(Penulis: Iswadi Pratama)
Buku puisi “Hari Hari Bahagia” karya Ari Pahala Hutabarat yang terbit pada bulan Juni 2023, dibuka dengan nada lirih, teramat lirih, dari puisi “sehelai sepi, sebungkah hati”.
sehelai sepi yang berwarna ungu
bulu-bulunya terberai di tanganku
kerlip wanginya. terbang ke langit
dengan sayap dari lembar masa lalu.
sebungkah hati yang berwarna biru
degupnya menghiba-hiba di dadaku
tatap matanya terbang ke langit
dibawa sepi yang menunduk malu.
Nada ini lembut, hening, hampir mistik. Sepi bukan lagi kekosongan, melainkan sesuatu yang memiliki warna, aroma, bahkan sayap. Hati biru bukan sekadar organ, melainkan mahlukyang memandang ke langit. Ari mengawali perjalanannya dari ruang spiritual—hening, transenden, penuh simbol.
Meminjam pandangan Simone Weil (1909–1943), kita bisamembaca puisi ini sebagai decreation: sebuah pengosongan diri. Sepi ungu dan hati biru adalah tanda jiwa yang melepaskan egonya, menunduk, menghiba, agar terbuka bagi yang Ilahi.
Filsuf dan mistikus Prancis yang menulis tentang penderitaan, kerinduan rohani, dan keadilan, itu mengatakan penderitaan sebagai Jalan Rohani. Penderitaan (malheur) adalah pengalaman paling dalam manusia, di mana ego manusia dilucuti. Penderitaan membuat manusia kehilangan semua pegangan, hingga satu-satunya jalan adalah membuka diri pada Tuhan.
Weil memakai istilah decreation: manusia harus “mengosongkan diri” (melepaskan ego, keinginan) agar ruang dalam jiwa bisa diisi oleh yang ilahi. Ia percaya bahwa doa sejati adalah perhatian yang murni. Dengan memberi perhatian penuh—kepada orang lain, pada dunia, bahkan pada penderitaan—manusia membuka pintu bagi kehadiran Tuhan. Sebuah situasi yang oleh Mircea Eliade (1907–1986), disebut sebagai hierophany—yang sakral menyingkap diri dalam simbol sederhana.
Sepi yang punya warna, hati yang punya mata, adalah bentuk sakral yang hadir lewat bahasa profan. Seturut dengan Eliade, melalui puisi itu Ari Pahala hendak meneguhkan bagaimana manusia hidup dalam dua ranah: dunia sakral (yang suci, penuh makna kosmis) dan dunia profan (sehari-hari, duniawi, tanpa makna transenden).
Maka kita bisa mengatakan “sehelai sepi, sebungkah hati” adalah Hierophany: “manifestasi yang sakral dalam sesuatu yang profan. Ia percaya manusia selalu mencari “pusat kosmos” (axis mundi)—tempat di mana yang sakral hadir. Karena itu, setiap agama punya kisah penciptaan, pusat dunia, gunung suci, dsb.
Puisi dalam batasan seperti ini adalah juga usaha Ari untuk menemukan makna sakral di balik dunia yang profan ini. Ari menghadirkan yang suci lewat simbol, mitos, juga hierophany. Sebagaimana yang bisa kita temui dalam banyak puisi lainnya dalam kumpulan ini.
Sebuah pengalaman arketipal yang saling desak antara sunyi dengan bunyi, antara yang lirih dan yang “brutal”, antara estetika dan anti-estetik, antara hening dan bising.
meditasi 2
hujan buat tiang listrik dan bohlam kedinginan
kucing belang meringkuk di depan kedai pintu kayu
lelaki mengepulkan asap djisamsoe ini apakah diriku?
yang matanya nanar cari purnama di langit kelabu
adakah yang tahu apa sebab kabut turun mirip kelambu
pintu-pintu rumah tertutup cuma tersisa binary lampu
apakah engkau yang panggil namaku lamat di jauh itu?
kucing belang kedinginan jilati telapak kaki kiriku.
Pada puisi-puisi lirih yang ditulis Ari dalam kumpulan ini, nada-nadanya hampir selalu seperti doa. Suaranya seperti suara seorang kekasih, tapi juga seperti ratapan seorang mistikus: sebuah permainan ambivalensi yang lembut. Sebagaimana puisi“aku akan pergi, katamu” (puisi ke-28)
karena mencintaimu
akan kuterima segenap rasa sakit
yang aku tahu takkan pernah terobati.
Ini adalah cinta yang lebih besar dari sekadar hubungan manusia. Ada nuansa spiritual, seolah penyair sedang berbicara bukan hanya pada kekasih, tetapi pada yang Ilahi.
Kierkegaard menyebut cinta sejati itu selalu berisiko, bahkan penuh penderitaan, karena cinta adalah “lompatan iman.” Ia tidak menjamin kebahagiaan, tapi menuntut penyerahan total. Maka bait Ari terdengar seperti doa seorang pecinta yang siap memeluk penderitaan demi sesuatu yang lebih tinggi.
Simone Weil menulis “hanya lewat derita, jiwa terbuka pada sesuatu yang lebih besar.” Puisi Ari menggemakan pandangan ini:
akan kuterima rasa sangsi
yang kutahu akan jadi abadi.
Keraguan (sangsi) di sini bukan tanda kelemahan, melainkan bagian dari perjalanan rohani. Ia adalah malam gelap jiwa, semacam spiritualitas yang tumbuh dari luka.
Pada bait yang lain, kita yang semula didekap dengan larik-larik yang penuh pertikaian yang arketipal, kini kita dikejutkan pula dengan simbolisme yang ironis:
karena terus menerus
hanya kuminta bayanganmu
untuk menghampiriku
untuk melukaiku.
Dalam bait di atas, “bayangan” hadir sebagai simbol yang amatkuat. Ia adalah kehadiran dalam ketiadaan, tanda yang transenden justru karena ia tak bisa disentuh. Bayangan ilahi hadir untuk melukai—karena luka adalah bukti nyata kehadiranitu.
Dan simbol semacam ini, seperti yang disampaikan Paul Ricoeur; selalu memberi lebih dari yang tampak. Luka cinta di sini bukan sekadar luka personal, melainkan metaforeksistensial: manusia yang selalu haus akan sesuatu yang lebih besar, tapi hanya menerima bayangan samar.
Demikian pula pada puisi sebelumnya. Simbol-simbol itu “memberi untuk dipikirkan.” Sepi ungu dan hati biru adalah simbol kerinduan, yang bisa ditafsir sebagai kerinduan manusiapada transendensi. Dengan menafsirkannya, kita membangun narasi tentang diri kita, tentang makna sepi, tentang cinta yang spiritual.
Sebuah Narasi Kejatuhan
Tapi buku Hari-hari Bahagia tidak berhenti di situ. Ia bergerak, makin lama makin keras, hingga sampai pada puisi-puisi grotesque yang penuh bau busuk. Bau sengak itu memuncak pada puisi “Hari-Hari Bahagia” yang juga menjadi judul buku.
kebahagiaan adalah kaleng susu
yang sudah peot
dan berkarat
di dalam kotak sampah.
Sepi yang ungu berubah jadi sampah berkarat. Hati yang biru berubah jadi darah hitam yang menetes dari jiwa. Ari seperti sedang mengatakan: kerinduan spiritual yang tenang itu, ketika menjejak bumi, jatuh ke dunia yang bobrok.
Inilah titik di mana estetika grotesque hadir. Harpham menyebut grotesque
sebagai “ambivalensi yang mengganggu”—indah sekaligus menjijikkan. Edwards dan Graulund menekankan grotesque muncul saat dunia tidak stabil. Ari menghadirkan itu: dunia politik yang busuk, tubuh sosial yang retak, kebahagiaan yang hanya ilusi sampah.
Seolah Ari ingin berkata: manusia selalu dimulai dari kerinduan pada yang indah dan ilahi, tapi akhirnya jatuh ke bumi yang bobrok. Sepi ungu terbang ke langit, tapi segera dibanting ke tong sampah berkarat.
Apa yang dalam puisi cinta tadi terasa seperti litani doa, di sini berubah jadi ejekan sosial. Dalam buku ini, Ari menghadirkan puisi-puisinya sebagai apa yang disebut Edwards dan Graulund “estetika cair”; yang memperlihatkan ambivalensi tubuh dan dunia.
Ari menunjukkan itu dengan lugas: kebahagiaan yang seharusnya agung, di bumi tampil sebagai kaleng berkarat.
Kebahagiaan yang dipekikkan oleh Nietzsche dengan penuh rasa jeri seperti “kepuasan kambing yang merumput.” Sebuah Aforisme yang disepakati Adorno sebagai komoditas palsu yang hancur di bawah materialitas.
Kaleng susu kadaluarsa adalah tanda simulacra kebahagiaan yang gagal.
Lihat bagaimana tubuh rohani dalam puisi cinta—yang menyerahkan diri pada luka ilahiah—berbalik jadi tubuhduniawi yang busuk dalam puisi sosial:
tak ada siapa pun yang siap
menampung darah hitam
yang kian deras mengucur
dari jiwaku.
Darah hitam itu adalah tanda keruntuhan. Ia bisa dibaca sebagai simbol spiritual (jiwa yang kehilangan cahaya) atau sosial (masyarakat yang penuh korupsi, busuk). Dalam dua bacaan itu, hasilnya sama: kerinduan pada yang indah selalu jatuh pada bumi yang grotesque.
Inilah paradoks yang Ari Pahala tawarkan: Dalam puisi cinta, manusia menghadap yang transenden dengan penuh kerendahan hati: siap menerima luka, siap menerima bayangan. Dalam puisi sosial, manusia menghadapi dunia busuk di sekelilingnya: politikus bau bangkai, kebahagiaan jadi sampah.
Dua wajah ini bukan berlawanan, melainkan saling melengkapi. Mereka menunjukkan kenyataan hidup manusia: bahwa kerinduan akan keindahan ilahi selalu harus menyeberangi tanah yang berkarat, berbau busuk, penuh luka.
Estetika Grotesque di sini tidak meniadakan spiritualitas, justru memperlihatkan betapa rapuhnya kerinduan itu ketika berhadapan dengan dunia.
Namun, estetika Grotesque yang dipakai Ari sebagai strategi naratif, bukan sekadar gaya aneh-aneh dalam seni—sebagaimana umumnya yang sering kita temukan dalam banyak karya seni di tanah air dewasa ini; terutama seni pertunjukan. Melainkan, sebagai sebuah kategori estetis.
Dalam sajak-sajak Ari Pahala, Grotesque sebagai hibrida muncul ketika batas-batas normalitas dicampur-adukkan. Ia menyatukan hal-hal yang biasanya terpisah: indah dan menjijikkan, manusia dan hewan, hidup dan mati, cinta dan khianat, momen keseharian dan momen puitik. Dari sinilah lahir rasa aneh, tidak nyaman, sekaligus memikat.
Dengan strategi ini Ari menyajikan puisi-puisi yang penuh ambivalensi emosi; yang membuat kita tidak bisa memilih satu emosi. Lalu ketidakstabilan; dimana grotesque hadir ketika tatanan sosial goyah, ketika tubuh manusia dipandang rapuh, ketika kebenaran lama runtuh. Dalam hal ini grotesque relevan dengan modernitas, di mana kepastian sering diguncang.
Selain itu, dengan strategi naratif seperti itu, Ari juga berhasil menjadikan puisi-puisinya bersifat Universal sekaligus kontekstual
bisa berupa tubuh boyak, politikus korup yang dilukiskan sebagai bangkai, atau humor hitam.
Puisi-puisi dalam kumpulan ini senantiasa menawari kita sesuatu yang paradok, juga selalu mengguncang batas. Ia bukan sekadar bentuk seni aneh, tapi cara untuk menghadirkan ketidaknyamanan agar kita merenungkan dunia.
Membongkar Mitos Kebahagiaan
Bayangkanlah hal ini: Ada seorang lelaki berjalan sendirian di malam yang lengang. Ia menyalakan sebatang kretek, tetapi kepahitan tembakau justru terasa seperti menggigit kembali rasa sakit yang ingin ia hindari.
Dalam puisi Hari-hari Bahagia, Ari Pahala Hutabarat menulis:
rokok kretekku begitu pahit.
aku mengigit tembakau
seperti menggigit rasa sakit
yang berusaha kuhindari.
Kebahagiaan, yang sering dipuja dalam tradisi romantik, tidak hadir sebagai cahaya suci. Ari merobeknya, menjatuhkannya ketong sampah:
kebahagiaan adalah kaleng susu
yang sudah peot
dan berkarat
di dalam kotak sampah.
Di sini kebahagiaan bukan janji, melainkan residu. Inilah grotesque sosial: sesuatu yang luhur ditarik ke bawah, jadi busuk, jadi sampah.
Geoffrey Harpham dalam On the Grotesque menulis: “Grotesque adalah keindahan yang meresahkan karena menyimpan rasa jijik sekaligus daya tarik.” Dan benar, kita membaca bait itu dengan senyum getir sekaligus rasa mual.
Demikian juga Friedrich Nietzsche sudah lama mencurigai konsep kebahagiaan. Dalam The Gay Science ia menyatakan: “Kebahagiaan manusia modern hanyalah kepuasan kambing yang merumput.”. Kebahagiaan, baginya, adalah bentuk pasif yang meninabobokan, bukan keberanian menatap hidup yang tragis.
Puisi Ari selaras dengan pandangan ini. Ia menolak mitos kebahagiaan yang ditawarkan dunia modern—iklan, politik, agama—dan menertawakannya dengan getir.
Pendekatan yang seperti ini juga bisa kita temui pada beberapa penyair dunia. Di antaranya Charles Bukowski dan Charles Baudelaire. Dalam puisi bertajuk Bluebird Bukowski menulis:
there’s a bluebird in my heart that
wants to get out
but I’m too tough for him.
(ada seekor burung biru di hatiku
yang ingin keluar,
tapi aku terlalu keras untuknya.)
Burung biru adalah simbol kelembutan, cinta, kebahagiaan. Tapi ia disembunyikan dengan alkohol, rokok, dan kesepian:
I pour whiskey on him and inhale cigarette smoke
and the whores and the bartenders and the grocery clerks
never know that he’s in there.
(aku menuangkan whiskey padanya dan menghirup asap rokok,
dan para pelacur, bartender, pegawai toko kelontong
tak pernah tahu bahwa dia ada di dalam sana.)
Lebih jauh ke belakang, Charles Baudelaire menulis Une Charogne (Sebuah Bangkai). Ia berjalan bersama kekasih, lalu melihat tubuh busuk di jalan:
Lalat berdengung di atas perut busuk itu,
dari sana keluar pasukan hitam belatung,
yang mengalir seperti cairan kental
di sepanjang kain hidup yang robek-robek.
Lalu ia menoleh pada kekasihnya dan berkata:
Namun suatu hari engkau akan serupa sampah ini,
infeksi mengerikan ini,
bintang mataku, matahari hidupku,
engkau, malaikat dan cintaku.
Di sini grotesque memuncak. Cinta yang abadi, mitos romantik, dipatahkan dengan bangkai penuh belatung. Rasa sakit dalamsajak ini juga menggema dalam kata-kata Theodor Adorno dalam Minima Moralia:
“Kebahagiaan borjuis hanyalah ilusiyang hancur oleh materialitas tubuh.” Dan Baudelaire sudah menunjukkannya lewat puisi.
Maka, dalam pandangan estetika grotesque, semua tubuh dalam tiga puisi ini: Ari Pahala, Bukowski, dan Baudelaire adalah tubuh yang tidak stabil: Tubuh penyair Ari, bocor darah hitam, kehilangan makna. Tubuh Bukowski, keras di luar, rapuh di dalam. Tubuh kekasih Baudelaire, indah hari ini, bangkai esok hari.
Ketiga penyair memberitahu kita; bahwa kebahagiaan tidak bisa ditulis sebagai cahaya, hanya sebagai tubuh yang retak.
“Tubuh kebahagiaan” yang oleh filsuf post-strukturalis Jean Baudrillard dikatakan sebagai “simulakra—citra palsu” yang menggantikan kenyataan. Iklan menjual susu sebagai cinta keluarga, politik menjual senyum sebagai harapan, televisi menjual glamor sebagai hidup.
Ari menertawakan itu lewat kaleng susu berkarat dan menganggapnya sebagai sampah sosial. Bukowski menolak kebahagiaan palsu dengan menyembunyikan burung birunya sebagai rahasia personal. Baudelaire membongkar mitos cinta abadi dengan menghadirkan bangkai.
Malaikat yang Tak Datang: Sebuah Hermeneutika Ganda
Setelah yang “indah” hancur lebur di bumi berdebu, setelah kebahagiaan jadi kaleng susu penyok di tong sampah, surga pun akhirnya runtuh.
2.
seorang penyair
kehabisan rokok
untuk dihisapnya
dan diubah jadi
makna.
maka ia mulai menghisap-hisap
sinar matahari
dan debu
dan
mata tetangga sebelah
yang termangu ditinggal
bininya pergi kerja
di perkebunan kelapa sawit
di hutan sumatera.
tapi berita pernikahan
dan perceraian
dan hijrah selebriti di televisi
menampar pipi si penyair.
tapi ketukan dan teriakan
sales berdasi penjual panci
meninju uluhati
si penyair
hingga kesucian kata-kata
yang tadi sempat dipegang
ekornya
lompat
dan berlari kembali
ke semak-semak
dalam otaknya.
penyair itu mengumpat
cepat-cepat berwudhu
berharap semoga jemari malaikat
yang selalu penuh rahmat
mengusap
dan mencairkan masa lalu
yang sudah beku
di jiwanya.
tapi malaikat tak mungkin datang
dan melapisi kata-kata
yang sudah begitu bau
dan licin
dari lidah si penyair
malaikat cuma datang
kepada kenangan
yang wajahnya bagai aktor india
dulu
dulu sekali
di surga.
“seorang penyair /kehabisan rokok /untuk dihisapnya /dan diubah jadi /makna.”
Rokok dalam puisi itu jadi simbol kreatifitas sederhana yang menguap; sebuah rutinitas kecil yang ditransformasikan jadi puisi.
Simbol selalu lebih besar dari dirinya, ia “memberi untuk dipikirkan,” kata Ricoeur. Maka, “rokok” di sini melampaui literan: ia adalah tanda inspirasi yang cepat habis, fana, tapi diperlukan.
Larik berikutnya kita menemukan simbol serupa: “maka ia mulai menghisap-hisap sinar matahari dan debu dan mata tetangga sebelah…” Matahari dan debu adalah simbol dunia profan. Tatapan tetangga adalah realitas sosial. Di sini Ari menggali inspirasi dari banalitas, bukan dari yang agung.
Larik-larik puisi di atas juga digunakan Ari untuk membongkar kenyataan getir: di mana inspirasi disabotase realitas banal: televisi, gosip selebriti, penjual panci, semuanya “meninju ulu hati si penyair.” Dunia modern membuat kesusastraan kehilangan kesuciannya. Malaikat jadi ilusi yang tak datang, sehingga keagungan spiritual hanyalah kenangan kosong.
Dari sini, puisi menjadi kritik sosial-eksistensial: dunia sehari-hari terlalu bising, hingga kata-kata jadi “bau dan licin,” tak lagimurni: “tapi malaikat tak mungkin datang /dan melapisi kata-kata/ yang sudah begitu bau/ dan licin /dari lidah si penyair.”
Malaikat jadi simbol transendensi—yang diharapkan turun memberi rahmat pada kata-kata. Tapi malaikat “tak mungkin datang”: ini simbol keterasingan spiritual, putusnya hubungan dengan yang ilahi.
Ari Pahala berhasil menghadirkan simbol ambivalen: “rokok”, “debu”, “tetangga”, “malaikat”–semua hadir sebagai pintuhermeneutik. Maka larik-larik puisi di atas membawa kita pada simbol yang paling Riceourian: simbol bekerja ganda.
Malaikat yang tak datang bisa dibaca dengan kecurigaan—sebagai bukti nihilnya transendensi di dunia modern. Tapi bisa juga dibaca dengan kepercayaan—bahwa justru dalam ketiadaan malaikat, manusia dipaksa mencari makna sendiri, bahkan lewat kata-kata yang “bau dan licin.”
Lalu Ari menutup puisinya itu dengan kenangan samar:
malaikat cuma datang
kepada kenangan
yang wajahnya bagai aktor india
dulu
dulu sekali
di surga.
Dalam tradisi religius, malaikat adalah lambang kesucian ilahi: makhluk yang hadir sebagai penghubung antara manusia dan Tuhan. Tetapi Ari menghadirkan malaikat sebagai sesuatu yang tak datang. Namun, seperti kata Ricoeur: “Simbol-simbolreligius sering bekerja melalui absensi, menghadirkan kehadiran justru lewat ketidakhadiran.” (terj.–iswadi).
Malaikat yang absen di puisi Ari bukan sekadar ketiadaan, tapi simbol kerinduan yang tak terpenuhi—mirip dengan surga yang hilang dalam tradisi religius. Demikian pun kejahatan dipahami melalui “noda”, “kotoran”, dan “polusi”. Misalnya, dosa sering digambarkan sebagai sesuatu yang “mengotori” atau “menodai” manusia.
Ketika Ari menulis kata-kata yang “bau dan licin,” ia memakai simbol serupa: bahasa yang seharusnya murni malah terkontaminasi dunia profan—gosip selebriti, iklan, sales panci.
Simbol “bau” ini persis dengan kategori Ricoeur: tanda kejatuhan, tanda korupsi makna. Di sini “kejatuhan” selalu menunjuk pada masa lampau murni yang hilang, yang hanya bisa diingat tapi tak bisa dipulihkan.
Lewat “rokok”, “debu”, “gosip selebriti”, “penjual panci”, Ari mengatakan sesuatu yang tak dikatakannya langsung: kegagalan manusia modern untuk memelihara kesucian, sekaligus kerinduannya pada makna yang lebih besar.
Namun di sisi lain, kita juga bisa mempercayai bahwa meskipun malaikat memang tidak datang, tapi puisi tetap lahir. Kata-kata tetap ditulis—meski bau, meski licin, meski tidak dimurnikan rahmat. Dan barangkali, di sanalah justru malaikat itu hadir: bukan di surga yang jauh, tapi dalam kata-kata yang remuk, rusuh, getir, dan penuh debu.
Itulah mengapa, simbol-simbol dalam puisi Ari—kebanyakan puisinya dalam buku ini, tak lengkap bila hanya dibaca pada lapisan makna pertamanya. Mereka, puisi-puisi itu memberi kita Ambivalensi grotesque yang dipakai Ari sebagai “strategi”.
Maka, dengan hermeneutika ganda Ricoeur, kita bisa melihat dua sisi dari ambivalensi itu: Hermeneutika kecurigaan membantu kita melihat bagaimana puisi “hari-hari bahagia” ini membongkar ilusi spiritual: malaikat hanyalah nostalgia, kata-kata sudah rusak, bahasa penyair tak mungkin lagi murni.
Dan dengan Hermeneutika kepercayaan, kita bisa merasakan puisi ini justru membuka makna lewat simbol-simbol kerusakan itu: kata “bau” adalah tanda kejatuhan, “malaikat absen” adalah tanda kerinduan, “surga masa lalu” adalah tanda asal-usul suci yang selalu mengintip di balik memori.
Bila Paul Ricoeur memaklumkan pada kita bahwa simbol bekerja bukan hanya dengan menghadirkan yang suci, tapi juga dengan menghadirkan kejatuhan, noda, kotoran sebagai bahasa untuk memahami kondisi manusia. Ari Pahala, lewat puisinya, memerikan hal yang sama: malaikat hadir justru dalam ketidakhadiran; kesucian kata-kata justru dipahami lewat baunya yang busuk; surga hanya hadir sebagai kenangan samar.
Maka puisi ini, bila dibaca dengan cara seperti ini, bukan sekadar cerita tentang penyair yang kehabisan rokok. Ia adalah kisah religius yang dibalikkan: sebuah mitologi kecil tentangkejatuhan manusia modern, di mana bahasa, inspirasi, dan iman semuanya terperosok dalam dunia profan, tapi tetap memantulkan kerinduan pada yang ilahi.
Sopir Angkot Sebagai Sisyphus
Barangkali memang bukan tugas puisi untuk merayakan cahaya,melainkan untuk menyingkap busuk. Bukan untuk menulis mitos kebahagiaan, melainkan untuk memperlihatkan luka manusia. Tetapi, seperti kata Ari di akhir puisi “Hari-Hari bahagia”:
……
karenanya aku harus terus berjalan, kawan
mencari lagi puisi-puisi
yang lama sekali tak mampir
ke jiwa yang payah ini.
seorang kawan kehilangan
kucing kesayangan
seorang kawan kembali
ke kampung halaman
mengurus kebun kopi
seorang kawan bergegas mengantar
turis-turis lokal
ke bromo dan pantai-pantai di bali.
dan seperti kata orang perancis itu—
aku harus bisa membayangkan
bahwa sopir angkot yang kosong
yang muter-muter di terminal sepi
menjelang magrib itu
berbahagia.
Ada sesuatu yang ganjil dalam puisi ini. Ia tidak meraung, tidak juga berteriak, tapi berjalan pelan—seperti seseorang yang tahu bahwa hidup akan selalu mengulang dirinya sendiri. Seorang kawan kehilangan kucing, seorang kawan kembali ke kampung, seorang kawan menjadi pemandu turis; sementara Aku lirik memilih terus mencari puisi.
Semua fragmen kecil itu seakan menegaskan absurditas yang digambarkan Albert Camus: dunia tidak menjawab kerinduan manusia akan makna, namun manusia tetap harus bergerak.
Di titik ini, Aku lirik menyentuh inti mitos “si orang perancis”:Sisyphus. “Aku harus bisa membayangkan bahwa sopir angkot…berbahagia.” Baris ini adalah pengakuan eksistensial bahwa rutinitas paling sia-sia pun—seperti sopir angkot yang muter-muter di terminal sepi—masih dapat ditanggung bila kita belajar membayangkannya sebagai bentuk kebahagiaan.
Inilah yang dimaksud Camus: kita tidak bisa melawan absurditas dengan jawaban final, tetapi kita bisa menaklukkannya dengan menerima dan terus melangkah.
Namun absurditas itu tidak polos. Ia tampil dalam wajah grotesque: kawan yang kehilangan kucing bukan sekadar kehilangan hewan peliharaan, tapi juga sepotong keintiman yang remuk; sopir angkot yang berputar-putar adalah sosok tragis sekaligus ironis, seperti boneka mekanis di arena sirkus yang tak kunjung berhenti.
Grotesque hadir dalam percampuran getir dan humor, dalam keindahan yang diselimuti keanehan. Kita tersenyum getir ketika membayangkannya—ia konyol, tapi sekaligus heroik. Persis seperti Sisyphus yang mendorong batu tanpa henti.
Dengan cara membaurkan diksi-diksi puitik dengan diksi-diksi keseharian, Ari memiuhkan puisi menjadi percakapan yang terasa dekat. Ia menghadirkan puisi sebagai sesuatu yang boyak dan sekaligus memikat rasa kita.
Strategi teks yang seperti inilah yang justru merebut afeksi pembaca. Sebagaimana yang dikatakan Rita Felski dalam bukunya Uses of Literature: “tekstidak hanya menyingkap makna, ia juga menyalakan afek: ia membuat kita merasa terhubung, tersentuh, terguncang, atauterkejut”.
Membaca puisi ini, kita memang dibawa kepengalaman ganda: keintiman—karena kisah kawan-kawan itu terasa begitu dekat—dan keterasingan, karena rutinitas yang akrab itu justru menyingkap absurditas dan grotesque di baliknya.
Dengan begitu, resepsi pembaca atas puisi ini bukan hanya analisis rasional, melainkan juga pengalaman afektif. Kita merasa “dekat” dengan si Aku lirik, namun sekaligus terguncang oleh kesadarannya.
Demikianlah, akhirnya: “Membaca adalah momen keterhubungan, ketika teks tampak mengenali kita sama seperti kita mengenali teks,” tutur Felski.
Di situlah puisi ini bekerja: ia tidak hanya menceritakan, ia juga meraba emosi kita, mengajak kita masuk ke absurditas yang penuh retakan, tapi juga membuka ruang kecil untuk tersenyum.
Maka puisi ini adalah cermin yang gompel. Dari gompel-nya itu, kita melihat wajah kita sendiri: berjalan dalam absurditas, mengulang rutinitas yang tampak sia-sia, namun tetap mencari secercah kebahagiaan. Ia bukan kebahagiaan yang megah, melainkan kebahagiaan yang sederhana, bahkan absurd.
Tapi justru di situlah ketajaman puisi ini—ia menunjukkan bahwa hidup, betapapun grotesque dan sia-sianya, tetap pantas dijalani meski sambil ditertawai. (Kemiling, 30 September 2025)








