Ambulans di Tengah Kota, Cermin Antisipatif atau Intimidatif?

0 Comments
Ambulans berderet-deret di Tugu Adipura. (Ilustrasi: Lontar.co)

Ambulans di Tengah Kota, Cermin Antisipatif atau Intimidatif?

0 Comments

Jika kita berjalan-jalan di tengah kota Bandarlampung, di samping Tugu Adipura, kita akan melihat belasan ambulans yang terparkir di sana.  

(Lontar.co): Saya sendiri atau hampir semua warga sudah lupa, sejak kapan mereka berada di sana. Apakah kehadiran ambulans di Tugu Adipura punya maksud tertentu atau sekadar show force? menarik untuk diperbincangkan.

Dari perspektif budaya, di persimpangan tengah kota yang sibuk, kehadiran belasan ambulans itu bisa jadi lebih dari sekadar kendaraan medis. Ia bukan hanya wujud antisipasi atau alat transportasi untuk penyelamatan nyawa semata, tetapi juga dapat dianggap sebagai simbol darurat budaya yang merepresentasikan ketegangan antara tatanan sosial, kontrol, dan tubuh manusia dalam kerangka semiotika dan teori kekuasaan Foucault.

Tanda dan Makna

Dalam kajian semiotika, ambulans yang diparkir di tengah kota adalah sebuah tanda yang memiliki banyak lapisan makna. Ferdinand de Saussure, salah satu pelopor teori semiotika, mengajarkan bahwa tanda terdiri dari dua unsur, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified).

Penanda adalah bentuk fisik yang dapat dikenali, dalam hal ini adalah kendaraan ambulans itu sendiri, dengan ciri-ciri khusus seperti lampu sirene yang menyala, warna khas (merah dan putih), dan simbol medis (seperti salib merah). Sedangkan petanda adalah makna yang dibawa oleh ambulans itu.

Ambulans tidak hanya berfungsi sebagai alat medis untuk menangani situasi darurat, tetapi juga berfungsi sebagai penanda dari keadaan krisis atau kekacauan yang mengancam tatanan sosial kota ini. Ketika sebuah ambulans diparkir di tempat yang sangat terlihat oleh publik, ia menjadi lebih dari sekadar kendaraan.

Ia menjadi tanda visual dari “darurat”, dari situasi yang memerlukan perhatian mendalam dan segera. Ya, ambulans, yang dalam keadaan normal berfungsi untuk menyelamatkan, kini diposisikan dalam ruang publik, bisa jadi untuk mengingatkan masyarakat akan ketidakpastian hidup, ketegangan antara hidup dan mati, dan kerentanannya.

Semakin sering ambulans diparkir di pusat kota, semakin ia menjadi simbol yang dipahami secara kolektif, mengingatkan akan “keadaan darurat” yang tidak dapat dihindari, baik itu dalam bentuk krisis medis individu maupun dalam konteks yang lebih luas seperti kerusakan sosial, politik, atau ekonomi.

BACA JUGA  Duet Kembar Eva Dwiana & Eka Afriana, Mengapa Begini?

Dalam semiotika, ini mengarah pada pembacaan ambulans sebagai simbol dari ancaman yang selalu mengintai, yang terus berada di sekitar kita, meskipun kita mungkin tidak langsung merasakannya.

Lantas situasi darurat seperti apa yang bisa kita maknai dari keberadaan mobil ambulans dalam konteks kebudayaan?

Apakah bisa dimaknai, misalnya, seperti keadaan darurat terancam punahnya bahasa Lampung, lantaran semakin sedikit penggunanya, khususnya pada kalangan generasi muda yang tinggal di Kota Bandarlampung.

Padahal bahasa, selain alat komunikasi adalah wadah utama untuk menyimpan dan mewariskan pengetahuan, sejarah, tradisi, dan nilai-nilai sebuah komunitas.

Pengetahuan tentang pengobatan tradisional, cerita rakyat, lagu-lagu, atau cara bercocok tanam yang spesifik sering kali hanya ada dalam bahasa tersebut. Ketika bahasa itu mati, pengetahuan tradisi pun terancam hilang.  

Bahasa merupakan penanda identitas yang paling kuat bagi suatu kelompok masyarakat. Cara sebuah komunitas menamai sesuatu, mengungkapkan perasaan, atau bahkan menyusun kalimat mencerminkan cara pandang mereka terhadap dunia.

Hilangnya bahasa bisa mengikis rasa kebersamaan dan identitas unik suatu kelompok, membuat generasi muda terasing dari akar budaya mereka sendiri. Ini adalah salah satu contoh situasi darurat tersebut.

Lebih jauh lagi, baru-baru ini Pemkot Bandarlampung menggelar Festival Tari Ngigel, jika kepedulian terhadap budaya hanya dipahami atau dianggap cukup dengan menggelar event tersebut, tanpa memperhatikan nilai-nilai di balik Tari Ngigel itu sendiri, bisa dikatakan telah terjadi pendangkalan nilai dari salah satu tarian yang dipercaya sakral tersebut.

Contoh lainnya kita membuat skubal raksasa sebatas agar mendapat rekor muri, atau tari tradisi yang hanya ditempatkan sebagai pelengkap seremoni, dan lain sebagainya.

Dengan kata lain, kita kerap memahami budaya pada hal-hal yang bersifat ornamentik atau yang sifatnya seremonial, sehingga esensi dari filsafat hidup ulun Lampung justru luput diperhatikan dan dipraktikkan.

Konsep-konsep ajaran leluhur, tata cara hidup yang termaktub dalam lima falsafah hidup ulun Lampung, seperti Pi’il Pesenggiri, Sakai Sambayan, Nemui Nyimah, Nengah Nyappur, dan Bejuluk Beadok, dan lain sebagainya justru tidak dipelajari atau diajarkan di sekolah-sekolah.

BACA JUGA  Ketika Komik Bertahan di Alur Cerita yang Konsisten

Pengetahuan lokal ini seharusnya dijadikan metode ajar bagi generasi muda, sebab pendidikan adalah ujung tombak dalam pembangunan manusia dan kebudayaannya.

Kita bisa memeriksa sendiri bagaimana nasib pengetahuan lokal di sekolah-sekolah atau lingkungan pendidikan. Maka bisa dikatakan kita hanya peduli pada aspek luar kebudayaan, sehingga melakukan simplifikasi, penyederhanaan, atau pendangkalan terhadap nilai-nilai tradisi.

Nah, ambulans di tengah kota, bisa dimaknai sebagai makna atau simbol masyarakat yang telah kehilangan kedalaman atau kehilangan akar budayanya.

Kesiapsediaan mesti ditunjukkan bila perlu hingga ke depan mata. (Ilustrasi: Lontar.co)

Pengawasan dan Kekuasaan

Foucault dalam karya-karyanya, seperti Discipline and Punish, mengemukakan gagasan tentang bagaimana kekuasaan dipraktikkan dalam masyarakat melalui pengaturan ruang dan tubuh.

Ambulans yang diparkir di tengah kota bisa dilihat sebagai contoh dari cara kekuasaan hadir dalam kehidupan sehari-hari, meskipun dalam bentuk yang lebih tidak terlihat.

Ketika sebuah ambulans berada di tengah kota, ia bisa dipahami sebagai alat pengawasan yang tidak hanya mengawasi kondisi individu dalam situasi darurat, tetapi juga sebagai simbol dari pengawasan yang lebih besar terhadap tubuh dan kehidupan sosial.

Ambulans, sebagai bagian dari sistem medis, menggambarkan bentuk kontrol yang diterapkan pada tubuh dan kesadaran manusia dalam situasi darurat. Kekuatan yang dimiliki oleh ambulan bukan hanya dalam bentuk pengobatan langsung, tetapi juga dalam konteks pencegahan, pengawasan, dan pengaturan kehidupan manusia di dalam kerangka institusi medis yang lebih luas.

Foucault berbicara tentang “ruang pengamatan” dan bagaimana kekuasaan tidak selalu terlihat, tetapi hadir melalui struktur sosial dan mekanisme yang mengatur kehidupan individu.

Ambulans, yang selalu siap untuk beraksi, dapat dilihat sebagai representasi dari kontrol medis terhadap ruang publik. Ruang kota yang dipenuhi oleh ambulan yang diparkir mengingatkan kita bahwa di balik ketenangan sosial, ada pengawasan yang konstan terhadap kesehatan, keselamatan, dan bahkan moralitas kita sebagai bagian dari masyarakat.

Ambulans yang diparkir di tengah kota juga mencerminkan cara kerja sistem medis sebagai bagian dari “biopolitik” yang menurut Foucault adalah kontrol terhadap populasi. Dalam hal ini, ambulans menjadi simbol dari pengelolaan tubuh kolektif, tubuh masyarakat yang dijaga dan dikendalikan melalui tindakan medis yang sering kali diatur oleh negara atau institusi.

BACA JUGA  Sawah Hilang Akibat Penduduk yang Tak Terbilang

Pengaturan ruang oleh ambulans di kota, dengan penempatan yang strategis di pusat keramaian, menggambarkan kekuasaan yang beroperasi dalam setiap aspek kehidupan sosial.

Ambulans Sebagai Simbol Ketidakpastian

Meskipun ambulans adalah simbol darurat dan krisis, ia juga membawa makna yang lebih dalam mengenai hubungan antara manusia dan struktur kekuasaan sosial. Di satu sisi, ambulans merepresentasikan sistem medis yang berusaha untuk memberi kepastian dan keselamatan bagi tubuh manusia yang rapuh.

Namun, di sisi lain, ia juga mengingatkan kita pada ketidakpastian yang terus mengintai. Kita tidak pernah tahu kapan keadaan darurat akan terjadi, dan dengan demikian ambulans yang parkir di tengah kota menjadi pengingat akan keterbatasan manusia untuk mengendalikan nasibnya.

Dalam konteks semiotika, ambulans memproyeksikan makna tentang hidup dan mati, serta ketergantungan manusia pada sistem medis yang, meskipun ada untuk membantu, juga memposisikan individu dalam ketergantungan dan pengawasan terus-menerus.

Foucault menyoroti bagaimana pengawasan ini beroperasi secara halus, melalui mekanisme yang seolah-olah untuk kebaikan kita, namun pada akhirnya menciptakan relasi kekuasaan yang mendalam antara individu dan negara, antara tubuh manusia dan institusi medis.

Ambulans yang diparkir di tengah kota bukan sekadar sebuah kendaraan darurat. Melalui pendekatan semiotika dan teori kekuasaan Foucault, kita dapat melihat bahwa ambulans berfungsi sebagai simbol dari banyak aspek kehidupan manusia, mulai dari ketidakpastian dan krisis, hingga pengawasan dan kontrol terhadap tubuh dan populasi.

Sebagai simbol darurat budaya, ambulans mengingatkan kita akan kerentanannya tubuh manusia, dan sekaligus cara kekuasaan beroperasi melalui ruang publik dan institusi medis.

Dalam dunia yang semakin kompleks ini, ambulans tidak hanya berfungsi untuk menyelamatkan jiwa, tetapi juga menjadi penanda tentang bagaimana kita dipengaruhi oleh struktur sosial dan kekuasaan yang ada.(*)

Alexander Gebe (Seniman/Penulis)

 

Further reading

  • 60 Penulis ‘Menelisik Lampung’ Penuh Warna

    Masih sedikitnya ketersediaan buku yang membicarakan ke-Lampung-an, kini terjawab. Dinas Perpustakaan Lampung meluncurkan buku ini, Menelisik Lampung, berisi karya puisi, cerpen, dan esai (opini). Dikemas apik. (Lontar.co): Bangga jadi ulun Lappung (orang Lampung). Lampung, sebagai etnis, sangat kaya seni budaya. Daerah ini saja memiliki dua jurai bagi etnis Lampung, yakni pepadun dan saibatin — pedalaman […]
  • bahan pangan tersandera mbg

    Bahan Pangan yang Tersandera MBG

    Tingginya permintaan harian Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) Makan Bergizi Gratis, memicu naiknya harga bahan pokok di sejumlah pasar. Masyarakat dan pedagang tradisional mengeluh. (Lontar.co): Meski sudah menunggu sejak pagi, Erni hanya mampu membeli sekilo telur dan 5 kilogram beras di pasar murah yang digelar di Kantor Kecamatan Bumi Waras itu. Banyak bahan pokok yang […]
  • Duet Kembar Eva Dwiana & Eka Afriana, Mengapa Begini?

    Kurang murah hati apa warga yang telah memilih kembali Eva Dwiana sebagai Walikota Bandarlampung. Kurang legowo apa publik yang tidak menyoal praktik nepotisme dengan mendudukkan kembarannya, Eka Afriana, sebagai kepala Dinas Pendidikan. (Lontar.co): Tapi untuk timbal balik sekadar menjaga perasaan publik pun kok rasanya enggan. Malah melulu retorika yang disodorkan. Apa pernah Walikota Bandarlampung, Eva […]