingga liputan tentang sandera dan tahanan. Sandera Israel menjadi subjek liputan yang intens, lengkap dengan wawancara emosional, berita terkini, serta detil yang muram dan menyentuh kemanusiaan. Sementara, tahanan Palestina—ribuan di antaranya ditahan tanpa dakwaan atau pengadilan—hampir tidak terdaftar.

    Bahkan dalam kasus pertukaran tahanan, liputan BBC hampir secara eksklusif berfokus pada warga Israel yang kembali. Siapakah tahanan Palestina? Sudah berapa lama mereka dipenjara? Apakah mereka disiksa, dianiaya, atau ditolak proses hukumnya? Pertanyaan-pertanyaan ini sebagian besar tidak ditanyakan dan tidak dijawab.

    Kebutaan editorial semacam ini bukanlah sesuatu yang tidak disengaja. Kebutaan ini mengalir dari budaya institusional yang lebih dalam yang menolak melihat rakyat Palestina sebagai orang-orang dengan keluhan, aspirasi, dan hak yang sah; budaya yang menuntut rakyat Palestina hanya berbicara sebagai korban atau teroris, tidak pernah sebagai manusia yang menolak penindasan.

    Hal ini paling jelas terlihat dalam perlakuan BBC terhadap bahasa. Laporan tersebut mendokumentasikan lebih dari 100 contoh di mana presenter menyela atau menantang narasumber karena menggunakan istilah “genosida” untuk menggambarkan tindakan Israel di Gaza.

    Ironisnya, itu dilakukan ketika Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kasus Afrika Selatan yang menuduh Israel melakukan genosida dapat dilanjutkan.

    Pengkhianatan Mendalam

    Dalam kasus Ukraina, BBC tidak memiliki masalah dalam menggunakan bahasa seperti itu.  Para jurnalisnya bebas menggunakan tuduhan “kejahatan perang” ketika menggambarkan agresi Rusia.

    Namun, mengenai Israel, BBC mengikat dirinya dalam simpul-simpul retorika untuk menghindari mengatakan apa yang dapat dilihat oleh jutaan orang di seluruh dunia dengan mata kepala mereka sendiri: sebuah kampanye pemusnahan yang sistematis dan tak henti-hentinya.

    Ini bukanlah keseimbangan. Ini adalah penyensoran untuk melindungi pihak yang berkuasa dan membungkam pihak yang tertindas.

    Pengkhianatan paling mendalam bisa jadi dilakukan BBC terhadap jurnalis itu sendiri. Lebih dari 225 jurnalis telah terbunuh di Gaza selama perang, periode paling mematikan bagi pekerja media dalam ingatan manusia.

    Namun, BBC melaporkan hanya enam persen dari kematian tersebut. Mereka bukanlah korban yang tidak disebutkan namanya. Mereka adalah ibu, ayah, putra dan putri, yang mendokumentasikan penderitaan rakyat mereka dengan keberanian yang luar biasa.

    Banyak yang meninggal dengan kamera masih di tangan. Kematian mereka seharusnya menjadi bagian utama dari refleksi diri setiap redaksi. Sebaliknya, mereka diperlakukan sebagai kebisingan latar belakang.

    Bandingkan dengan Ukraina, di mana 62 persen kematian jurnalis diliput oleh BBC. Ketimpangan ini berbicara banyak. Di Gaza, bahkan kematian jurnalis–orang-orang yang melaluinya kita melihat dunia–dianggap tidak layak mendapat perhatian berkelanjutan.

    Akhir tahun lalu, lebih dari 100 staf BBC menandatangani surat terbuka yang memperingatkan bahwa lembaga penyiaran ini gagal dalam tugasnya untuk melaporkan secara adil tentang Gaza. Mereka menunjuk pada budaya ketakutan, standar ganda editorial, dan keengganan untuk membiarkan suara dan perspektif Palestina disiarkan tanpa permusuhan.

    BBC membela liputannya tentang Gaza, dengan mengatakan bahwa mereka “transparan” ketika terjadi kesalahan dan “berterus terang kepada audiens kami tentang keterbatasan” pekerjaannya karena pembatasan akses pelaporan dari lapangan.

    Kekhawatiran yang disampaikan oleh staf BBC menggemakan kekhawatiran yang diangkat dalam laporan CfMM. Mereka menuntut lebih dari sekadar tanggapan humas yang defensif. Yang dipertaruhkan di sini bukan hanya kredibilitas BBC, tetapi peran media di masa kekerasan massal.

    BBC suka memosisikan dirinya sebagai standar global untuk jurnalisme. Namun, ketika liputannya secara konsisten memperkuat suara pihak yang berkuasa sambil membungkam mereka yang menghadapi pemusnahan, BBC berhenti menjadi pengamat yang netral.

    Diam dalam menghadapi ketidakadilan bukanlah bentuk ketidakberpihakan. Publik berhak mendapatkan yang lebih baik. Begitu pula warga Palestina yang tewas dan mereka yang masih hidup. (*)

    Faisal Hanif (foto: middleeasteye)

    (Diterjemahkan dari: Hanif, Faisal (2025, 19 June). War on Gaza: How the BBC sanitises Israel’sgenocide.”https://www.middleeasteye.net/opinion/uk-gaza-war-bbc-sanitises-israels-genocide-how) —tulisan disadur dari FB Ikwan Setiawan.



  • Pada buku Rendra; Penyair dan Kritik Sosial, dinyatakan bahwa agen reformasi budaya terpenting adalah pendidikan. Kita semua juga bersepakat bahwa peningkatan sumberdaya manusia, terlebih dalam upaya menuju Indonesia emas sebagaimana yang digembar-gemborkan pemerintah pusat dan daerah, ujung tombaknya adalah pendidikan.

    Tapi yang terjadi di Lampung baru-baru ini, membuat masyarakat gugup dan mungkin enggan membayangkan masa depan, satu kenyataan pendidikan mengabarkan 89,66% siswa gagal tembus nilai di atas 50 pada TesKemampuan Akademik (TKA) SMA Unggulan Lampung.

    Dari 3.863 siswa SMP yang mengikuti seleksi pada 11–12 Juni 2025, sebanyak 89,66 persen peserta memperoleh nilai di bawah 50. Hasil resmi diumumkan serentak pada Sabtu, 14 Juni 2025.

    Berikut rincian statistik hasil nilai siswa peserta TKA: Nilai 81–90: 0,08% (3 siswa),  Nilai 71–80: 0,65% (25 siswa), Nilai 61–70: 1,89% (73 siswa), Nilai 51–60: 7,74% (299 siswa), Nilai 41–50: 22,50% (859 siswa), Nilai 31–40: 34,54% (1.450 siswa), Nilai 21–30: 26,33% (1.027 siswa), Nilai 11–20: 2,90% (112 siswa), Nilai 1–10: 0,08% (3 siswa), Nilai 0: 0,31% (12 siswa).

    Sontak, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Lampung, Thomas Amirico, prihatin. Mungkin Gubernur juga prihatin, anggota dewan prihatin, guru-guru dan pihak sekolah, serta masyarakat prihatin, pada kualitas siswa (generasi penerus) yang kelak akan sedianya bakal melanjutkan mengelola dan memimpin negeri ini.

    Prihatin menjadi viral jika sudah begini. Rasa prihatin kerap jadi strategi banyak pihak yang ingin lepas dari tanggung jawab atas kenyataan tersebut.  

    Guru dan kurikulum pasti jadi kambing hitamnya. Saya percaya bahwa guru dan pihak sekolah sudah berusaha maksimal, transmisi pengetahuan sungguh-sungguh sudah dijalankan sesuai dengan instruksi.  Jadi, sewaktu mengikuti Tes Kemampuan Akademik, ada “sabotase massal”, sebentuk kesurupan, dengan kata lain siswa menjawab tes tanpa kesadaran penuh. Hasilnya jadi begitu.  

    Jangankan siswa, Laman Dinas Pendidikan Kota Bandarlampung saja, typo sana-sini. Saya juga percaya bahwa terjadi “sabotase” kesadaran admin yang mengelola laman tersebut. Meski tentu kita tahu bahwa laman Dinas Pendidikan Kota Bandarlampung memegang peran krusial sebagai jendela informasi utama bagi masyarakat, baik siswa, orang tua, pendidik, maupun pihak lain yang berkepentingan dengan dunia pendidikan di kota ini.

    Terlebih di era digital yang mengedepankan kecepatandan aksesibilitas informasi, kehadiran laman resmi yang akurat dan bebas kesalahan menjadi sebuah keharusan. Namun, temuan typo atau kesalahan penulisan pada laman tersebut, meskipun terlihat sepele, sesungguhnya mencerminkan isu yang lebih besar terkait kualitas informasi publik dan kredibilitas institusi.

    Kesalahan penulisan pada laman resmi pemerintah bukanlah sekadar kecerobohan linguistik, melainkan memiliki dampak berlapis. Pertama, merosotnya citra profesionalisme. Sebuah lembaga pendidikan, yang notabene adalah garda terdepan dalam mencerdaskan bangsa, seharusnya menjadi teladan dalam penggunaan bahasa yang benar dan akurat.

    Keberadaan typo yang menonjol dan berulang-ulang dapat menciptakan kesan bahwa lembaga tersebut kurang teliti, tidak serius, atau bahkan abai terhadap detail. Ini berpotensi mengikis kepercayaan publik, yang pada gilirannya dapat memengaruhi partisipasi masyarakat dalam program-program pendidikan yang dicanangkan.

    Kedua, potensi kesalah pahaman informasi. Meskipun seringkali pembaca dapat memahami maksud di balik typo, ada momen krusial di mana kesalahan penulisan dapat mengubah makna atau menciptakan ambiguitas.

    Misalnya, kesalahan pada angka, tanggal penting, atau persyaratan pendaftaran beasiswa dapat menyebabkan kebingungan massal, antrean panjang di kantor dinas, hingga hilangnya kesempatan penting bagi individu.

    Dampak ini secara langsung merugikan masyarakat yang mengandalkan informasi dari laman tersebut untuk mengambil keputusan penting.

    Ketiga, indikasi kelemahan dalam tata kelola kontendigital. Typo yang konsisten muncul mengindikasikan bahwa proses kontrol kualitas (quality control) dalam pengelolaan konten laman belum berjalan optimal.

    Ini mungkin disebabkan oleh kurangnya prosedur baku dalam penyuntingan, keterbatasan sumber daya manusia yang terlatih dalam kepenulisan, atau minimnya kesadaran akan pentingnya akurasi linguistik di kalangan pengelola laman. Dalam konteks pemerintahan, hal ini perlu menjadi perhatian serius karena berkaitan dengan akuntabilitas dan transparansi.

    Mari sama-sama percaya, bahwa itu tidak disengaja, ada “sabotase”, tiba-tiba jin atau ada roh yang merasuki kita semua, sehingga kita bisa mengubah dokumen tanpa merasa bersalah dan tak perlu berurusan dengan hukum, meski saya tidak menganjurkan bagi rakyat kecil, ini hanya boleh bagi yang punya otoritas, yang memang memiliki kedekatan dan sering ngopi bareng dengan hukum.

    Sementara kita, rakyat kecil harus teliti, harus cermat, kalau tidak ya bisa bahayalah bagi kemaslahatan hidup. (*)

    Penulis: Alexander Gebe (Penulis/Seniman Teater)


  • Muamar Leonardo bukan sosok rekaan seperti di sinetron. Bila di skenario terbiasa digambarkan sosok sarjana kembali ke desa lalu terlibat asmara. Lantas di ujung cerita sudah menunggu hal klise. Cinta berpaut bak gayung bersambut. Benar, Leonardo lulusan S2 Universitas Gadjah Mada. Tetapi dia pulang ke Punduh Pidada bukan untuk menjemput romantika. Dia balik ke rumah lantaran ibu dan adik-adik perempuannya. Ganjarannya ia mampu meraup penghasilan hingga Rp100 juta.

    (Lontar.co): Desa selalu menawarkan suasana berbeda. Pun dengan Panglon, Desa Batu Raja, Kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran. Di sini masih mudah didapati daun cengkeh dan tangkai buah pala bergoyang pelan dibelai angin. Suara siamang, hewan yang mulai langka di daerah lain, di tempat ini pekikan khasnya masih terdengar lantang, sambil ditingkahi siulan burung kicau dan derit serangga di balik belukar.

    Di antara pepohonan buah dan rempah itu, terselip pemandangan puncak Gunung Tanggang yang menjulang. Pada suasana serupa inilah Leonardo banyak menghabiskan waktunya sehari-hari. “Saya ambil jurusan Teknologi Hasil Perkebunan sewaktu S2,” ucap lelaki ramah ini membuka obrolan, Sabtu (14/6/2025).

    “Tahun 2019 saya lulus. Sempat terlintas kepingin kejar mimpi di perkotaan seperti rekan-rekan lain. Tapi saya selalu teringat wajah ibu dan adik-adik perempuan saya,” sambung Leonardo.

    Ayahnya, imbuh dia, sudah tiada. Sedangkan ibu, kondisinya semakin sepuh. Berat buatnya membiarkan ibu hanya bersama kedua adik perempuannya di kampung. “Mereka yang membuat saya ambil keputusan untuk pulang,” ungkapnya.

    Masa awal di kampung dirasa berat oleh Leonardo. Kawan-kawan sepermainan sewaktu remaja tak lagi dijumpainya. Mereka justru banyak yang merantau mengadu peruntungan ke perkotaan. “Sepi banget. Kawan-kawan lama sudah banyak tak ada. Cuma kebun dan hutan yang dilihat,” kenangnya.

    Tapi Leonardo paham, hidup harus terus berlanjut. Itu artinya dia juga mesti mengupayakan sumber penghidupan. Karena bukan di dunia rekaan sinetron, ia langsung dihadapkan pada realitas. Mau berkebun tapi tak tahu mesti belajar berkebun dengan siapa. Sementara banyak lahan di kampung yang dibiarkan terbengkalai karena pemiliknya berada di kota.

    Padahal seingatnya, di tempat ini pernah dikenal berjaya dengan kebun cengkehnya. Sayangnya kejayaan itu pudar usai serbuan hama merajalela. Warga menyerah. Pohon cengkeh diganti pohon kopi.

    Lagi-lagi harapan tinggal harapan. Panen kopi yang diidam-idamkan membludag, ternyata kandas. Buah kopi hanya diperoleh sedikit. Cari punya cari, kiranya kesuburan tanah yang rendah menjadi biang keladi dari kegagalan. Warga terlanjur kecewa. Lahan kebun kopi akhirnya dibiarkan begitu saja.

    Pada kondisi seperti itu Leonardo mengawali langkahnya berkebun. Dia mencoba meneruskan tradisi pendahulu dengan berkebun buah pala. Di waktu lain, dia juga menanami lahannya dengan berbagai bibit tanaman.

    Lama berjuang, alih-alih menuai suka cita, Leonardo justru dihadapkan pada kenyataan pahit. Banyak bibit yang dia tanam berujung mati. Disinyalir karena salah urus. Sedangkan buah pala yang dipanen jumlahnya juga tak seberapa. Bahkan hasilnya tak sepadan dengan biaya yang sudah dikeluarkan.

    Leonardo dipaksa menelan pil getir kegagalan sekaligus menanggung kerugian. Rugi biaya, tenaga, waktu juga pikiran. “Saya hampir menyerah. Karena mental sempat down waktu itu,” ceritanya.

    Belajar dari Kegagalan

    Cukup lama Leonardo merenungi nasib. Sempat pula terlintas ingin berkemas dan menghubungi rekan-rekan kuliahnya dulu yang sekarang sudah banyak menapaki karir di berbagai perusahaan multinasional. Tapi bayang-bayang wajah ibu dan adik-adik perempuannya tetap kuat menarik. Bahkan sekarang, muncul pertimbangan baru yang memberatkan dirinya untuk hengkang dari desa.

    Ada tantangan baru yang mengusik ketika ia mendapati banyak lahan di kampungnya yang terbengkalai tak dimanfaatkan. Benar, memang ada problematika lahan yang tidak subur. Tapi Leonardo punya keyakinan mestinya itu bisa dicarikan solusi.

    Tanpa disadari dia justru telah menaruh perhatian besar terhadap kebun dan lahan. Langkahnya dimulai dengan menginventarisir seluruh kegagalan yang pernah dialaminya saat memulai berkebun. Mulai dari modal, lalu pengeluaran yang digunakan, serta alokasi pembiayaan, sampai jumlah kerugian tak luput dicatat.

    Yang paling digaris bawahi ialah kesalahan-kesalahan apa yang telah diperbuatnya selama berkebun. “Dari situ saya jadi tahu, langkah apa yang harus saya ambil untuk memperbaikinya,” jelas Leonardo.

    Dia lalu mencari berbagai referensi yang berkenaan dengan persoalan perkebunan yang pernah dia temui. Ia simak dan pelajari dengan serius. Sampai perhatiannya tertumbuk pada gagasan mengembangkan konsep agroforestri.

    Secara konsep, agroforestri adalah sistem pengelolaan lahan yang menggabungkan tanaman pohon (kehutanan) dengan tanaman pertanian atau ternak dalam satu unit lahan, baik secara bersamaan atau bergantian.

    Metode agroforestri bertujuan mewujudkan keseimbangan ekologi, ekonomi, dan sosial. Sistem ini dirancang untuk memanfaatkan lahan secara efisien, meningkatkan produktivitas, serta mendukung keberlanjutan lingkungan.

    “Saya tertarik dengan konsep itu. Saya pelajari lalu diterapkan,” kata Leonardo. Dia memulai langkah awal dengan menanami lahan yang dimiliki dengananeka jenis tanaman buah. Seperti alpukat, durian, dan pala.

    “Waktu itu niatnya sederhana saja. Saya mau kebun ini bisa tetap menghasilkan, sekaligus juga menjaga kesuburan tanah dan ketersediaan air tanah,” urainya. Leonardo berharap selain memberi produksi buah-buahan, konsep agroforestri juga mampu menghasilkan oksigen yang bersih dan perlindungan terhadap tanah.

    Saat dikunjungi kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung dan kepala BPHL Wilayah VI Bandarlampung. (Foto: Yopie Pangkey)

    Tapi, Leonardo tidak puas hanya melakukan sendiri. Dia berupaya menggugah minat warga kampung untuk mengikuti langkahnya. Pada tahap awal, tidak sedikit yang merespon negatif. Bahkan mencemooh. Konsep yang diajukan Leonardo bahkan disebut sebagai konsep teoritis khas anak kuliahan yang belum tentu bisa diterapkan secara nyata.

    “Saya anggap wajar kalau responnya begitu. Karena ini memang hal baru buat mereka. Untungnya, seiring waktu, yang saya kerjakan di kebun bisa menjadi contoh nyata bagi warga. Mereka jadi paham kalau konsep agroforestri memang bisa diwujudkan,” katanya.

    Pada lahan yang digarap Leonardo, kini tumbuh kombinasi harmonis antara pohon tua dan tanaman muda. Di musim panen, buah-buahan segar siap dipetik dan dijual atau dikonsumsi keluarga. Sedangkan pada musim paceklik, keberagaman tanaman memastikan ada yang tetap bisa dipanen.

    Tanpa dinyana mulai muncul kesadaran di antara warga. Satu per satu mulai berdatangan untuk sekadar bertukar pikiran seputar agroforestri dengan Leonardo atau malah langsung mempraktikkannya.

    Bertambah bulan, bertambah pula warga yang tertarik dan ikut menerapkan konsep tersebut. Langkah berikutnya Leonardo membentuk kelompok Tani Hutan (KTH) Tunas Muda.

    Bak gayung bersambut, pada 2023, ada momentum yang menjadi titik balik. KTH yang dipimpin Leonardo mendapat izin kelola hutan lewat skema perhutanan sosial. Semenjak itu bantuan mulai berdatangan dari KPH Pesawaran, Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, BPHL Wilayah VI Lampung, dan BPDAS WSS.

    “Kami dibantu banyak bibit. Mulai dari bibit durian, alpukat, kakao sampai cabai,” terang Leonardo.

    Menurutnya, bantuan yang diterima bukan dipandang sebatas bantuan bibit semata. Lebih dari itu, ini merupakan sebentuk kepercayaan pemerintah yang diamanahkan kepada mereka.

    Tak heran, sambung Leonardo, bila pemberian izin dan bantuan ini direspon positif oleh warga di desanya maupun desa tetangga. Termasuk dari kalangan anak muda yang sebelumnya cenderung berorientasi pergi ke kota. Kini berangsur-angsur di antara mereka mulai berkenan terlibat aktif di kegiatan kelompok.

    “Sebelumnya, warga merasa harga bibit termasuk mahal. Jadi walau pun sudah punya lahan, sudah ada niat untuk berkebun, tapi tidak punya uang untuk membeli bibit. Makanya, dengan datangnya bibit bantuan, animo masyarakat kembali muncul. Ditambah lagi mereka juga sudah melihat hasil nyata dari program agroforestri ini,” kata Leonardo.

    Dia juga menjelaskan, izin perhutanan sosial yang diberikan pada kelompok mereka berlaku selama 35 tahun dan bisa diperpanjang. Artinya, lahan yang dikelola secara baik dan benar, hak pengelolaannya bisa diteruskan ke anak-cucu.

    “Jadi konsep agroforestri dalam skema perhutanan sosial ini, bukan sekadar soal bertani saja. Melainkan tentang membangun masa depan bersama yang berkelanjutan,” terang Leonardo.

    Terkait pengembangan wawasan bagi anggotanya di KTH Tunas Muda, dia memastikan akan terus dikembangkan. “Sekarang relatif lebih mudah untuk bertani atau berkebun secara profesional. Kita bisa belajar dengan memakai akses internet. Ada banyak referensi di sana yang bisa dipelajari, juga sebagai informasi pembanding. Misalnya lewat diskusi daring atau mengadopsi pengetahuan di Youtube. Dengan begitu kita bisa update terus perkembangan perkebunan atau hal lainnya,” ucap Leonardo.

    Mengenai penghasilan yang bisa diperoleh dari menerapkan konsep agroforestri, Leonardo menyebut angka Rp100 juta per tahun.

    “Itu rata-rata, ya. Terkadang petani kebanyakan kurang telaten untuk mencatat. Padahal mencatat itu penting. Jadi tidak asal panen. Berapa hasilnyadan berapa biaya dari usaha selama ini. Semua dicatat. Dengan begitu kita bisa tahu jumlah penghasilan dan pembiayaan kebun setiap tahun,” paparnya.

    Terkait jumlah penghasilan di kelompok tani, Leonardo berpendapat, sebenarnya potensi penghasilan yang didapat bisa lebih besar, seandainya mereka tidak lagi bergantung pada tengkulak.

    Saat ini salah satu tantangan yang dihadapi mereka memang masih berkutat pada harga jual yang belum maksimal. Penjualan memang terbilang lancar. Tapi harga jual masih sangat ditentukan tengkulak sebagai pembeli. Akibatnya margin keuntungan menjadi tipis.

    “Andai rantai tata niaga bisa diperpendek, dan intervensi tengkulak bisa ditiadakan, sangat mungkin diperoleh harga jual yang ideal,” ucap Leonardo. Oleh karenanya dia bersama anggota kelompok terus mencari formulasi tata niaga yang lebih efektif dan efisien. Sehingga tidak ada lagi intervensi tengkulak.

    “Satu per satu kita coba carikan jalan ke luar, seperti di awal dulu saya mengawalinya,” imbuh Leonardo, seraya melempar pandangan ke demplot agroforestri yang tampak rindang, sekaligus menjanjikan untuk masa depan. (*)

    Penulis: Yopie Pangkey (blogger/fotografer)