Lain Purbaya, Lain Pula Prabowo

About Author
0 Comments

Saya sepakat. Butet Kertaredjasa dalam dialog dengan Sultan HB X bahwa pejabat bisa berjanji sekaligus boleh mengingkari! Lebih luasnya, penguasa bisa keras sekaligus melemah.

(Lontar.co): Catatan saya pekan lalu soal kereta cepat Jakarta-Bandung, endingnya begini: Purbaya tak konsisten? Sehingga mengundang Rocky Gerung sebut Menkeu RI itu, sebagai “koboi akal sehat atau koboi cengeng?”

Menkeu Ri itu bukanlah “algojo” bagi kebijakan. Dia “pembantu” Presiden Prabowo Subianto. Sekeras-keras ia, ada yang lebih keras suaranya: seseorang di atasnya.

Sampai pada soal siapa pemilik otoritas dalam birokrasi, saya teringat filosofi Gubernur Lampung 1988-1997 Poedjono Pranyoto. Ia pernah berujar, sekencang-kencang kuda berpacu tak akan meninggalkan yang duduk di pelana. Sekeras-keras ringkik kuda, tak ingin mengalahkan suara di atas pelana.

Makna dari ucapan – yang filosofi – dari Poedjono Pranyoto (almarhum) itu, membuktikan secara hirarki, Gubernur dilarang mendahului sang Menteri Dalam Negeri. Menteri tak mungkin berbeda jalan dari Presiden. Kecuali siap dilucuti dari jabatan.

Itulah birokrasi, begitulah hirarki dalam lembaga. Filosofi “kuda” ini pernah menginspirasi saya menulis cerpen berjudul “Patung Kuda buat Gubernur” dan memenangi lomba menulis cerpen salah satu PTN di Solo.

Tulisan saya ini tidak fokus pada “kuda” Poedjono apalagi fokus ke cerpen saya (saya juga sudah tidak mempunyai dokumentasi maupun kliping, maklum di era itu merasa tak penting. Kalau sekarang, sertifikat saja berharga di era bantuan pemerintah — bacem — bagi seniman, yang nominalnya lumayan antara Rp20 juta, Rp25 juta, hingga Rp40 juta dan bisa lebih dari itu).

Saya ingin menegasi bahwa yang dilakukan Purbaya setelah menyatakan utang Whoosh tak ditanggung APBN kemudian terjadi “perdebatan” dengan Luhut, dan terakhir Presiden RI Prabowo Subianto mengatakan (akan) “bertanggung jawab atas utang Whoosh”, apa lagi yang harus dibantah oleh Purbaya?

BACA JUGA  Berenang di Kolam Rumah ‘Gedong’

Ia hanya “kuda” tak bisa lari kencang sementara yang duduk di pelananya ditinggalkan”, ia juga dilarang meringkik nyaring mengalahkan orang yang memegang tali tubuhnya. Kecuali lebih baik mempertahankan idealisme dibanding jabatan! Itu soal lain.

Sesaat setelah Purbaya menyatakan utang kereta cepat bukan ditanggung oleh APBN karena anggaran ini untuk pembangunan dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, kemudian Joko Widodo menyampaikan niatnya tentang kereta cepat sebagai program investasi sosial, Purbaya pun mulai adem.

Ini kemudian dikulik Rocky Gerung sebagai koboi cengeng? Mungkin termasuk saya, yang punya harapan besar tadinya kepada Purbaya. “ini menteri keren! Tegas, lugas, dan berani!” Soalnya yang “dilawan” adalah mantan wong gerot. Dan, masih dekat pijakannya dengan penguasa saat ini. Buktinya, tak menunggu lama respon dari Prabowo pun keluar. Tuntas.

Purbaya tampaknya tak lagi membicarakan utang Whoosh. Bahkan, boleh jadi, tidak akan mengungkit apakah APBN yang siap melunasi utang kereta cepat atau sebaliknya. Ibarat pintu, mulutnya sudah dikunci dan presiden yang menguncinya. Perdebatan soal Whoosh ditutup. Kalau kata “tanggung jawab” presiden itu bukan atas nama pribadi, maka Purbaya diminta berpikir keras untuk membuka celah di APBN.

Purbaya dan Tali Kekang

Membaca Purbaya sekaligus saya belajar bahwa setiap perkataan seseorang tidak mutlak sebagai kebijakan. Apalagi di pemerintahan yang memiliki hirarki dan birokrasi. Saya teringat di awal jabatan Maruarar Sirait (Ara), Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), juga begitu vokal. Ara menjadi trending di media. Tetapi tak lama, kemudian senyap sampai kini.

BACA JUGA  Membaca 80 Puisi Bahasa Lampung

Sebelumnya, Ara sempat menggebrak meja saat rapat, juga pernah emosi, dan marah besar. Maruarar seakan “menguasai” platform media di negeri ini. Namun, beberapa bulan terakhir bukan saja pernyataannya yang senyap, dia pun tak lagi tampak di depan publik.

Saya tidak tahu penyebab di balik Ara “menepi” tersebut, padahal sejak ia di gedung DPR RI dari kader PDIP kita sama-sama tahu ia terkenal vokal. Bahkan beberapa kali dalam debat yang dipandu Karni Ilyas.

Artinya, ada yang “lebih berkuasa” dan “suaranya” lebih tinggi dari dirinya, yakni adalah Presiden RI. Jadi, lain kata Purbaya lain pula dikatakan Prabowo. Rakyat akan lebih melihat siapa yang berbicara. Bukan lagi apa yang dikatakan.

Masyarakat Indonesia tentu mendengar apa yang disampaikan presiden, sehingga saat bersamaan mengabaikan ucapan “pembantu” presiden. Walaupun diam-diam lebih setuju dengan sang menteri sebab ia lebih mengerti keadaan keuangan negara.

Di sini, rakyat dibuat bingung. Siapa yang harus dipercaya? Kepada siapa samikna waatokna ditujukan? Keduanya adalah penguasa/pemimpin/pejabat. Untuk ada ditunjuk menteri-menteri, kalau tidak dipahami kebijakannya? Soal anggaran negara,  yang lebih tahu adalah menteri keuangan. Ia yang paham sekali.

Tetapi, di negara dimana kebijakan tertinggi di tangan presiden, pejabat di bawahnya boleh bicara namun tak keluar dari koridor di atasnya, yakni presiden. Sebelumnya, pernah terjadi pada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang mengeluarkan keputusan atas 4 pulau milik Aceh yang diklaim dalam wilayah Sumatera Utara.

Perang klaim antara Gubernur Aceh dan Sumatera agak memanas, hingga Muzakir Manaf aka Mualem melayangkan surat terbuka ke Prabowo Subianto. Surat yang ditulis oleh seorang yang dulu berdiri berseberangan dengan Prabowo, yang kini Presiden RI.

BACA JUGA  Panas Dingin Bisnis Thrifting

Menarik disimak paragraf ini, sebelum kita kembali ke Purbaya ihwal kereta cepat Jakarta-Bandung bernama Whoosh. Ini kata Mualem: “Bagi sebagian orang, ini mungkin sekadar urusan administratif. Namun bagi kami, orang Aceh, tanah adalah kehormatan. Harga diri kami. Keempat pulau itu bagian dari sejarah kami sejak masa Kesultanan Aceh.”

Ia melanjutkan, “Bapak Presiden, saya menulis bukan dalam semangat permusuhan. Tidak. Saya menulis sebagai saudara lama Bapak. Kita pernah bertempur, kini berjalan dalam satu barisan. Saya percaya, dalam hati seorang prajurit seperti Bapak, kehormatan wilayah dan keadilan rakyat adalah sesuatu yang suci.”

Surat Mualem, mantan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu, telah membatalkan keputusan di bawah presiden. Empat pulau itu dikembalikan ke Provinsi Aceh, sebagai pemilik sah! Mendagri tak bisa berkata-kata, sebab lembaga ini berada di bawah kendali presiden. Mendagri adalah “bawahan” dan “pesuruh” dari presiden.

Jadi, seperti dikatakan Gubernur Lampung (1988-1997) Poedjono, ibarat kuda sekencang-kencang ia lari tak meninggalkan majikannya. Sekerasnya lengkingan ringkik kuda tak boleh mengalahkan orang yang berada di pelana alias majikan.

Purbaya sudah benar. Untuk cepat dikenal harus vokal dan (seakan) tegas. Tetapi, ingat jika ada yang lebih vokal, terutama datang dari sang atasan, anda berani keukeh? Kecuali ikhlas pada kursi dan jabatan, yakni ditinggalkan. Cuma masih adakah pejabat yang mempertahankan apa yang dikatakan dan dikerjakan adalah benar; sesuai hati nurani? Entahlah.(*)

Further reading