Enam puluh tahun usia Afnan Malay pada 12 November 2025. Untuk merayakan kelahirannya, aktivis gerakan mahasiswa ini, meluncurkan buku puisi terbarunya Anjing Berbukit Kabut di Teater Wahyu Sihombing TIM Jakarta, Minggu 16 November 2025.
(Lontar.co): “Sebetulnya hari lahir saya 12 November, tapi penuh pada tanggal itu,” kata Afnan, Jumat 14 November 2025 pukul 19.00.
Sejumlah seniman ternama turut membacakan puisi dari pencipta Sumpah Mahasiswa (1988) ini. Mereka adalah Slamet Raharjo, Yose Rizal Manua, Marcella Zalianty, Vera Hapsa, Arswendy B. Swara, Sihar Ramses Simatupang, Swari Utami Dewi, Isti Nugroho, dan Jasmine Fahlevi.
Penulis Buku Fiksi Mulyono (2024) yang dikenal aktivis gerakan mahasiswa dan lulusan UGM ini dikenal juga sebagai penyair yang produktif. Puisi-puisinya mengalir bagai air. Dimuat di sejumlah antologi puisi bersama, pribadi, dan di halaman media sosialnya facebook (FB).
Penyair yang bermukim di Yogya dan bersosialisasi melalui komunitas Sastra Bulan Purnama bersama Ons Untoro ini, memang produktivitasnya itu diimbangi kualitas. Puisi-puisi Afnan menderas, rasanya tiada hari tanpa lahir puisi. Seakan dinding FB adalah puisi Afnan.
Afnan Malay kelahiran Danau Maninjau, Tanjung Sari, Sumatera Barat, semasa Sekolah Dasar menetap di Bandar Lampung, kemudian menetap di Yogya dan menyelesaikan kuliah di Fakultas Hukum UGM. Dia pernah dekat dengan Joko Widodo kemudian hengkang dan tim sukses Anies Baswedan pada Pilpres 2024.
Rupanya tidak hanya suntuk menjadi aktivis, ia tak lelah menulis puisi. Selesai kuliah, bergiat sebagai pengacara. Namun Afnan tidak berhenti menulis puisi. Buku puisinya sudah terbit di saat Covid 19 sedang menyerbu.
Puisi-puisi Afnan seringkali menyajikan kisah persoalan sosial, namun tidak semua puisi menuju ke arah itu. Ia juga menulis puisi bertema renungan, cinta, dan lainnya.
Sebagai penyair, Afnan pernah residensi di luar negeri lalu menerbitkan buku puisi hasil perjalanannya.
Persoalan Sosial
Buku Anjing Berbukit Kabut (2025) ini membicarakan banyak hal; kemanusian, politik, sosial, dan pertanyaan sebagai warga negara Indonesia.
Penempatan puisi tidak merunut titimangsa. Cermin dari sikap penulis, boleh jadi, tak begitu penting pada tanggal penulisan. Tetapi, untuk menempatkan puisi pembuka dan penutup dalam Anjing Berbukit Kabut ini, sepertinya sudah diperhitungkan.
Buku ini ia buka dengan puisi “Tuhan, Kenapa Aku Jadi WNI?” dan diakhiri “Masih Ada Jalan?” Sama-sama membutuhkan tanda tanya (?).
aku mengarungi lautan/dihantam gelombang air mata//mengelilingi pulau-pulau/kutemui bentangan air mata//aku mendaki gunung-gunung/terdaki tinggi puncak air mata//aku menanam tumbuh-tumbuhan/musim panen tiba ladang air mata//aku bekerja di pabrik-pabrik/upah tercabik-cabik air mata//tuhan, kenapa/aku jadi wni?//tuhan terperanjat ngilu/menitikkan air mata beku. (puisi “Tuhan, Kenapa Aku Jadi WNI?”, Jakarta, 17 Agustus 2025).
Puisi pembuka yang sangat kuat ini, menunjukkan Afnan telah matang menempuh jalan penyair. Kekuatan diksi juga membuktikan kalau penyair berdarah Minang ini, berdiri kokoh dalam barisan penyair Indonesia. Ia pernah residensi di beberapa negara sebagai sastrawan (khususnya penyair). Meski puisi-puisinya cenderung menyuarakan perlawanan, tetapi ia konsisten dengan puitika sebagai penyair.

Kesaksian Afnan, adalah menulis apa yang ada namun dengan sudut pandang dan cara yang tidak sama lagi dengan peristiwa. Misalnya, dia menulis peristiwa palsu dan kepalsuan lewat puisi “Barang Palsu”.
Tentang palsu dan asli, bukankah sedang trend di negeri ini? Bahkan, Afnan menulis puisi “Ijazah”, dan di puisi ini penyair tak menunjuk oknum.
“selembar ijazah/akhirnya menyalak/dari persembunyian di balik/dingin musim panas berkepanjangan/suaranya parau menemani huruf/keriput menyusun kata-kata/gerak bibirnya bergetar//siapa yang menuduh/dia yang membuktikan//…//sekali lancung/mengapung, rapuh/sepanjang usia.”
Afnan dapat disebut penyair yang memiliki ketajaman mata terhadap persoalan sosial di negeri – ia kerap menyebut Negeri Konoha – ini, dengan objektif. Puisi-puisinya tak lagi subjektivitas, tetapi menjadi milik bersama. Kita merasakan apa yang ada dalam puisi-puisi penyair ini.
Itulah Afnan Malay, aktivis gerakan mahasiswa, pencipta Sumpah Mahasiswa, anggota presidium Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Di usia 60 tahun, di tengah kesibukannya dalam jaringan gerakan reformasi, ia semakin “membara” melahirkan karya puisi. Ia sehat-sehat saja, selalu baik-baik saja. Ia gagah jika di panggung debat ataupun pembacaan puisi.
Puisi-puisinya juga memiliki kualitas yang tidak diragukan. Bahkan, mendapat pengantar dari Denny JA, Rocky Gerung, dan Made Supriatma.
Puisi “Cahaya Hati” mengingatkan wafatnya Paulus Fransiskus dan kehadiran Joko Widodo pada saat pemakaman. Jokowi membagikan video dari Basilika Santo Petrus, Minggu, 27 April 2025. Karena puisi yang ditulis Afnan Malay di Jakarta ini bertitimangsa April 2025.
Inilah puisi yang dimuat di halaman 63.
dari Vatikan, pelancong jauh
terkesima membungkus cerita
terlempar ke negeri dongeng
di depan peti mati katanya,
“aku melihat cahaya.”
kampungnya lampu-lampu
nyala, padam ditiup mulut
pada kematian-kematian
melihat
cahaya
Afnan turut menyuarakan suara sivil dalam puisinya. Ia gunakan kata “kami” sebagai bentuk mewakili rakyat. Ia sindir orang-orang di parlemen, ia kritik penguasa.
Demikian puisi “Suara Kami’, termuat di halaman 85, ia menulis.
suara/kami/macet/pada mulut-mulut/berisik anggota/parlemen//
suara kami/genangan/comberan/pada mulut-mulut/penguasa/bajingan//
suara kami/perlawanan/tak surut-surut/hantaman/gelombang//
Semarang, Maret 2025
Menutup tulisan ini, saya sepakat dengan pernyataan Presiden Amerika Jhon F Kennedy, bahwa puisi dapat membersihkan politik yang kotor dan meluruskannya jika bengkok. Puisi dapat mengingatkan manusia akan keterbatasannya ketika kekuasaan membuat mereka sombong. Dan, Afnan melalui puisi ini akan pula mengatakan itu.
Selamat Afnan Malay, untuk hari lahir dan peluncuran buku puisi Anjing Berbukit Kabut ini. Salam.(*)








